DULU di kampus UPG terdapat seorang mahasiswa bernama Irfan Darmawan, lebih akrab disapa Irfan. Dia merupakan mahasiswa dari jurusan Ilmu Ekonomi. Irfan sendiri merupakan ketua angkatan. Dia seorang yang ramah, murah senyum, mudah bergaul, rajin dan senang menolong teman. Dibandingkan yang lain, Irfan bisa dikatakan lebih cerdas. Bukan hanya cerdas di akademik tetapi juga sangat pandai dalam berorganisasi. Irfan bukanlah salah-satu spesies utama mahasiswa dalam teori spesies mahasiswa milikku. Dia adalah spesies langka yang menarik, spesies bernama Akademisator: akademisi sekaligus organisator.
Irfan sama seperti mahasiswa lainnya, punya sedikit masalah. Masalahnya sangat klasik, hampir semua mahasiswa pernah merasakannya, masalah ini adalah masalah financial. Irfan merupakan mahasiswa yang berasal dari kalangan kurang mampu mirip dengan Limun. Dia membayar UKT-nya dengan uang hasil bekerja sebagai driver ojek online pada malam hari. Jika kau bertanya dari mana sepeda motor yang digunakan Irfan untuk ngojek di malam hari? Jangan bertanya lagi, Kawan! Jawabannya tentu saja bukan milik Irfan. Sepeda motor itu milik teman yang dengan suka rela meminjamkannya asalkan ketika kembali ke rumah pada malam hari, bensinnya sudah harus terisi penuh! Sebuah simbiosis yang saling menguntungkan tentu saja: simbiosis mutualisme.
*
Singkatnya, pada suatu sore di gazebo belakang Fakultas Ekonomi, Irfan sedikit resah. Dia memikirkan bagaimana dirinya akan membayar uang UKT-nya semester ini. Bukan karena dia tak bekerja belakang ini dan tidak mendapat uang, bukan sama sekali! Melainkan karena uang miliknya telah dia berikan kepada seorang teman agar temannya itu dapat membayar biaya rumah sakit ibunya. Ahhh! Terkadang terlalu baik juga merupakan sebuah kutukan. Begitulah Irfan, anak miskin dari Jeneponto itu tak tega melihat temannya dalam kesulitan. Dia dengan segenap hatinya yang suci itu, dengan senyum selebar daun nangka, menolong temannya meskipun dia tahu yang diberikannya itu juga sangat dia butuhkan. Ternyata perkara ikhlas versi Irfan adalah memberikan apa yang juga sangat berharga baginya.
Sejenak Irfan berbaring menatap langit. Entah dari mana dia mendengar sebuah bisikan. Suara itu kemudian perlahan diterjemahkan oleh otaknya menjadi sebuah kalimat. “Irfan! Bukan hanya kau yang mengalami masalah ini. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan mahasiswa di seluruh negara ini pernah merasakannya. Bagaimana sulitnya rakyat terbelakang menikmati pendidikan hanya karena biaya yang mahal, atau mungkin yang lebih parah lagi bodoh yang terpelihara. Bodoh yang terpelihara? Yah! Begitulah sebutan yang tepat bagi cara berfikir sebagian masyarakat kita yang mengatakan bahwa pendidikan itu tidaklah penting!” bisik suara halus dari lubuk hati Irfan. Semakin lama semakin keras saja.
Tiba-tiba Irfan terbangun dari tidurnya, dia terhenyak lalu terdiam. “Hanya mimpi?” batin Irfan kebingungan. Dia menatap kosong beberapa burung yang hinggap di dekatnya. Mungkin mereka yang membuatnya terbangun. Beberapa saat kemudian Irfan mengambil buku catatan kecil beserta pensil yang sering dia bawa. Irfan membuka halaman kosong di buku itu, menulis besar-besar di sana kalimat dengan huruf kapital yang jika dibaca kurang lebih berbunyi, “Serikat Mahasiswa”. Irfan berniat mendirikan organisasi extra kampus bernama Serikat Mahasiswa dengan tujuan membantu mahasiswa kurang mampu seperti dirinya memperjuangkan hak-haknya untuk kuliah. Termasuk menurunkan nominal UKT-nya.