Dua Sisi

Ali Wardani
Chapter #1

Berhenti

SUDAH makan, tidur juga cukup! Apa lagi kurang, Cika[1]?” cakapku kepada Malin yang tengah sibuk dengan layar enam inci miliknya.

“Jangan mengganggu!” Malin sedikit risih.

Tiba-tiba Malin menutup hidung. “Jangan bilang, kau belum mandi?” tambahnya tanpa menoleh sedikitpun. Sudah kuduga itu yang akan dikatakannya: kalimat hinaan yang sering ditujukannya padaku.

“Daripada kau! Malas mandi juga otak tumpul!” cakapku sedikit tinggi. Malin terdiam, semua orang tahu itu benar. Skor menjadi satu sama dalam acara hina-menghina antara aku dan Malin pagi ini.

Kuambil handuk dan bergegas mandi. Seperti biasa, di saat aku bersiap ke kampus, Malin dan Limun belum ada yang bersiap. Malin hanya sibuk dan fokus pada game kekinian yang disukainya. Di antara kami, memang hanya Malin yang berasal dari kalangan orang sederhana, artinya tidak bisa dibilang miskin namun juga bukan orang kaya. Katanya, dia adalah keturunan dari tuan tanah kaya raya nan jauh di Enrekang sana. Bahkan menurut cerita teman-temannya, kekayaan keluarga Malin tidak akan habis dimakan hingga delapan turunan. Artinya, kenyataan bahwa Malin adalah turunan kesembilan membuatnya tidak mendapat bagian kekayaan dari keluarganya. Setidaknya itu adalah salah-satu cerita gila yang pernah kudengar dari orang-orang mengenai Malin.

Berbeda dengan Malin, Limun masih tidur pagi ini. Limun sendiri berasal dari Luwu. Dia seorang anak yang pekerja keras karena berasal dari keluarga pra-sejahera. Namun karena terlalu fokus bekerja, Limun kadang lupa akan tujuannya ada di Gowa: kuliah. Setiap malam Limun bekerja sebagai seorang pelayan di salah-satu warung kopi dekat kampus. Bekerja sebagai pelayan Warkop membuat Limun sering pulang larut malam dan bangun kesiangan. Salah-satu penyakit mahasiswa zaman sekarang menurutku.

Sekarang adalah masa transisi dari semester genap ke ganjil. Mahasiswa mulai sibuk mengurus berkas kuliah miliknya. Membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), mengurus Kartu Rencana Studi (KRS), berkas beasiswa, sampai pada berkas Kuliah Kerja Nyata (KKN), semuanya harus diurus di waktu yang hampir bersamaan. Tak pernah kulihat mahasiswa lebih sibuk dari yang sekarang.

Kunyalakan vespa biru milikku­‒Vebi‒dan bergegas menuju kampus yang jaraknya hanya setengah kilometer dari rumah tinggalku bersama Fian, Limun, dan Malin. Pagi ini terasa sedikit berbeda, sedikit lebih dingin. Mungkin karena sekarang musim kemarau dan embun lebih banyak dari biasanya. Ahh, setidaknya burung kecil menari di sepanjang jalan yang kulalui pertanda bahwa suhu udara mulai hangat. Hamparan sawah di sepanjang tepi jalan yang kulalui ke kampus juga menceritakan kisahnya tersendiri. Mereka bercerita tentang kisah pilu petani lokal menghadapi dunia. Melawan pemotongan subsidi pupuk dan bibit, serta kapitalis asing yang ingin menjadikan sawah mereka menjadi pusat perbelanjaan dan perumahan. Mereka benar-benar gentar, dalam kepungan mafia kapitalistik itu.  

Aku berhenti di depan Fakultas Ekonomi tepat di tempat parkir. Kulihat si kecil Fian berlari dengan tertatih-tatih. Dia menghampiriku lalu berbicara sangat cepat macam komentator sepakbola ketika gol sedang terjadi. Hanya bedanya, komentator sepakbola tidaklah gagap seperti Fian.

“Gawat! Gawat, Lam!”

“Gawat? Gawat kenapa, Fi?”

“It.., it.., itu lohh!”

“Aduh! Kasih jelas, tarik napas baru bicara!”

 “Limun! Limun terancam cuti perkulihan semester ini!”

Lihat selengkapnya