Mobil ukuran sedang berwarna merah terparkir di halaman rumah Keluarga Suanda yang cukup disegani oleh warga di sana. Pak Suanda Ginajar adalah sosok yang ramah, baik, dermawan, dan religius. Ia tak pernah meninggalkan salat berjamaah di masjid. Sehingga, warga di kompleks perumahan sangat menyanjungnya.
Sebagai seorang pengusaha yang sukses, Pak Suanda tak pernah sombong. Semua sifatnya dan ketampanannya turun kepada putra sulungnya, Fauzan Altara Suanda. Namun sayang, diusianya yang terbilang masih muda, ia dipanggil lebih dulu oleh Tuhan karena tragedi kecelakaan beruntun ketika baru saja pulang dari menghadiri pertemuan dengan koleganya. Kejadian itu, sempat membuat perusahaan sedikit goyah, bahkan beberapa pemegang saham berontak.
Fauzan yang seharusnya memegang kendali perusahaan, menolak turut campur masalah bisnis ayahnya itu. Ia merasa tak memiliki jiwa bisnis seperti sang ayah. Baginya, sastra lebih menyenangkan dari pada harus berkutik dengan saham yang naik turun dan dokumen-dokumen yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Sehingga, mau tak mau —Lukman—suami adiknya yang bernama Atikah Fadya sari diangkat menjadi direktur utama. Menggantikan sang ayah.
Sebelum meninggal dunia, Pak Suanda sempat menikahkan Atikah yang merupakan anak bungsu dengan Lukman. Saat itu, Lukman menjadi staf keuangan di perusahaannya. Dengan penuh keberanian, Lukman melamar Atikah yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Putri bungsunya itu, sebenarnya telah memendam rasa pada Lukman dari sejak pertama kali berjumpa. Atikah pun memutuskan untuk menikah muda. Setelah menikah, putrinya itu bisa melanjutkan pendidikan. Ternyata keputusan yang diambil Atikah tak sia-sia, selang 2 bulan pernikahan, ia dijemput Tuhan untuk selama-lamanya.
"Tikah, opor ayamnya sudah matang belum?" Bu Rahayu berteriak dari ruang makan. Mereka berdua sedang sibuk membuat hidangan untuk tamu istimewa yang akan datan hari ini.
"Belum, Bu, sebentar lagi," ujar Atikah sambil mengocek opor dalam panci.
Bu Rahayu menghampiri Atikah untuk memastikan masakannya lezat ketika nanti disuguhkan. Sebab, putrinya itu belum mahir memasak opor.
"Coba sini, Ibu cek!" centong sayur yang ada di tangan Atikah pun berpindah. Bu Rahayu mengecek rasa dan kematangan.
"Bagaimana opor buatan Tikah?" Atikah memperhatikan ekspresi wajah Ibu. Hatinya ketar-ketir, takut opor ayam yang akan dihidangkan nanti gagal.
Bu Rahayu mengembangkan senyum merekah. "Hmmm, enak. Semua bumbunya pas. Opor ayamnya sudah matang kok." Ia menyimpan centong sayur dan menutup panci, lalu mematikan kompor.
"Alhamdulillah. Tikah kira bakalan gagal, Bu. Kalau gagal, kan bisa berabe Mana tamunya sebentar lagi datang."
"Oh, iya. Keluarga Syifa sudah sampai mana?"
"Setengah jam yang lalu, dia ngabarin baru mau berangkat. Mungkin sebentar lagi juga sampe." Atikah merapikan dapur dan mencuci peralatan yang tadi dipakai.
"Abangmu ke mana?"
"Abang lagi ngobrol di belakang rumah sama Mas Lukman."