Dingin itu merayap hingga ke tulang. Namun, Ilham masih bisa tidur di atas lantai ubin putih sambil bersidekap. Ditemani aroma alkohol yang menyengat pada awalnya, tapi tidak butuh waktu lama untuk terbiasa. Perempuan dalam Dekapan masih tidur di atas dipan kayu. Sementara dokter Budi, dia telah mohon diri sejak tengah malam.
Ilham memang selalu terbangun sebelum azan subuh. Ia berjalan ke kamar mandi untuk berwudu, sebelum itu ia harus membersihkan kaos oblong yang terkena percikan darah. Rambut bagian depan ditarik ke belakang dan dikuncir dengan gelang karet yang memang selalu tersedia di saku celana. Celana jeans digulung hingga atas mata kaki dan sajadahnya hanya berupa jaket yang digelar di atas lantai. Selesai salat, tidak ada doa khusus yang dipanjatkan yang mengharuskannya untuk mengangkat tangan. Hanya hatinya yang berujar, bahwa Tuhan mengerti apa yang “kami” butuhkan. Terhadap satu-satunya orang yang dirindukan, Ilham selalu yakin Tuhan telah memberikan tempat begitu nyaman dan damai. Ibunya orang teramat baik, dan orang baik cepat dipanggil Tuhan. Ibunya mungkin bukan orang berpendidikan, tapi mengerti agama. Sejak pukul tiga dini hari sampai selesai salat Subuh, waktunya dihabiskan di atas sajadah. Ilham Kecil dibangunkan sekitar pukul empat dan dipaksa untuk salat malam. Selesai salat dua rakaat, Ilham kecil yang tidak kuasa menahan kantuk, merayap manja ke pangkuan Ibu dan melanjutkan tidur di sana. Ia terbiasa mendengar lantunan Al-Quran dari Ibunya, meski suara Ibu sebenarnya tidak terlalu merdu.
Hingga suatu hari di subuh Jumat, matahari telah meninggi, tapi Ibunya tidak kunjung keluar dari kamar. Ilham yang saat itu berusia 15 tahun, masuk ke kamar Ibu, sekadar ingin berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Ia menemukan Ibu masih sujud di atas sajadah dengan mukena yang tampak lusuh. Ilham menunggu Ibunya bangkit. Setengah jam berlalu, Ibunya masih pada posisi yang sama. Tanpa peduli akan terlambat ke sekolah, Ilham tetap menunggu. Sampai satu jam kemudian, air matanya mengalir. Seolah tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Dan Ilham semakin yakin ketika ia mendekati Ibu, menggenggam punggung perempuan itu dan menemukan bahwa punggung Ibu telah kaku dan dingin. Isakannya semakin jadi. Meski begitu, ia tidak membiarkan air matanya jatuh. Bagaimana pun, Tuhan memperlihatkan tanda kebaikan dan kemuliaan pada jasad itu. Ibunya disemayamkan di masjid dan disalatkan oleh ribuan orang dari berbagai penjuru kota. Sudah menjadi janji Tuhan bahwa mereka yang meninggal di hari Jumat akan terbebas dari siksa kubur. Karena itulah, Ilham begitu yakin bahwa Ibunya berada di tempat nyaman dan damai.
Lagi pula, jika janji Tuhan saja tidak dipercaya, apa lagi yang yang bisa dipercaya? Ilham sudah merasa kosong sejak ayahnya menikah lagi setahun setelah ibunya meninggal. Ia memutuskan ikut omnya ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Kecuali salat lima waktu, sebagai bentuk jalinan terhadap Tuhan, Ilham tidak punya apa-apa lagi. Terhadap rezim 32 tahun yang menguasai ratusan juta penduduk negeri ini, ia merasa tidak punya daya. Tangannya sungguh kosong. Sementara lidahnya masih ada, masih bisa ia berteriak, meminta agar presiden turun dan minta kroni-kroninya agar diadili. KKN adalah bentuk pasti dari ketidakadilan yang telah rezim ini budayakan. Suara sakit hati terhadap keberadaan aparat keamanan negara juga telah diperdengarkan, bahwa mereka seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan sebagai kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan. Tapi, suara-suara itu rupanya tidak lebih nyaring dari desingan peluru dan derap langkah tentara yang menyerbu rakyatnya sendiri. “Kami” dipukuli sampai bungkam. Sayup-sayup akan terdengar “gugur bunga” dilantunkan oleh kaum-kaum yang terpinggirkan. Sesuatu yang berarti “kita” masih dijajah dan masih berharap ribuan pahwalan lagi untuk merebut kemerdekaan. Dan sekarang, “kami” mulai bersiap untuk bangkit, berlari dan berteriak lagi. Tidak tahu apakah rezim ini akan berkahir di generasi “kami”, yang pasti “kami” tetap akan berjuang untuk meruntuhkannya dan sudah sangat terlambat untuk menghentikan perjuangan ini.
Bangkit dari salat, Ilham berbalik tanpa kewaspadaan apa pun. Perempuan dalam Dekapan, rupanya sudah bangun. Dia menghadang Ilham dengan gunting yang siap ditancapkan ke dada Ilham. Ilham masih menghadapinya dengan tenang. Bahkan ketika gunting itu benar-benar menembus kulitnya.
“Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin itu ke aku? Apa salahku? Kenapa kamu jahat banget?” rentetan pertanyaan itu ditujukan ke Ilham.
Ilham melirik ujung gunting yang melukai dadanya. Perempuan itu jelas masih terlalu lemah. Kekuatannya tidak akan sampai membunuh Ilham. Meski begitu, rasa sakit yang timbul membuat Ilham tidak bisa bergerak leluasa.
“Apa salahku? Kenapa kamu ngelakuin itu?” Perempuan dalam Dekapan meraung lagi.
Ilham menatap pilu perempuan di hadapannya. Perempuan dalam Dekapan, sudah pasti tidak tahu siapa yang melecehkannya. Dia mungkin merasa tidak berdaya karena tidak bisa mempertahankan apa yang ingin dipertahankan. Dia mungkin merasa lemah karena tidak bisa melawan kekejaman yang ditujukan pada dirinya. Dia mungkin merasa kotor dan terhina, tapi tidak tahu mesti berbuat apa. Dan sekarang, alam bawah sadarnya terus mencari pembenaran tentang, “Kenapa harus aku?”