NEGARAKU adalah ladang sumber penghidupan
Namun yang tumbuh hanya gulma pemutus harapan
Gulma yang memakan habis hak kaum proletar
Seperti lebah pengisap manisan nektar
Mereka tak lebih dari malam yang bersanding dengan kegelapan
Berkonspirasi menyamarkan kebenaran
Mereka tak lebih dari polisi yang bersanding dengan pencuri
Berkonspirasi menyembunyikan kejahatan
Temanku Amalia menutup pembacaan puisi karyanya sambil menunduk di depan kelas mirip orang Jepang ketika mengucapkan terima kasih. Bersamaan dengannya, riuh suara tepuk tangan dan siulan dari 42 mahasiswa di kelas kami menyambutnya dengan sukacita. Sungguh puisi yang indah menurutku. Tak pernah aku mendengar puisi seindah itu. Apalagi yang menyangkut dengan tema pemerintahan.
Tak lama berselang Pak Hasikin masuk ke kelas dengan wajah suram yang mengisyaratkan peringatan. Peringatan itu jika ditulis kurang lebih berbunyi, “Hari ini suasana hatiku sedang tidak baik, jangan main-main denganku jika tak ingin dapat masalah!”. Amalia bergegas ke tempat duduknya. Begitu pun temanku yang lain, yang tadinya riuh, berubah diam seribu bahasa. Selanjutnya tak ada hal unik yang terjadi, kami kembali ke rutinitas awal yang sudah seharusnya terjadi di kampus: proses belajar dan mengajar.