Siang ini, hujan deras mengguyur Kota Jakarta. Seorang pria terpaksa menghentikan motornya dan berteduh di mini market terdekat. Jaket almamaternya basah kuyup. Kemudian, ia melepas helm dan meletakkannya di atas kaca spion.
Fauzan Altara Suanda. Itulah nama yang tertera pada jaket almamaternya. Pria dengan wajah yang agak kearab-araban, hidung mancung, dan postur tubuh yang tinggi, membuat para perempuan yang juga berteduh di mini market itu terus menatapnya, bahkan ada beberapa yang saling berbisik-bisik.
Telinga Fauzan tidak tuli. Ia mendengar apa yang dibisikkan mereka karena jarak antara dirinya dan perempuan itu, hanya satu meter saja. Tapi, ia tak menghiraukannya. Ponsel di tangannya-lah yang menjadi fokus utama.
Sudah dua minggu, ia mencoba menghubungi dan mencari keberadaan Renata Dalia. Perempuan yang telah memberi warna dalam hidupnya itu menghilang tanpa jejak. Dua hari yang lalu, nomor ponsel Renata masih bisa dihubungi meski tidak diangkat. Namun keesokkan harinya, tiba-tiba nomor Renata tak bisa dihubungi alias nonaktif.
Fauzan sudah mencari Renata ke mana-mana, bahkan ke tempat kos pujaan hatinya itu. Namun sayang, kata ibu kos, Renata sudah pindah dan tidak memberitahu, ke mana perempuan itu akan pindah.
Fauzan mengusap wajah dengan gusar. Tangannya masih setia memegang ponsel. Berharap ada yang mengabari keberadaan Renata.
"Re, kamu ada di mana? Aku sudah mencarimu ke mana-mana selama dua minggu ini. Apa kamu tak merindukanku, Re?" Fauzan berkata dengan suara pelan sambil memandangi foto Renata dan dirinya ketika pertama kali bertemu yang sengaja dijadikan wallpaper di ponselnya.
"Mas Fauzan sedang apa di sini?" Seorang perempuan menepuk pundak Fauzan dari belakang.
Fauzan menoleh sebentar, lalu kembali menatap ponsel. Ia tak memperdulikan, perempuan yang kini berdiri di sampingnya. Akar dari semua masalah yang ia hadapi karena perempuan itu. Sehingga, ia harus kehilangan sang pujaan hati.
"Mas Fauzan, kok, diam aja sih?" Perempuan itu terus bertanya dengan nada manja. Kali ini, ia memegang lengannya. Namun, Fauzan langsung menepisnya.
"Bukan urusanmu!" ujar Fauzan dengan nada tinggi dan ketus.
"Mas, kita ini udah tunangan, lho. Masa sampai sekarang, Mas Fauzan cuekin aku terus." Perempuan itu merengut
"Ya, itu resiko yang harus kamu terima karena kamu menerima pertunangan ini. Dari awal, aku sudah pernah bilang kalau di hatiku, hanya ada satu perempuan yaitu Rentan. Jadi, kamu jangan berharap bisa mendapatkan hatiku. Camkan itu!" Fauzan memberi penekanan di setiap perkataannya agar perempuan manja di hadapannya paham.
"Renata." Perempuan itu memotong pembicaraan Fauzan,"Mas harusnya sadar. Kalian itu berbeda dan nggak mungkin bersatu. Mas harus belajar membuka hati untukku, Syifa Karmila," ujar Perempuan yang menyebut namanya Syifa Karmila
Fauzan tersenyum sinis. "Sampai kapan pun, kamu tak akan pernah bisa menggantikan posisi Renata di hatiku. Karena aku yakin, dia satu-satunya perempuan yang mengerti dan tahu semua tentangku."
"Tapi kalian beda, Mas." Syifa tak menyerah untuk mengingatkan akan perbedaan itu.
"Perbedaan itu bisa disamakan," tegas Fauzan sambil menatap tajam Syifa.
Hujan sudah mulai reda, Fauzan bersiap-siap untuk melanjutkan pencarian. Keberadaan Syifa tak dihiraukannya. Kemudian, ia mengenakan helm, menyalakan mesin motor dan pergi dari mini market itu.
Sesampainya di kampus, Fauzan memarkirkan motornya di tempat yang sudah di sediakan oleh pihak kampus. Kemudian, ia duduk di bangku taman kampus. Pencarian Renata kemarin, tak membuahkan hasil sedikit pun. Kebetulan, pujaan hatinya itu satu kampus dengannya, hanya berbeda fakultas saja. Ia di fakultas Sastra, sedangkan Renata di fakultas kedokteran.
Ia sudah berulang kali mendatangi fakultas kedokteran dan menemui teman-teman Renata, bahkan sampai menanyakan pada ketua program di kampus. Namun, hasilnya nihil. Mereka sepertinya telah bersekongkol menyembunyikan keberadaannya.
Ponselnya tiba-tiba berdering.