MALIN sedang asyik bermain game online di barisan bangku paling belakang ketika Pak Hasikin mulai mengoceh lagi perihal pemerintah yang tidak becus. Si kecil Fian memperhatikan Pak Hasikin dengan serius walaupun sebenarnya dia tak paham ucapan Pak Hasikin. Beberapa temanku pun begitu, mengangguk-angguk takzim pada setiap kata yang diucapkan Pak Hasikin walau sebenarnya seperti Fian, mereka juga tak paham ucapan Pak Hasikin. Sementara Amalia‒bendahara kelas kami‒hanya sibuk membalas pesan yang sedari tadi masuk di handphone miliknya. Jika kau bertanya perihal siapa gerangan yang mengirim pesan kepada Amalia? Tentu kalian para jomlo pasti tak akan paham, karena yang mengirimnya adalah sesuatu yang tidak pernah kalian tahu, mahluk itu tak pernah dikenal para jomlo. Mahluk itu bernama, “Pacar”.
Aku memandang kosong keluar jendela, ke arah sebuah pohon lebat di depan fakultas. Bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, namun setidaknya pikirannku akan lebih damai memandang keluar ketimbang ikut-ikutan aksi Sota[1] Fian dan yang lainnya. Pandanganku tiba-tiba teralihkan oleh seorang pria yang duduk di bangku dekat pohon lebat itu. Seorang pria berambut panjang, memakai topi, jaket dan celana hitam. Semua serba hitam bahkan untuk buku yang sedang dibacanya, namun yang paling membuatku penasaran adalah rasanya aku pernah berjumpa dengannya di suatu tempat. Aku berusaha mengingat-ngingat, di mana dan kapan aku pernah bertemu orang dengan penampilan seperti itu? Lalu tiba-tiba, “Ahhh, aku ingat dia!” kataku dalam hati sembari tersenyum simpul memandang dengan saksama pria aneh itu. Tidak salah lagi! Dia adalah pria misterius yang kutemui di Warkop Sari Kopi Mantap Jiwa tempo hari.
Aku terus memandanginya dari lantai tiga di balik jendela ruang kelas. Tak akan kubiarkan dia lolos! Setidaknya kali ini aku pasti bisa melihat wajahnya. Pria misterius yang mengirimiku sebuah surat pertemuan di belakang fakultas, pria yang tidak mau memperlihatkan wajahnya ketika berbicara denganku di Warkop tempo hari, serta yang paling penting, pria yang entah kenapa tak ada angin tak ada hujan, muncul begitu saja dan ingin membantu menyelesaikan masalah UKT Limun. Di tengah-tengah pengamatanku terhadap pria berpakaian hitam misterius itu, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku dengan keras dari depan kelas, membuatku kaget setengah mati.
“Ruslam! Ruslam datang tidak?” nada Pak Hasikin sedikit tinggi.
“Ahhh! Iya, Pak! Hadir, Pak! Saya di sini!” kataku kaget dan terjatuh dari kursi diiringi gelak tawa semua temanku.
“Ruslam! Kau perhatikan tidak bapak mengabsen? Jangan sampai kau tidak perhatikan!”
“Saya perhatikan-ji, Pak!” jawabku ragu sembari duduk kembali ke atas kursi.