Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #18

Di Balik Rompi Orange

Please forgive me

If I need you like I do

Please forgive me

Every word I say is true

(Bryan Adams – Please Forgive Me)



Rainy menyelinap masuk ke kamar Jo dan menemukan dua pemuda bodoh sedang lelap. Gadis itu kini bisa bebas keluar masuk kos-kosan khusus lelaki setelah bernegosiasi dengan Babe Mul. Entah bagaimana cara Rainy merayu pria tua itu sehingga memperbolehkannya bebas berkeliaran di komplek khusus kau adam tersebut. Bahkan sekarang Rainy seperti anak emas bagi penjaga kos-kosan. Apa yang diminta kepada pria tua itu selalu saja dikabulkan.

Rainy menggeleng-gelengkan kepala saat membuka lebih lebar pintu kamar Jo yang tidak terkunci. Dua pemuda yang tidak peduli dengan apa yang terjadi sedang lelap dalam mimpi masing-masing. Ranjang dibiarkan kosong serasa dihianati setelah Ed dan Jo yang terlelap di lantai dengan hanya beralaskan tikar seadanya. Bahkan tubuh Ed hampir saja masuk ke kolong tempat tidur dan kaki Jo kini mendekam manis di perut Ed.

Rainy masih berdiri di ambang pintu. Gadis itu tengah berpikir tentang cara untuk membangunkan dua pemuda bodoh tersebut. Sebuah ide muncul di kepalanya. Rainy bergegas menuju kamar mandi dan membawa air dalam gayung dari sana. Jemarinya mulai memercikkan sedikit demi sedikit air dalam gayung dengan menggunakan sebelah tangannya, persis seperti tetes-tetes gerimis.

Tindakan konyol itu cukup lama dilakukannya namun belum ada tanda-tanda jika Ed dan Jo terusik. Rainy merasa dipermainkan, jemarinya lebih cepat lagi menyiramkan air dalam gayung dengan volume yang lebih besar.

“Hujan! Hujan! Hujan!” Ed duduk dan kepalanya hampir saja terbentur sisi tempat tidur Jo yang terbuat dari kayu.

Di saat yang bersamaan Jo terbangun dan menemukan tubuhnya sudah basah oleh titik-titik air yang mengucur dari jemari Rainy.

Saat mata Ed dan Jo terbuka dan kesadaran mereka telah kembali, mereka menemukan seorang gadis tengah berkacak pinggang di depan pintu. Tangannya terlihat basah lewat tetes-tetes air yang meluncur dari jemarinya.

“Apa yang terjadi?” tanya Jo bingung.

“Kalian berdua begadang lagi?” kali ini Rainy malah balik bertanya.

Ed menundukkan kepala kemudian tersenyum sendiri. Pemuda itu merasa lucu sendiri melihat tingkah kekasihnya. “Sogokan apa yang sudah kau berikan kepada Babe Mul sehingga kau bisa masuk dengan bebas ke sini?”

“Kau tidak perlu tahu. This is my bussines!” gertak Rainy. Wajahnya terlihat marah.

“Lo tidak berpikir jika kami berdua tengah menyerong, kan?” tanya Jo setengah tertawa.

“Ah, tidak!” seru Ed seraya menepuk jidatnya.

“Gue hanya heran saja. Sampai kapan kalian akan bermalas-malasan seperti ini?” tanya Rainy.

Jo bangkit berdiri dan mulai merapikan kamarnya yang terlihat seperti kapal pecah. “Lo tidak usah khawatir jika suatu saat lo tidak dikasih makan sama Ed. Dia punya banyak warisan yang tidak akan habis hingga sepuluh turunan,” ucap Jo konyol.

“Apa, Jo? Sepuluh turunan?” tanya Ed tidak mengerti.

“Aku tidak peduli. Kalian mandilah, aroma ruangan ini perlahan berubah dengan bau badan kalian yang tidak ramah dalam indera penciumanku,” kata Rainy cerewet. Gadis itu kemudian beranjak pergi dengan wajah keriting. Bahkan untuk menoleh saja tidak dilakukan olehnya.

Sementara Ed dan Jo saling berpandangan, keduanya bergidik ngeri dan tertawa secara bersamaan. Ini adalah pengalaman salah satu konyol dari banyak pengalaman begadang yang pernah mereka jalani.

***

Setelah jam makan siang, Ed dan Jo sudah tiba di Lapas. Saat tiba beberapa jam yang lalu, mereka dianjurkan untuk menunggu di ruang tunggu. Mata keduanya berpendar melihat sekeliling. Di salah satu sudut, beberapa napi sedang melaksanakan kegiatan rutin yakni melakukan kegiatan bersih-bersih di lingkungan Lapas.

Kepala dengan mahkota yang sudah memutih, langkah-langkah tertatih oleh usia, indera pengelihatan yang sudah dibantu oleh kaca mata dan wajah-wajah yang sudah mengerut terlihat jelas dalam ekspresi beberapa tahanan.

Sejenak Jo berpikir, mungkin orang-orang ini akan menutup usia di sini atau mungkin kembali kepada keluarga mereka dengan sisa usia yang tidak akan lama lagi. Entah mengapa mereka bisa melakukan sebuah kesalahan fatal yang pada akhirnya merugikan banyak pihak terutama orang kecil seperti dirinya.

Pemandangan itu mengajak Jo bertualang lebih jauh. Jo teringat kepada Aska, Jo teringat kepada kedua orang tuanya dan Jo teringat dengan ladang-ladang mereka yang kini ditutupi oleh debu sebagai akibat dari kemurkaan alam. Sadarkah mereka akan kondisi mengerikan itu? Apakah penderitaan rakyat pernah terlintas di benak mereka saat menikmat uang yang bukan hak mereka?

Seketika rasa iba yang sedari tadi memuncak dalam batin Jo, hilang seketika. Mereka memang pantas mendapatkannya. Setidaknya, di sini mereka bisa disadarkan akan kesalahan mereka yang telah tega merampas sesuatu yang bukan hak mereka.

Ed dan Jo tidak saling bicara. Mereka lebih sibuk dengan pikiran masing-masing setelah melihat pemandangan di sekitar Lapas. Inilah bukti jika hukum itu bisa saja mendera siapa saja. Mungkin semua hanya perlu waktu. Waktu untuk membersihkan sosok yang bermain secara sembunyi-sembunyi. Serta menindak mereka yang bermain dengan sangat rapi.

Jika Jo memikirkan tentang keadaan keluarganya sebagi imbas dari sedikit orang-orang di Lapas ini. Ed juga merasa puas dengan apa yang sedang disaksikannya. Sebuah kegiatan yang mengusung dasar keadilan yang tidak memandang seberapa tinggi usia dan jabatan yang dimiliki oleh para napi. Hukum memang selalu adil meski di beberapa bagian kecil banyak yang membuatnya menyimpang.

Ed teringat akan sosok ayahnya yang dulu sangat dihormati karena wibawanya. Sosok yang sangat ditakuti karena kharismanya. Rakyatnya tidak pernah tahu jika di balik semua itu ada sesuatu yang mendekam dalam diri ayahnya. Sesuatu yang pada akhirnya menyeret pria itu ke jalan yang salah yakni keserakahan dan kebuasan.

Namun hukum akan menemukan setiap jalan yang salah meski prosesnya berlangsung lambat. Sama seperti ayahnya yang kemudian tersandung hingga masuk ke balik jeruji besi meski beberapa kali pria itu berhasil lolos. Tidak ada yang kebal terhadap hukum. Mungkin itu pemahaman yang bisa disimpulkan oleh Ed dalam benaknya.

***

Dari ujung lorong yang terhubung langsung dengan ruang tunggu, seorang petugas membawa pria dalam balutan rompi berwarna orange. Wajahnya terlihat sayu dan kerutan-kerutan halus mulai menyebar di sekitarnya.

Seingat Ed, ketika terakhir kali dia bertemu dengan pria itu, tubuhnya tidaklah sekurus itu. Yang tampak di matanya sekarang adalah sosok pria dengan tubuh membungkuk dengan kelopak mata sedikit lebih tenggelam di antara wajahnya yang keriput. Kaca mata yang menempel di wajahnya sudah tidak kokoh lagi diakibatkan oleh wajahnya yang mulai berubah tirus.

Petugas itu pergi dan pria tersebut duduk di depan Ed dan Jo dengan wajah tertunduk.

Lihat selengkapnya