Jalan yang menyatu dengan teras-teras rumah diterabas begitu saja. Ia perlu menyerongkan bahu berkali-kali, menyediakan celah untuk orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Topi hitam ditarik lebih rendah. Ia lupa kapan mulai belajar untuk lebih waspada, terutama pada orang-orang yang terlihat asing berkeliaran di kampung itu. Wujud rasa takut yang harus diakui. Namun, sebenarnya, ia tidak pernah mencoba melarikan diri dari siapa pun, dan dari apa pun. Tentang tujuan pembentukan negara ini yang pernah ia baca; untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; seharusnya alasan yang cukup untuk merasa aman tinggal di mana pun di negeri ini.
Ilham berhenti di ujung gang, yang tampak kemudian adalah gunungan sampah dengan beberapa bangunan berdinding triplek di sekitarnya. Gembok kuningan sebuah warung kopi dibuka, pintu warung didorong penuh, lalu diganjal dengan sebuah kaleng susu yang diisi dengan semen. Ransel hitam diletakkan di atas sofa berbahan beludru yang koyak di sana-sini. Bisa ditebak, jika pemilik warung kopi memungut sofa itu dari tempat pembuangan sampah di sebelahnya.
Topi hitam digantung di paku yang menonjol. Ia juga melempar kemeja ke atas ransel dan menyisakan kaos oblong putih yang cukup sesuai untuk tempat sempit dan pengap itu. Ilham memang bukan pemilik asli warung kopi. Ia hanya numpang tinggal dengan seorang kakek yang usianya hampir 70 tahun. Warung yang juga jadi kediaman itu, setidaknya sudah berdiri selama 28 tahun. Mulanya istrinya yang menjalankan warung dan Kakek bekerja sebagai buruh pabrik. Tahun lalu, istrinya meninggal, anak-anak mereka sudah berkeluarga dan tidak ada yang tinggal di Jakarta. Sebagai ganti uang sewa, Ilham ikut bantu-bantu melayani pembeli. Sayangnya, setahun terakhir ekonomi benar-benar sulit. Di luar, kekacauan yang terjadi juga semakin masif. Dua bulan lalu, Kakek pulang ke kampung halamannya di Blitar. Tidak lama kemudian, sepucuk surat dikirimkan dari Blitar dan Ilham tidak tahu kalau sebenarnya surat itu ditujukan untuk anak kandung Kakek. Ilham tidak sengaja membuka surat dan mengetahui bahwa Kakek sakit sampai meninggal dunia. Sampai sekarang pun Ilham tidak tahu apakah kabar kematian Kakek sampai ke anak-anaknya atau belum.
Barang-barang peninggalan Kakek masih lengkap dan dirapikan seadanya. Warung kopi itu juga masih tetap sama. Tidak ada niatan apa pun di benak Ilham, ia kira ia akan pergi setelah anak-anak Kakek datang dan meminta kunci warung itu darinya.
Lap kain dibasahi, lalu disapukan ke atas meja yang berdebu. Setelah berkeliaran selama satu minggu, Ilham justru merasa lebih tenang di tempat itu. Sendirian dan mengerjakan pekerjaan yang tidak terlalu menguras pikiran. Ia merasa seperti berada di ujung dunia ketika berdiri di teras, walau pemandangan yang terlihat adalah lapangan luas dengan gunungan sampah. Kadang-kadang terdengar cukup keras suara kereta yang melintas. Tanah seperti bergetar dan hampir menumbangkan botol dan gelas-gelas kaca yang tersusun di warung kopi.
“Sudah pulang, Ham?” tanya tetangganya yang kebetulan lewat.
“Iya, Bu. Barusan!” jawab Ilham sambil memeras kain lap. Air berwarna abu-abu, mengalir dari sela jari.
“Ke mana aja? Pulang kampung, ya?”
“Nggak kok, Bu! Cuman nginap di rumah teman,” katanya tidak sepenuhnya berbohong.
“Oh, Gitu. Ya, sudah! Ibu jalan dulu, ya!”
“Iya, Bu! Hati-hati!” sahut Ilham sambil terus menggiring langkah Bu Ratih menyeberang rel kereta tanpa plang. Jalan pintas ke mana-mana, walau sedikit berbahaya.