Dua Sisi

romaneskha
Chapter #2

Chapter 2: PEREMPUAN DALAM DEKAPAN

Dari terminal Kampung Melayu menuju Klender, azan Isya baru saja berkumandang ketika ia turun dari metro mini. Ilham bersandar sejenak di sisi metro mini sambil mengeluarkan rokok dari saku celana. Sekali lagi, Ilham merendahkan depan topi, namun justru mengangkat wajah untuk melihat lebih jelas siapa yang akan ikut turun kemudian. Dua laki-laki bertubuh tegap; berkulit sawo matang, mengenakan jeans dan kaos berlengan panjang; dua laki-laki itu telah menemaninya diam-diam sejak di Manggarai. Mungkin terlalu berlebihan jika Ilham berpikir dua orang itu sedang menguntitnya, mengingat cukup banyak orang hari itu. Lagi pula, jika ingin melakukan penyergapan, mereka bisa melakukan itu lebih cepat di tempat pemberhentian sebelumnya.

“Putus cinta sudah biasa, putus rokok merana, putus rem matilah kita,” tidak saja kalimat itu tertangkap oleh mata. Terpampang di bagian belakang metro mini lain yang barusan jalan. Ilham tersenyum simpul mengingat ia masih aman-aman saja setiap kali naik metro mini, ditemani batangan rokok yang hanya kadang-kadang bisa dinikmati. Buruknya kali ini, dia tidak punya apa pun untuk menyulut rokok.  Dan soal cinta, Ilham benar-benar tidak paham. Keberaniannya tidak pernah cukup untuk memulai sebuah hubungan.

“Bang! Punya korek?” tanya Ilham pada orang yang justru ia curigai sedang menguntit dirinya.

Dua orang itu tampak kebingungan. Satu di antaranya kemudian mengeluarkan pemantik api dari saku celana. Benda segi empat berwarna perak, dengan ukiran unik di sisi-sisinya. Tentunya, jika dibilang orang biasa, tidak akan punya pemantik api sejenis itu. Ilham pernah melihat benda semacam itu beberapa kali, benda koleksi orangtua teman yang keturunan Tionghoa. Kabarnya, pemantik jenis itu adalah primadona bagi kalangan militer saat perang dunia kedua. Dari memasak, membuat api unggun, sampai menyulut bom, apa yang tidak bisa ia lakukan?

Wajah di antara api kecil yang menyala. Cahaya jingga nan indah yang keluar dari tempat yang lumayan menarik kekaguman. Keakraban seharusnya bisa terjalin dari sebuah pemantik api. Obrolan santai akan terjalin tanpa disadari, membuat orang asing menjadi kawan meski hanya pertemuan di satu malam itu. Sayangnya, api juga sumber masalah jika di tangan orang yang salah.  Ilham benar-benar tidak tahu orang seperti apa yang sedang ia hadapi. Termasuk logis jika orang-orang ini akan mengikutinya hingga ke kediaman. Karena jika beroperasi sekarang, ketika ia menggeledah isi ransel yang Ilham bawa, maka mereka hanya akan menemukan catatan tugas akhir Tono, temannya yang meminta bantuannya untuk mengerjakan tugas dengan bayaran yang lumayan. 

“Makasih, Bang!” Ilham mengembalikan pemantik api. “Pada mau ke mana, Bang?” tanyanya lagi sok jadi orang yang gemar ikut campur.

Lihat selengkapnya