PERNAH aku bertemu dengan orang-orang yang mendirikan usaha tidak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Orang yang mendirikan bengkel namun menambal ban saja lamanya minta ampun, mendirikan sekolah menyetir namun dia sendiri tak bisa menyetir, atau bahkan parahnya, mendirikan warung makan namun tak bisa memasak. Entah apa yang telah mereka pikirkan.
Aku sendiri tak bisa menyalahkan orang-orang tentang usaha yang tidak selaras dengan kemampuan mereka. Bukan karena aku menganggapnya benar, bukan sama sekali! Perbuatan itu kusebut, “Kurang tepat!”. Artinya, aku tak menganggap perbuatan itu benar, juga tak pernah menganggapnya sebagai sebuah kesalahan. Hanya kurang tepat, tidak lebih dan tidak kurang!
Kusebut kurang tepat karena ada alternatif solusi bagi orang-orang yang mendirikan usaha tidak sesuai dengan skill atau kemampuan mereka. Orang yang mendirikan bengkel meski menambal ban saja kesulitan memiliki alternatif solusi yaitu dengan mempekerjakan seorang mekanik misalnya. Orang yang mendirikan warung makan namun tak bisa memasak bisa mempekerjakan seorang tukang masak dan tentu saja orang yang mendirikan sekolah mengemudi namun tak bisa menyetir dapat mempekerjakan seorang guru mengemudi. Namun, alternatif solusi seperti ini hanya bersifat sementara saja, itulah alasannya kenapa aku menyebutnya tadi, “Kurang tepat!”. Mungkin kau bertanya, “Besifat sementara itu maksudnya apa?”. Maksudnya adalah, bagaimana jika mekanik yang dipekerjakan pemilik bengkel kebetulan menghilang ketika banyak pelanggan di bengkel, atau misalnya si tukang masak tiba-tiba menghilang ketika warung sedang ramai-ramainya, tentulah itu akan membuat repot pemilik bengkel ataupun warung makan yang kusebutkan tadi. Itulah kenapa kusebut, “Bersifat sementara” karena solusinya hanya bertahan sementara dan tak berguna pada kondisi-kondisi tertentu.
Mungkin kau agak kebingungan dengan penjelasanku. Akan kupermudah menjelaskannya, saat ini aku sedang berada di warung print. Kusebut warung print karena selain menjual alat-alat tulis misalnya pensil, pulpen, buku catatan, dan kertas HVS, warung ini juga menyediakan jasa cetak dengan printer tugas-tugas kuliah semisal sketsa, makalah, tesis, skripsi, dan disertasi. Orang-orang jika ingin pergi menggunakan jasa cetak printer ke warung ini biasanya jika ditanya, “Mau ke mana?” maka mereka pasti akan menjawab, “Ke warung print!”. Itulah alasannya mengapa aku menyebutnya warung print.
Warung print ini sangat mudah dijumpai di sekitar kampus-kampus yang ada di Gowa, salah-satunya kampus UPG. Di depan kampus kami‒kampus UPG‒banyak sekali berderet warung print. Bangunan lain yang menjadi pesaingnya hanya kontrakan dan warung kopi free wifi yang sudah kujelaskan sebelumnya. Seperti yang kukatakan tadi, aku berada di salah-satu warung print, tepat di depan kampus UPG.
“Bagaimana, Pak? Sudah bisa?” tanyaku kepada bapak pemilik warung print. Aku dan Wira mulai gelisah dengan printer yang sedari tadi tidak mau mencetak transkip nilai milik Wira. Padahal sudah jam 17.30 Wita, tinggal 30 menit lagi jam 18.00 Wita. Terbayang di benakku Wira akan didiskualifikasi dari bakal calon ketua himpunan jika terlambat mengumpulkan transkip nilai dan tentu saja semua itu hanya karena sebuah kotak hitam bertinta yang sedang rewel.
“Maaf, Dek! Saya juga kurang paham pakai ini printer. Jadi tunggu nah, kucoba dulu instal ulang sofware-nya,” kata bapak penjaga warung print yang terlihat pusing dan tengah sibuk mengotak-atik printer-nya meski dia tahu itu akan lama. Kusebut lama karena memakai mause‒alat pemindah kursor pada komputer‒saja dia lambatnya lebih buruk dari keong. Ditambah penglihatannya yang tidak begitu baik melihat intruksi di komputer, adrenalinku benar-benar diuji olehnya. Inilah yang kusebut dalam ceritaku tadi tentang seseorang yang mendirikan usaha tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Mendirikan bengkel namun tak pandai dalam mengotak-atik kendaraan atau mendirikan warung makan namun tak pandai memasak. Mereka menghianati prinsip fashion‒prinsip kesesuain kemampuan‒dalam berwirausaha.
“Bagaimana kalau kita pindah tempat, Wir? Di sini lama!” kataku.
“Pindah ke mana, Lam? Cuman di sini yang tidak antri. Kalau pindah ke tempat lain pasti harus antri lagi. Lama!”