I promise anytime you call me
I don’t matter where I am
I always be there, like you’ve been there
If you need me closer, I’ll be right over
I swear, I swear
(Harris J – I Promise)
Ed berdiri di depan kamarnya. Ada keraguan saat ingin melangkahkan kaki lebih lanjut. Gazebo atau kamar yang pintunya di seberang sana?
Keputusan telah diambil dalam sekejab.
Gazebo adalah tujuan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Ed menemukan Rainy duduk sendiri di gazebo.
Sebuah kebiasaan yang selalu ditemukan pada gadis itu; musik, buku.
“Berkhayal memerlukan tempat yang sepi. Demikian juga menikmati sebuah kisah. Perhatian khusus perlu kau miliki jika ingin terus menikmatinya,” sela Rainy.
Ed mendekat. Matanya langsung saja tertuju pada bacaan yang ada dalam genggaman Rainy. Sebuah buku tebal yang dibalut dalam warna biru yang lembut. Setiap goresan tulisan yang mendekam di atasnya begitu cocok dalam balutan warna emas yang mengilap.
Saat membaca judulnya, Ed tersadar.
“Ada yang salah?”
“Aku hanya sedikit tidak percaya dengan apa yang kau baca.”
“Oh God! Mungkin besok aku juga harus mengubah penampilanku. Make up? Female style, may be?” kata Rainy.
“Aku justru lebih menyukai kau yang seperti ini. Fisik tidak selalu menjelaskan segalanya. Percayalah!”
Gadis itu tersenyum kemudian kembali hanyut dengan bacaan di tangannya.
“Besok aku akan pergi untuk waktu yang sedikit lama,” ungkap Ed.
Rainy berhenti kemudian menoleh dengan tatapan mengiba.
“Oh, please! Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak ingin pergi dengan membawa perasaan bersalah,” ucap Ed. Jemarinya kemudian menaut dengan jemari lentik Rainy. “Aku hanya pergi untuk memenuhi sebuah janji.”
“Sebuah janji?”
“Apakah kau pernah berjanji?” Ed malah balik bertanya.
“Tentu saja,” jawab Rainy.
“Dan kau memenuhinya?”
Gadis itu meletakkan jari telunjuk di dagu, kedua bola matanya menatap langit-langit gazebo. “Sepertinya tidak semua.” Rainy kemudia mencoba mengingat beberapa janji yang pernah dibuatnya. Dan ada beberapa yang memang tidak dipenuhinya.
“Misalnya?” tanya Ed.
“Aku pernah berjanji dengan seorang sahabat lama untuk kuliah di tempat yang sama setelah lulus SMA. Namun aku tidak pernah memenuhinya karena lebih tergiur dengan jurusan yang ditawarkan kampus kita,” tutur Rainy.
“Terdengar sederhana memang. Namun janji tetaplah janji. Dia adalah sesuatu yang harus dibayar karena keberadaannya akan tetap abadi sebelum dia dipenuhi,” kata Ed.
“Dan janji apa yang akan kau bayar kali ini?”
“Dulu, aku pernah pulang ke kampung halaman Jo. Apakah dia pernah memberitahumu tentang adik kecilnya bernama Aska?”
“Seorang bocah cilik penyuka hujan dan senja,” kata Rainy.
Ed mengangguk. “Aku pernah berjanji untuk menemuinya kembali setelah lulus kuliah. Dan aku harus memenuhinya sebelum waktu menyita perhatianku kelak.”
“Pasti akan sangat menyenangkan jika aku bisa bertemu juga dengan bocah ajaib itu. Sayangnya, banyak hal yang masih harus kuselesaikan di sini,” imbuh Rainy dengan wajah kecewa.
Ed tersenyum. Kedua jemari mereka masih saja bertaut. Perlahan kenyamanan seolah mengalir begitu saja, menghasilkan sebuah energi yang membuat keduanya tidak ingin berpisah.
***
“Berhentilah bersikap seperti dua anak bodoh yang sedang kasmaran.”
Tanpa mereka sadari Jo sudah muncul di depan mereka. Senyum nakal disertai tatapan iri menyatu dalam raut wajahnya.
“Hanya jomblo bodoh yang tidak mengerti bagaimana rasanya mencintai,” jawab Ed.
Rainy hanya tersenyum malu mendengar perdebatan kedua sahabat itu.
“Kalau lo sedang berusaha membuat gue iri, maka lo berhasil,” kata Jo mengakui.
“Jika tidak berlebihan, gue mau bilang lo cukup bodoh menjadi pemuda tampan. Banyak yang lebih baik di luar sana mengapa lo harus menunggu yang tidak pasti?” sergah Ed. Senyum di bibirnya mengatakan jika ucapannya itu tidak sepenuhnya serius.
Jo menghela nafas dalam, matanya menatap Ed dan Rainy secara bergantian. “Dan jika tidak berlebihan, semua yang menyangkut perasaan tidak semudah mengendalikan permasalahan yang lain. Gue hanya butuh waktu sebelum benar-benar bisa beranjak dari kisah lama,” tegas Jo.
Rainy menggeleng-gelengkan kepala, sebuah senyum simpul menghias di bibir tipisnya. “Kejadian itu sudah berlangsung lama sekali, Jo. Sudah seharusnya lo move on. Kebahagiaan selalu menemukan tempatnya sendiri,” ucapnya bijak.
Ed menatap kekasihnya bangga. Ini adalah petuah paling bijak yang pernah didengarnya dari gadis itu. Jemarinya serta merta bertaut di jemari Rainy. Ada kebahagiaan yang tiba-tiba terpencar dari sinar mata keduanya yang tulus.
***
Dan di sinilah Ed dan Jo sekarang. Tempat yang beberapa tahun yang lalu mereka temui. Wajah-wajah khawatir, antrian panjang di depan konter maskapai, kerumunan yang gelisah menunggu penerbangan dan segelintir pemandangan yang bermunculan di depan mata. Semua masih saja sama ketika mereka dulu menginjak tempat ini.
Setelah selesai check in, mereka duduk bersebelahan di ruang tunggu. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Mata keduanya bahkan sibuk dengan pemandangan bandara yang ramai.
Sepasang orang tua berusia lanjut tengah berjalan dengan travel bag berukuran kecil di tangan mereka. Sepasang jemari yang telah mengerut bertaut pasti. Dan sesekali senyum terlihat mengumbar di bibir keduanya. Mesra.
Di sisi lain, sepasang orang muda tengah ribut dengan permasalahan yang tidak jelas. Bahkan keduanya berhasil menarik perhatian beberapa pasang mata yang duduk di ruang tunggu itu. Begitu juga dengan Ed dan Jo.
“Lo perhatikan kedua orang itu,” ujar Jo seraya menunjuk kepada kedua orang yang tengah berdebat tersebut.
“Gue tahu maksud lo,” potong Ed.
Jo tersenyum. Sebenarnya dia sudah yakin jika Ed bukan tipe orang yang suka meributkan sesuatu apalagi di depan umum seperti itu. Tabu baginya melakukan sesuatu yang membuat pasangannya atau pun teman lainnya merasa tidak nyaman.
Perlahan suara panggilan untuk menaiki pesawat mulai menggema dari balik pengeras suara. Ed dan Jo bangkit kemudian masuk ke dalam pesawat.
Langit berwarna abu-abu. Lahan hijau yang kemarin membuat mata terperangah kini diselimuti debu yang bersumber dari semburan Sinabung. Ed dan Jo baru saja tiba di daerah pengungsian.
Seorang anak setinggi dada Jo berjalan pelan menghampiri keduanya. Wajahnya lemah dan matanya tampak berkaca-kaca saat melihat dua pemuda itu tiba di depan pengungsian.
“Aska!” teriak Jo. Pemuda itu berlari meraih bocah tersebut. “Ternyata kamu sudah besar sekarang,” katanya seraya memeluk Aska.
Sontak tangis bocah itu pecah seketika. Ada haru yang kemudian mendekam dalam dadanya yang bergemuruh. Bukan karena terharu melihat kedatangan dua pemuda itu. Bukan karena terharu karena Ed dan Jo benar-benar memenuhi janji yang diucapkan beberapa tahun silam. Aska bersedih melihat kenyataan.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Ed sembari mengelus kepala Aska, lembut. Ed berlutut di hadapan bocah itu untuk menyamakan tinggi badan mereka.
“Aku tidak pernah berharap kalian memenuhi janji itu. Aku bahkan sudah lupa,” ucap Aska. Air matanya terus saja mengalir membasahi pipinya.
“Tenanglah. Kami di sini untuk menghibur Aska dan teman-teman Aska di sana,” ucap Ed. Pemuda itu bangkit berdiri dan menggandeng tangan Aska masuk ke tenda pengungsian. Sementara Jo sudah lebih dulu beranjak pergi meninggalkan mereka.
“Apakah dengan hadirnya abang di sini akan membuat Sinabung berhenti?” tanya Aska polos.
Ed berhenti melangkah dan menarik nafas, dalam. Bibirnya tersenyum saat menatap wajah Aska yang mengiba. Entahlah, dia terlalu cepat dewasa atau terlalu memperhatikan apa yang terjadi selama ini. Yang pasti, keceriaan yang dulu hampir sirna dari wajah anak itu.
“Aska...” Ed kembali berlutut. Matanya kontras melekat di wajah Aska. “Tuhan tidak pernah memberikan cobaan yang tidak bisa kita hadapi. Jika Aska dan teman-teman Aska selalu berdoa, maka Tuhan akan membantu Aska.”
Aska membuang muka. Tangannya yang sedari tadi melekat dalam genggaman Ed dilepaskan begitu saja.
Perlahan Ed menyadari jika bocah itu tengah menangis namun tidak begitu jelas. Samar. Tangannya sesekali mengusap wajahnya yang telah basah.
Ed memeluk Aska dan membenamkan wajah anak itu cukup lama dalam pelukannya.
“Kak Shinta juga bilang begitu. Jika Aska berdoa maka suatu hari Tuhan akan membantu menyelamatkan ladang dan rumah kami. Tapi itu tidak terjadi,” bantah Aska.
“Siapa itu Kak Shinta?”
“Kakak yang datang dari komunitas peduli bencana Gunung Sinabung. Dia datang beberapa kali dan memberikan kami permen. Dia cantik dan baik hati,” kata Aska.