Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #17

Merelakan Kenangan Pergi

But if we’re strong enough to let it in

We’re strong enough to let it go

Let it all go

(Rhodes and Birdy – Let It All Go)



Rindu akan kembali hadir saat kenangan mulai terusik. Rindu adalah sesuatu yang membuat perasaan kerap khawatir dan cemas. Bahkan rindu adalah sesuatu yang menciptakan perasaan yang berlebihan.

“Gue punya sesuatu untuk lo,” kata Ed.

Jo menoleh sekilas.

Beberapa jam yang lalu mereka tiba di Pulau Bidadari, setelah menyeberang dari dermaga Marina Taman Impian Jaya Ancol dengan menggunakan kapal cepat. Pulau Bidadari adalah pilihan yang pas. Selain memiliki sejarah, pulau ini juga merupakan salah satu pulau yang paling dekat dari Jakarta.

Sebagai penikmat sejarah, Ed sangat menyukai tempat ini. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda seperti Martello Tower yang menjadi salah satu ikon pulau tersebut. Juga benteng peningalan Portugis yang dibuat pada abad ke-17.

Adrian, Liana dan Rainy lebih memilih untuk memisahkan diri dari kedua pemuda itu. Namun mereka berjanji untuk berkumpul kembali saat mereka sudah puas menikmati bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang terdapat di pulau itu. Dari awal mereka sudah sepakat jika ini bukanlah One Day Tour, sehingga semua bisa menikmati liburan tanpa harus terburu-buru untuk pulang ke Jakarta.

Rainy adalah orang yang paling bersemangat saat Adrian menjelaskan jika mereka akan mengunjungi sebuah pulau dengan floating cottage, sebuah resor yang mengusung konsep penginapan di atas laut atau lebih dikenal dengan cottage apung. Cottage ini berupa rumah panggung di atas air layaknya perkampungan nelayan.

Ed mendekati Jo yang sedang sibuk dengan ponsel dalam genggamannya. Udara sejuk yang berhembus membuat kulitnya terasa nyaman. Ditambah lagi dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik siang itu.

Jo merebahkan tubuhnya di atas kursi pantai yang dirancang khusus untuk menikmati laut. Sebuah kacamata hitam menempel di wajahnya untuk menghindari kontak langsung dengan sinar matahari.

“Lo perhatikan deburan ombak yang bergulung menuju bibir pantai. Tanpa memedulikan karang-karang yang kerap menghujam, ombak terus saja berlari dan berharap tiba di pinggiran lebih awal,” kata Ed mengibaratkan.

“Kutipan dari mana yang lo ambil kali ini?” tanya Jo. Matanya menangkap posisi Adrian dan kedua gadis yang bersamanya tidak begitu jauh dari tempat dia dan Ed sedang merebahkan diri. Sepasang jemari aling bertaut, saling membantu dan ada sebuah cinta yang mendekam dalam ekspresi mereka. Sementara Rainy sedikit tertinggal di belakang. Gadis itu sepertinya lebih menikmati petualangan sendiri tanpa harus menganggu dua insan yang selalu dimabuk asmara tersebut. Seketika matanya lebih tertarik dengan pemandangan di pinggiran Jakarta. Bangunan-bangunan megah yang mulai bermunculan, menghalangi pemandangan mata. Juga daratan yang diperoleh akibat timbunan di sekitar Teluk Jakarta. Beberapa di antaranya menjadi tren setelah kasus reklamasi merebak di televisi akhir-akhir ini.

“Dari pemahaman gue sendiri,” jawab Ed.

“Dan apa artinya?” tanya Jo seolah tidak mengerti.

“I just wanna say that life must go on. Tinggalkan semua apa yang sudah terjadi meski terkadang ada halangan yang menghampirimu di tengah jalan. And keep running until you become a winner,” ucap Ed bijak.

“Tanpa lo sadari, gue sudah melakukan apa yang terbaik dari diri gue. Bukankah dengan melihat kenangan bertebaran di depan mata tapi gue terus menekan perasaan hingga tidak menimbulkan kekecewaan, merupakan sebuah peningkatan?” tanya Jo.

Ed hanya tersenyum. Ada rasa lega yang kemudian muncul dalam dadanya seperti desiran angin pantai yang muncul secara tidak terduga menghilangkan panas yang diakibatkan oleh terik matahari yang berlebihan.

“Lo sudah mantap dengan pilihan beasiswa itu?”

“Tentu saja. Jangan berpikir jika ini adalah pelarian. Kita sudah pernah sepakat untuk ini, bukan?” kata Jo.

Ed tidak menyangka jika janji yang terucap beberapa tahun yang lalu muncul kembali. Otaknya sama seperti komputer yang baru saja disegarkan. Satu demi satu kenangan itu kemudian muncul dan membawanya jauh berkelana dalam khayal. Tapi yang paling mengesankan tentu saja saat mereka terjebak di sebuah tempat khusus yang sama seperti si pustakawan, Setiawan. Mengingat kejadian itu, entah bagaimana kabar lelaki itu saat ini. Ada semacam kerinduan untuk bertemu dengannya kembali. Tugas-tugas akhir yang sangat menyibukkan hari-hari mereka adalah penyebab hilangnya kontak dengan pria berkacamata itu.

“Lo masih ingat denga Setiawan?” tanya Ed.

Tanpa diduga, Jo terbahak begitu lepas hingga menimbulkan kecurigaan beberapa pengunjung yang kebetulan lalu lalang di depan mereka. “Gue ingin sekali bertemu dengan pria itu sebelum gue pergi,” pekiknya. Derai tawanya mereda dan menyisakan senyum tipis di bibirnya.

“Gue sependapat. Setidaknya gue harus pastikan jika dia baik-baik saja. Dan ada maaf yang harus dia terima,” kata Ed.

Jo menepuk jidatnya sendiri. “Jangan lagi lakukan itu. Lo lihat sekarang gadis yang dengan riang sedang menyisir laut di sana,” kata Jo seraya menunjuk ke arah Rainy yang kini terpisah dari Adrian dan Liana.

Ed tertawa. “Apa yang lo pikirkan tentang ucapan gue?”

“Tidak ada. Gue hanya ingin lo menjaga gadis itu,” jawab Jo.

“Terus apa hubungannya dengan Setiawan?”

“Gue juga bingung,” kata Jo pura-pura.

“Jangan bilang jika lo berpikir tentang kejadian waktu itu di klub malam?” tebak Ed.

Jo bangkit berdiri, kedua tangannya saling bertaut dan diangkat ke udara semacam olah raga ringan. “Jangan biarkan apa yang gue alami terjadi sama lo hanya karena hal sepele.”

“Gue tahu, cowok lebih sering terlihat tegar walau pada kenyataanya dia pernah merasa hampa dan rapuh. Oleh karena itu gue butuh sahabat seperti lo. Kita sudah lebih dari dua orang yang hanya berdiskusi saat ada seorang gadis berparas cantik yang baru kita kenal. Atau dua orang yang sedang hangat membicarakan skor pertandingan saat tim kesayangan kita sedang berlaga,” jelas Ed.

“Lo tahu jika gue akan selalu ada meski suatu saat gue hanya bisa memberikan saran terbaik dari gue,” ucap Jo.

“Thank you, Jo. Lo sudah berhasil membuat hidup gue berubah. Gue yang dulu hanya seorang introver sejati, kini bisa menerima perubahan dan itu baik adanya,” kata Ed tulus.

“Anytime,” ujar Jo seraya tersenyum. “Sedari tadi gue hanya diintrograsi sama lo. Dalam hal ini, apakah hanya gue seorang yang tertuduh bersalah?” tanyanya.

Obrolan itu kemudian mengalir. Ed juga tidak pernah lupa akan misi kehidupannya sendiri. Namun mungkin dia akan sedikit lebih sabar. Pertama, Ed ingin menjenguk ayah dan ibu tirinya yang kini sedang ditahan di balik jeruji. Dan dia pernah berjanji untuk mengunjungi makam ibunya sebelum dia benar-benar pergi dari Jakarta. Ed juga mengisahkan tentang buku perdananya yang akan terbit sebentar lagi. Kabar bahagia itu sungguh mengejutkan Jo karena tidak menyangka sahabatnya itu akan menjadi penulis hebat.

Dalam hati Jo sempat berharap jika suatu saat kisah mereka akan abadi dalam sebuah kisah yang sudah dirangkum khusus oleh Ed. Semoga.

***

Saat makan malam berakhir, Adrian dan Liana menghabiskan waktu berdua di luar cottage. Sementara Ed, Jo dan Rainy kini sedang mengobrol di teras penginapan. Jo terperanjat saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya.

“Pak Wahyu?” ucapnya pelan. Matanya menyiaratkan sesuatu yang berbeda.

Wahyu, lelaki yang setahun lagi mengutarakan sederet permintaan maaf atas berita yang membuat Jo terkejut. Stasiun radio yang dipimpin oleh pria itu dinyatakan gulung tikar akibat biaya produksi yang tidak lagi bisa ditanggung oleh perusahaan.

“Halo...”

Suara itu mulai terdengar jelas. Jo menyingkir lebih jauh dari Ed dan Rainy. Pemuda itu ingin lebih konsentrasi saat berbicara dengan mantan bosnya tersebut.

Lihat selengkapnya