Dua Sisi

Ali Wardani
Chapter #9

Tikus Tikus Kantor

“SEORANG pejuang kemerdekaan India bernama Mahatma Gandhi pernah berkata, ‘Bumi ini cukup untuk kebutuhan semua orang tapi tak cukup untuk keserakahan satu orang’. Pernyataan itu adalah gambaran sedemikian serakahnya manusia yang lain sehingga manusia yang lainnya hidup dalam lingkaran setan kemiskinan,” kata Kak Kassa sembari kembali meneguk air mineral botol yang berada tepat di depannya. Aku terdiam mendengarnya bersama teman-temanku yang lain. Begitulah aku, sangat serius jika menyangkut belajar atau kajian. Aku memperhatikan dengan saksama apa yang disampaikan Kak Kassa seperti seekor kucing yang mengamati ikan tergelantung tali di depannya. Menurutku, benar-benar menarik apa yang di sampaikan Kak Kassa dalam kajian rutin kami sore ini.

Aku penasaran, bagaimana mungkin ratusan atau bahkan ribuan orang di dunia menderita kelaparan setiap harinya karena kekurangan makanan padahal ratusan atau bahkan ribuan orang lainnya sedang kelebihan makanan. Sebuah peristiwa yang aneh, atau apakah mereka‒orang-orang yang kelebihan makanan‒hanya diam saja melihat kejadian itu? Bagaimana dengan pertanyaan, “Apakah yang membuat orang lain semakin kaya dan orang lain semakin miskin? Apakah mereka yang miskin memang karena malas bekerja? Ataukah, ada hal lain yang membuat mereka miskin?”. Hari ini kepalaku benar-benar dipenuhi nalar yang memberontak untuk mencari sebuah kebenaran atau sekedar jawaban dari suara-suara penuh tanya itu. Kak Kassa dalam kajiannya yang berjudul, “Lingkaran setan kemiskinan,” benar-benar sudah menambah ilmuku hari ini sekaligus memberiku gairah untuk terus belajar. Setidaknya, agar kelak aku bisa berjumpa dengan jawaban dari suara-suara nalar tersebut.

Tiba-tiba seorang teman menyodorkanku smartphone dari belakang. Aku segera menoleh ke belakang, ternyata itu si kecil Fian. Langsung kusambar saja smartphone itu tanpa bertanya apa maksudnya. Kuperhatikan dengan saksama pesan dalam aplikasi chatting di smarphone itu. Fian sengaja membiarkan aplikasi chatting-nya terbuka agar aku dapat melihat pesannya. Persis setelah membaca pesan chat itu, raut wajahku tiba-tiba berubah. Semua pertanyaan yang sedari tadi memberontak dalam kepalaku sirna sudah, semangatku untuk kajian pun hilang entah ke mana. Aku menoleh ke arah Fian lalu bertanya, “Serius ini?”. Fian hanya diam dan mengangguk pelan dengan mata melototnya yang merah. Melihat reaksi Fian, tanpa basa-basi lagi aku mengangkat tangan. Kak Kassa yang melihatku pun lantas bertanya.

“Ruslam, kenapa? Mau bertanya?”

“Iya, Kak! Saya mau bertanya!” jawabku singkat.

Bah! Bertanya saja, yang mana belum mupaham?”

“Sebenarnya bukan tentang materi kajian, Kak. Saya mau bertanya, ‘Boleh saya izin pulang duluan?’ Ada urusan soalnya, urgent[1]!” kataku.

“Ohhh! Saya kira soal materi kajian. Iya, kalau penting sekali, duluan saja pulang,” kata Kak Kassa berusaha untuk mengerti. Padahal, aku tahu dia merasa terganggu dengan keinginanku untuk pulang. Terlihat jelas dari kebiasaannya menggaruk-garuk kepala ketika sedang kebingungan. Dia melakukannya saat aku bertanya tadi.

Tidak ada tujuan lain selain aku harus memastikan kebenaran informasi dari Fian. Jika informasi itu benar, maka ini situasi yang tidak bisa dianggap remeh-temeh. Persoalan ini bisa menggangu usahaku membantu Wira di Pemilma serta mengganggu usaha untuk membantu Limun menyelesaikan masalah UKT-nya. Aku pun bergegas pergi meninggalkan kajian.

Aku segera menuju ke fakultas, kebetulan taman kecil tempat kami kajian berada tepat di depan gedung FE UPG. Awalnya aku berjalan pelan, namun tanpa sadar langkahku semakin cepat, hingga akhirnya aku berlari. Aku berlari secepat yang kubisa, menghambur masuk ke dalam fakultas seperti orang yang sedang dikejar sesuatu. Aku berlari menaiki tangga fakultas lalu berhenti tepat di depan sebuah ruangan sambil memegang lutut dan menarik napas dalam-dalam. Tentu saja, Kawan! Aku kehabisan napas akibat berlarian seperti orang gila. Kutatap pintu dengan tinggi dua meter yang berada persis di depanku. Badanku tiba-tiba tak bisa bergerak. Sunyi tiba-tiba menyergap, kupandangi pintu itu lamat-lamat. Jelas sekali di pintu itu tertulis, “Sekretariat KPM, yang tidak berkepentingan dilarang masuk!”. Tak lama, seseorang keluar dari balik pintu. Wajahnya tampak tak asing bagiku.

“Ehhh, Ruslam! Dari mana?” katanya.

“Dari kajian! Bagaiamana berkasmu, Wir?” tanyaku balik. Wira terdiam dengan wajah yang sedih mendengar pertanyaanku. Dia berjalan ke arah bangku panjang di samping kiri pintu kemudian duduk.

“Saya akan didiskualifikasi dari Pemilma, berkas persyaratanku ada yang kurang katanya. Padahal, saya yakin semua berkasku sudah masuk!” kata Wira menjawab pertanyaanku dengan lesu. Terlihat jelas bahwa dia telah kehilangan harapan.

“Kenapa bisa? Kukira kemarin kau sudah dinyatakan lulus berkas. Kenapa setelah besok mau diadakan Pemilma, KPM baru bilang tidak lengkap berkas pencalonanmu? Ada yang tidak beres ini, Cika[2]!” kataku curiga.

Lihat selengkapnya