Bau darah mengusik penciumannya, bukan bau amis, hanya seperti bau besi. Ilham juga merasakan hangat di telapak tangan. Rupanya ada luka di belakang kepala “Perempuan dalam Dekapan”. Ketika Ilham mendorong sedikit bahu perempuan itu, Ilham baru tahu kalau perempuan itu sudah tidak sadarkan diri. Tapi, bahu-bahunya masih hangat. Aliran napasnya juga masih terdengar.
Ilham menerawang ke banyak arah. Berharap ada yang lewat, tapi sepertinya percuma. Ilham lebih tahu kondisi jalan yang memang biasa ia lewati. Beberapa area tertentu, jarang ada yang melintas. Tapi, seratus meter ke depan, adalah pemukiman. Ada seorang dokter yang cukup terkenal tinggal di area itu.
“Bertahanlah! Aku bakal bawa kamu!” Ilham melepas jaket denimnya untuk melapisi dress yang koyak. Ilham menggendong perempuan itu di punggungnya. Tarikan napas yang tenang beradu dengan langkah kaki yang terkesan berat.
Ilham langsung menurunkan Perempuan dalam Dekapan di kursi depan ruang praktik. Ruang praktik yang sepertinya sudah tutup, tapi lampu di dalam masih menyala. Tidak lama kemudian, terdengar suara gagang pintu yang diputar dan orang yang ingin Ilham temui menampakkan diri. Ilham terengah, belum mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap sang dokter, berharap dokter itu punya ingatan sedikit tentang dirinya yang pernah mengantar Kakek Baidowi beberapa kali ketika Kakek merasakan panas di dadanya.
“Ilham!” sebut dokter itu membuat Ilham bernapas lebih lega.
“Tolong dia, dok!” sebut Ilham.
Tentang apa yang terjadi dengan perempuan itu, mana mungkin Ilham tahu. Bukan tanpa risiko menolong orang yang tidak jelas asal-usulnya. Masih mending jika dia hidup. Tapi, jika mati, Ilham bisa saja dipersalahkan dan dianggap sebagai pelaku kejahatan utama.
“Kondisinya sudah begini waktu saya ketemu dia!”
“Cepat bawa masuk!” perintah dokter Budi.