Dua Sisi

Ali Wardani
Chapter #4

Bapak Kritik

DIA berlari menghujam dedaunan, ranting dan rumput lapangan hijau nan asri di tengah kampus. Berlari, dan terus berlari. Fian tahu dia sudah terlambat akibat sarapan terlebih dahulu di kantin kampus. Terbayang di benaknya hukuman paling mematikan dari dosen tak belas kasih bagi siapa pun pelanggar kontrak kuliah: terlambat. Jika pada hari Rabu pagi terlambat mengikuti mata kuliah pasar modal, maka mahasiswa tidak akan diizinkan masuk oleh Pak Hasikin: dosen mata kuliah pasar modal. Pak Hasikin merupakan salah satu dosen tak belas kasih jika menyangkut kedisiplinan. Dia tak segan-segan menghukum mahasiswa yang terlambat masuk di kelasnya. Salah-satu representatif dari nilai budi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang masih dipegang teguh.

Fian datang dan masuk kelas. Wajahnya berantakan bagai sudah terkena topan. Kusut, lebih kusut dari tukang jagal di Pasar Terong. Rambutnya julang-menjulang seperti hutan bambu di daratan China. Ditambah kemejanya yang kusut tak bersetrika, aku tahu dia akan kena semprot.

Fian mengetuk pintu ruang kuliah dengan tenang. Masuk kemudian duduk. Tiba-tiba Pak Hasikin yang sedang menulis rumus perhitungan obligasi berbalik dan bertanya, “Siapa tadi yang masuk tidak salam?”. Sungguh telinganya setajam telinga burung hantu. Semua diam, termasuk aku yang duduk tepat di depan papan tulis.

“Tidak ada yang mau mengaku? Kalau tidak ada, semuanya saya hukum menulis portofolio!” begitulah gertakan dosen tua yang sudah hampir pensiun itu. 

Kami gentar, ancaman menulis portofolio itu sangat menakutkan. Lebih menakutkan dari terosisme nomor wahid sekalipun. Semua mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi tahu bahwa menulis portofolio merupakan pekerjaan yang tidak mudah, lebih tepatnya berat. Bukan hanya pada tingkat kesulitannya tetapi juga pada jumlah lembaran yang harus ditulis. Bahkan, jika diberi pilihan antara menulis portofolio atau menyalin buku saku mahasiswa, pastilah kami lebih memilih menyalin buku saku mahasiswa. Namun, pertanyaannya kemudian adalah, “Dosen gila mana yang mau menyuruh kami menyalin buku saku mahasiswa?”.

Tak berapa lama, entah kenapa Fian tiba-tiba mengacungkan tangan dengan sendirinya. Dia mengaku bahwa yang terlambat tadi adalah dirinya. Aku terpana sekaligus takjub akan kejujurannya. Sebuah sikap berani yang sudah sulit ditemukan di kalangan mahasiswa modern saat ini. Salah-satu kebesaran hati dari anak penjual tahu itu. Menurutku, seharusnya atau semestinya, semua mahasiswa bisa sejujur itu. Meski kadang-kadang kejujuran itu lebih pahit dari buah pare yang disayur tanpa bumbu atau penyedap rasa apa pun.

Lihat selengkapnya