AKU duduk diam dalam lamunan dilematik tentang uang UKT Limun. Berharap ada uluran tangan Tuhan melalui insan dermawan. Aku terpaku bersama angin sepoi yang membelai genit dedaunan ki hujan di belakang Fakultas Ekonomi UPG. Bersamaan dengan itu, kicau riang dari sang kutilang siang terdengar merdu dalam simponi indah yang menentramkan hatiku. Benar-benar indah sampai aku hampir memejamkan mata di atas kursi usang belakang fakultas.
Tiba-tiba dalam risau itu sebuah pesawat kertas melintas, bermanuver lepas menghantam kakiku. Aku terkejut dan memandang sekitar dengan penuh tanya. “Siapakah yang bermain pesawat kertas?” batinku bingung. Aku menoleh ke kanan, tidak ada siapa pun kecuali burung kutilang yang bersiul. Aku pun menoleh ke kiri, ke arah pintu belakang fakultas, kulihat seseorang yang memakai topi hitam sedang mengintipku dari sana. Kupannggil dia dengan senyum terbaik yang aku miliki. Namun, bersamaan dengan panggilan yang kusenandungkan untuknya, orang itu malah berbalik dan menghilang dari balik pintu fakultas.
Tak habis akal, juga karena penasaran, aku mengejarnya masuk ke dalam fakultas lewat pintu tempat dia mengintipku tadi. Sialnya, ketika aku masuk fakultas, orang itu telah menghilang. Lenyap dalam kerumunan mahasiswa fakultas yang ramai. Dia benar-benar seperti hilang ditelan bumi. Satu-satunya yang kulihat dari orang itu ketika mengintipku adalah topi hitam dan jaket kulit miliknya. Kurasa rambutnya agak panjang, namun pasti bukan perempuan karena jika dia perempuan dadanya tentu tak akan rata.
“Orang yang aneh!” pikirku sembari kembali duduk di atas kursi seperti posisiku sebelumnya. Aku tersadar akan satu hal yang aneh. Orang itu langsung menjauh ketika aku melihatnya. Padahal, aku tidak memiliki masalah apa pun dengannya. Masalah pesawat kertas itu? Kurasa bukan alasan yang cukup untuk takut padaku. “Ahhh, benar-benar aneh!” bisik hatiku.
Tiba-tiba sang kutilang terbang di dekatku untuk mencari sedikit rezki dari sang Maha Pencipta. Dia terbang ke arahku, mendarat dekat pesawat kertas tadi. Aku penasaran dengan burung kutilang itu. Kuawasi dia dari kursi santaiku yang nyaman. Rupanya dia melihat seekor ulat besar merayap di atas pesawat kertas yang tadi. Cukup besar untuk makan paginya hari ini. Tanpa ragu, sang kutilang menyergap ulat itu, menghempaskannya masuk ke dalam paruhnya kemudian menelannya bulat-bulat. Benar-benar sulit kulukiskan, bagaimana cara alam bekerja bagi burung kutilang dan ulat itu? Namun, begitulah seharusnya, burung yang memangsa ulat, bukan ulat yang memangsa burung. Sejenak aku bertanya dalam benakku, apakah hal itu juga berlaku bagi manusia? Kaya merendahkan yang miskin misalnya. Ahh! Kurasa alam bahkan sulit menjawab itu.
Hantaman paruh burung kutilang menghempaskan pesawat kertas sekaligus merenggut nyawa ulat tadi, membuat lipatan pesawat kertas sedikit terbuka karena kekuatannya. Sejenak aku memandang awas pesawat kertas itu. Ada sesuatu yang tampak ganjil menurutku. Potongan tulisan yang terlihat pada kertas itu sedikit mengganggu. Didorong rasa ingin tahu, kuambil pesawat terbang kertas itu lalu kubuka setiap lipatannya dengan pelan dan hati-hati. Benar saja dugaanku! Terlihat jelas bahwa memang ada tulisan di sana. Tanpa sadar aku pun membacanya dengan saksama.
“Untuk Ruslam, kutunggu kau di Warkop Sari Kopi Mantap Jiwa, malam ini pukul 21.00 Wita,” bunyi tulisan yang tertera dalam pesawat kertas itu. Akhirnya aku pun mengerti, orang aneh tadi adalah seorang pembawa pesan. Pembawa pesan pertemuan yang ditujukan padaku. Sejenak aku pun kembali bertanya-tanya, “Siapa sebenarnya orang itu? Apa maksud serta tujuannya?”. Jawabannya mungkin hanya ada satu, datang memenuhi undangannya di Warkop yang disebut malam ini.
*
Mentari mulai terbenam di ufuk barat, menciptakan sunset orange nan indah di langit yang mulai gelap. Suara azan muazin saling bersahutan pertanda surau mulai banyak belakangan ini, membantu mengingatkan kita akan kebesaran sang Maha Pencipta. Suara azan tadi bercampur aduk dengan suara bising klakson mobil depan kampus UPG, memberi pertanda bahwa macet parah sedang terjadi bersamaan dengan masuknya waktu salat magrib. Suara bising kemacetan dan seruan menuju kemenangan tadi adalah dua sisi lain yang saling bertolak. Satu membawa ingar-bingar dan satu lainnya membawa ketentraman.
Aku masih bimbang, apakah aku akan pergi ke Warkop Sari Rasa Mantap Jiwa malam ini. Tentu untuk memenuhi undangan pria misterius tadi pagi, atau mungkin hanya untuk mengobati rasa penasaranku terhadap pria bertopi hitam itu. “Kau kenapa, Lam? Kulihat pusing, kiri kanan cantik dari tadi!” kata Malin agak risih denganku yang sedari tadi mondar-mandir di depannya.
“Tidak-ji, Bosku!” jawabku singkat sembari mengambil jaket merahku dan bergegas pergi dengan Vebi. Di perjalanan, aku terus diselimuti rasa bimbang. Kucoba meyakinkan diriku untuk tidak merasa bimbang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, aku malah semakin bimbang. Aku sejenak berfikir, “Aku ini bimbang karena apa?”. Aneh sekali! Aku bimbang tanpa tahu apa yang sedang kubimbangkan. Mungkin saja ini yang disebut dengan ketidaktahuan dalam ketidaktahuan. Salah-satu pembahasan yang menurutku sangat menarik juga misterius, sama misteriusnya dengan lelaki bertopi hitam tadi pagi.
Aku sampai di Warkop Sari Kopi Mantap Jiwa, sekitar 10 menit sebelum jam 21.00 Wita. Kutinggal Vebi di parkiran depan Warkop. Sebelum kutinggal, kukatakan kepada Vebi untuk diam di sana dan menungguku dengan tenang. Entah kenapa orang-orang selalu melihatku dengan tatapan yang aneh jika aku melakukan kebiasaan yang satu itu. Aku berdalih tidak peduli.
Aku masuk ke Warkop Sari Kopi Mantap Jiwa. Kupandangi sekelilingku, tidak ada yang aneh. Aku tak melihat seorang pun yang mirip dengan laki-laki bertopi tadi pagi. Setelah terpaku beberapa saat melihat hiruk-pikuk warung kopi, aku berjalan pelan menuju meja nomor tiga yang berada tepat di sudut warung kopi yang kabut karena asap rokok. Aku duduk di sana menunggu orang yang kutemui tadi pagi, ditemani perasaan aneh yang menggangu.