So I’ll go the distance
This time
Seeing more the bigger
I climb
That the more I believe
All the more that this
Dream will be mine
(Gloria Estefan – Reach)
Matahari pagi terlihat lebih bersemangat. Sisa-sisa debu yang menempel di dedaunan perlahan sirna oleh embun pagi yang masih menempel di atasnya. Sama seperti harapan baru yang hadir sebagai hasil dari doa yang tersampaikan bersama hati yang tulus. Mimpi seolah bangun dari tidur, memunculkan wujud aslinya dan perlahan datang menghampiri pemiliknya. Meski keberadaannya masih sangat samar.
Ed dan Jo kini sedang dikerumuni sekelompok anak kecil dan juga ayah dan Ibu Jo. Semua diam seolah tersengat sihir yang seketika datang.
“Lusa kami akan pulang, Pak,” kali ini Ed yang memulai. Sehari sebelumnya dia dan Jo sudah sepakat untuk kembali ke Jakarta. Berhubung waktu wawancara Jo sudah di depan mata.
Ayah Jo menelan ludah. Matanya mengitari seisi tempat pengungsian. Ada duka yang tiba-tiba muncul dalam sinar matanya. “Entah apa yang bisa kami berikan untuk membalas kebaikanmu, Nak.”
Ed tersenyum kecil. Matanya serta merta memandangi gerombolan anak-anak yang duduk rapi di hadapannya. “Berkorban adalah sebuah kewajiban bagi saya, Pak. Dan apa yang kita berikan tidak selalu harus berbalas, bukan?”
Seketika tangis Aska pecah dan diikuti beberapa temannya. Dalam sekejab kerumunan itu mendapat perhatian pengungsi lain. Beberapa pria dewasa mulai berdatangan begitu juga dengan beberapa wanita. Tangis dari mulut-mulut mungil itulah yang menjadi penyebab kehebohan hari itu.
“Apa yang terjadi?” tanya seorang pria berkulit legam. Wajahnya terlihat kaget ketika melihat Aska dan teman-temannya menangis histeris.
“Maaf, Pak. Kami hanya sedang berpamitan dan lihatlah sekarang apa yang terjadi. Mungkin anak-anak ini hanya merasa sedih,” kata Jo menjelaskan.
Pada akhirnya orang-orang yang datang duduk bersama mereka. Dan bertambahlah kerumunan itu. Beberapa orang tua dari teman Aska tampak menenangkan anak mereka. Hal itu terjadi hingga puluhan menit. Dan yang terjadi setelahnya adalah keheningan yang mengggigit.
***
Pagi berikutnya, terlihat Aska dan teman-temannya sudah berkumpul di luar pengungsian. Mereka sedang menunggu Ed dan Jo keluar dari dalam. Dari tindakan-tindakan kecil yang dilakukan oleh Aska selama ini, bocah itu pantas dijadikan pemimpin. Dia adalah orang yang selalu berhasil memengaruhi teman-temannya ketika Ed meminta tolong untuk melakukan sesuatu. Seperti pada beberapa hari sebelumnya. Sampah berserakan di sekitar tempat pengungsian. Orang tidak lagi peka dengan lingkungan setelah bencana melanda tanah mereka. Yang terpikir dalam benak para pengungsi hanyalah solusi terbaik untuk bisa lepas dari masalah ini. Juga cara mereka membesarkan anak-anak mereka setelah ini.
Ed adalah sosok yang sangat peka dengan sesuatu yang mengganggu pemandangan matanya. Dengan inisiatif yang muncul seketika dalam otaknya, pemuda itu meminta bantuan Aska untuk mengumpulkan teman-tamnnya kemudian secara bersama-sama membersihkan lokasi pengungsian dari sampah. Sebuah tindakan kecil yang mungkin banyak diabaikan oleh beberapa orang.
“Mak, Pak, aku akan kembali begitu mimpi ini tuntas aku raih. Aku janji,” ucap Jo seraya memeluk ayah dan Ibunya secara bergantian. Air matanya mengalir begitu saja. Bukan karena dia begitu menyesali perpisahan ini. Namun Jo merasa sedih saat melihat nasib kedua orang tuanya dan masyarakat yang terjebak di tempat pengungsian. Hanya itu.
Dalam hati terbesit sebuah janji. Janji untuk terus berjuang dan kembali suatu saat. Setidaknya jika dia diberikan kesempatan untuk dapat mengubah situasi ini, Jo ingin sekali kembali dengan membawa mereka bangkit dari keterpurukan ini.
Ed dan Jo berjalan keluar dari tempat pengungsian. Beberapa orang mengantar mereka keluar. Seperti barisan arak-arakan dalam sebuah upacara adat. Sementara itu di luar segerombolan anak-anak yang dipimpin oleh Aska sudah siap menyambut kedua pemuda itu. Wajah-wajah haru mulai bertebaran. Mata-mata berkaca oleh lelehan air mata yang hampir tumpah di wajah kecil mereka. Juga tangan gemetar yang terlihat sebagai perwakilan dari rasa takut akan kehilangan.
Jo ragu untuk melangkah lebih dulu. Pemuda itu tidak memiliki kata-kata untuk dijadikan alasan kepada pemilik wajah-wajah polos itu. Melihat karaguan di wajah Jo, Ed maju lebih dulu. Seperti biasa, seulas senyum dipersembahkan kepada Aska dan teman-temannya. Sebuah senyum yang memberikan kekuatan untuk mereka yang tengah tertekan.
Mereka berdua tahu jika anak kecil adalah sosok yang begitu mudah tersentuh meski pada akhirnya mereka akan mudah melupakan apa yang terjadi.
Ed berlutut di hadapan Aska. “Apakah kali ini Aska memperbolehkan abang pulang?” tanyanya.
Pertanyaan yang cukup resmi namun Ed tidak memiliki pilihan.
Seorang anak laki-laki bertubuh legam maju dan berdiri di samping Aska. Wajahnya telah basah oleh air mata. “Apakah Bang Jo dan Bang Ed akan kembali suatu saat?” pertanyaan yang begitu polos berisi sebuah harapan. Pertanyaan yang lumrah terucap saat sebuah perpisahan terjadi.
“Mari kita doakan bersama,” kata Ed seraya mengelus pundak anak itu, lembut.
“Tapi abang harus janji. Kalau tidak, kami tidak akan membiarkan Bang Jo dan Bang Ed pergi,” katanya lagi.
Ed melihat Jo yang masih dalam haru. Pemuda itu mengangguk untuk mengatakan ‘iya’ meski itu hanyalah sebuah harapan. Sebuah tanggung jawab lebih tepatnya.
“Baiklah. Abang janji akan kembali suatu saat. Tapi kalian harus berjanji dulu untuk tidak menangis. Tetaplah rajin belajar hingga menjadi orang yang berguna nantinya,” pesan Ed.
Aska masih tetap bungkam. Hanya air mata yang terus mengalir dari kedua matanya. Bahkan suara tangisnya hampir tidak terdengar. Saat Ed memeluk bocah itu, teman-temannya ikut bergabung dan memeluk Ed secara bersamaan. Suara tangis pecah seketika.
Melihat pemandangan itu, Jo mendekat dan memeluk gerombolan itu dengan kedua tangan semampunya. Meski mereka masih sangat kecil namun haru datang begitu alami. Tidak ubahnya seperti orang dewasa yang merasa sangat sedih ketika mendapat sebuah masalah serius.
Ed meloloskan diri dari rangkulan anak-anak itu. Bersedih terlalu lama akan membuat mereka berduka semakin lama. Dan dia tidak menginginkan itu. Ed berpaling dan mengambil kembali ranselnya yang tergeletak begitu saja di tanah. Kemudian mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa orang tua yang kebetulan ada di luar pengungsian.
Ed dan Jo berjalan meninggalkan mereka dan sesekali melihat ke belakang. Tanpa diduga, Aska kembali berlari dan jatuh dalam pelukan kedua pemuda itu.
“Janji harus ditepati. Bang Jo dan Bang Ed harus kembali lagi,” ucapnya. Kemudian bangkit berdiri dengan kedua tangan menempel di pinggang. Bocah itu telah berhenti menangis, hanya ada sisa air mata yang menempel di wajahnya yang lusuh.
“Tentu,” jawab Jo seraya tersenyum.
***
Perjalanan pulang ke Tanah Karo adalah sebuah harapan. Bagi Ed dan Jo kepulangan itu adalah sebuah misi menyeka luka-luka kecil dari jiwa yang menangis. Meski perbuatan mereka belum bisa diperhitungkan, setidaknya mereka telah berhasil menciptakan sebuah tawa yang sempat hilang dari jiwa yang terluka itu. Bagi sebagian orang, itu memang tidak seberapa. Namun perjuangan tidak selalu dinilai dari sebesar apa yang berhasil diberikan.
Dan kini mereka berada di atas ketinggian menuju Jakarta.
Mata Jo tidak berhenti menatap ke luar jendela pesawat. Hanya ada awan putih yang menggumpal secara berkelompok. Sementara di kejauhan, pada tempat yang lebih terang hanya terlihat petakan-petakan yang entah apa. Pemuda itu mulai memikirkan Aska, kedua orang tuanya, masyarakat di tempat pengungsian, dan gunung Sinabung. Kemudian semua itu dia himpun menjadi satu dalam satu harapan dan doa.
***
Matahari hampir tenggelam ketika Ed dan Jo tiba di kos-kosan. Semua masih tampak sama. Babe Mul yang duduk di samping posnya sedang menghisap rokoknya dengan sangat santai. Wajahnya masih terlihat bersemangat, sama seperti beberapa tahun lalu.
Sementara di tempat kos-kosan khusus putri tampak lengang. Hanya ada beberapa orang gadis yang duduk di teras. Dan sebagian dari mereka adalah wajah-wajah baru.
“Lo sedang mencari seseorang?” tanya Jo.
Ed mengerti siapa yang dimaksud sahabatnya.
“Apakah komunikasi kalian berjalan baik selama kita berada di kampung?”
“Tentu saja. Jika tidak berlebihan, Rainy adalah nafas gue sekarang. Dan jika tidak terlalu berlebihan lagi, gadis itu adalah tempat gue pulang saat tidak ada orang lain yang bisa menerima kehadiran gue,” jelas Ed.
Jo meninju pundak Ed, “Entahlah. Kedengarannya itu sangat berlebihan. Apakah lo merasa hanya lo yang memiliki kekasih di dunia ini?” kata Jo.
“Tentu saja tidak. Hanya saja tidak semua pasangan bisa merasakan hal yang sama.”
Jo menggeleng-gelengkan kepalanya seraya meletakkan ranselnya di depan pintu kamar. Sementara Ed masih menunggu, apakah pemuda itu masih memiliki sesuatu yang bisa memojokkan dirinya sendiri.
“Gue akan tidur setelah ini. Nikmati waktumu dengan gadis itu. Besok adalah hari yang menentukan. Gue tidak ingin ada kesalahan. Jadi, sebaiknya lo tidak mengusik tidur nyenyak gue malam ini,” ucap Jo.
“Separah itu?” tanya Ed tidak percaya.
“Gue rasa dalam hal ini kita impas. Gue tidak akan menganggu romansa lo yang katanya begitu hebat itu. Dan sebaliknya, gue bisa menikmati tidur nyenyak tanpa harus diganggu sama lo. Impas bukan? Gue juga tidak igin selalu menjadi sosok yang terhakimi.”
“Baiklah,” jawab Ed setelah melempar ransel Jo ke dalam kamar saat mulut pintu mulai menganga.
***
Sekitar pukul delapan, Ed menemukan Rainy sedang sibuk dengan rutinitasnya. Sebuah buku bersampul biru lembut kini mendekam dalam genggamannya. Sementara Remember When It Rain milik Josh Groban terus bergulir dari balik handsfree yang menempel di kedua telinganya. Gadis itu begitu khusuk hingga tidak menyadari kehadiran kekasihnya.
Tangan Ed menempel tiba-tiba di pundak Rainy. Pemuda itu sengaja membuat kejutan dengan tidak memberitahu Rainy jika hari ini dia dan Jo akan tiba di Jakarta.
Rainy merasa terganggu. Dalam sekejab matanya menemukan sosok yang begitu dirindukannya semenjak beberapa minggu yang lalu.
“Terkejut?”
Rainy belum menjawab namun terlihat jika dia tersenyum. Gadis itu melepaskan handsfree dari kedua telinganya dan meletakkan di atas meja.
“Aku kangen.”
Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Ed setelahnya. Begitulah Ed. Pemuda itu adalah sosok yang tidak pintar berbasa-basi apalagi jika itu menyangkut perasaan.
Rainya menarik kedua tangan Ed dan menggenggamnya erat. Dalam sekejab ada sesuatu yang kemudian mengalir. Kekuatan itu terus mengalir ke sekujur tubuhnya.
“Aku merindukanmu. Entahlah jika ini berlebihan. Benar apa kata orang, saat dalam pengaruh asmara, sehari rasanya setahun. Dan perasaan seperti itu yang sedang menderaku saat ini.”
Ed ingin tertawa namun tidak dia lakukan. Hanya senyum tipis yang kemudian hadir di wajahnya. “Aku mengerti...” pemuda itu kemudian mendekatkan diri ke telinga Rainy dan berbisik, “soalnya aku juga merasakan hal yang sama,” ungkapnya jujur.
Ed duduk lebih dekat. Pemuda itu mengambil buku yang teronggok di atas meja. Saat melihat judul dan nama pnulisnya, seulas senyum tipis kemudian mengumbar di bibirnya.
“Ada perasaan takut saat memasuki bagian pertegahan buku ini,” kata Rainy.
“Aku justru ngeri saat membaca blurb-nya. Bagaimana rasanya patah hati yang hebat itu? Apakah kau mampu menggambarkannya?” tanya Ed.
Seminggu setelah kepergian Ed dan Jo dari Jakarta, Rainy mencari kesibukan sendiri untuk membunuh rasa sepi. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Pelarian terakhir adalah berburu buku-buku yang dulu belum sempat di bacanya. Perburuan itu berhasil dan hasilnya adalah beberapa buku tebal dari pengarang kesukaannya dan sebuah buku bersampul biru lembut.
Sebenarnya Rainy sudah menyelesaikan buku itu beberapa hari yang lalu. Namun keinginan untuk mengulang terus membuncah dalam pikirannya. Apalagi saat konflik yang dialami oleh tokoh di dalamnya. Rainy bahkan sempat membawa itu pada dirinya sendiri. Dia mengingat Ed, dia melihat dirnya sendiri, bahkan Rainy teringat dengan hubungan mereka sendiri. Ada sesuatu yang mengusik dalam batinnya. Sebuah rasa yang mengganjal dadanya sendiri.
Perpisahan. Jarak. Dua hal itu menari dalam benaknya.
Perpisahan membuat orang mengalami saat-saat yang cemas. Sementara jarak adalah sesuatu yang menciptakan rindu. Mampukah mereka menepis godaan atas dua hal tersebut?