Dua Sisi

Ali Wardani
Chapter #13

Akhir

SEORANG pria kurus yang berasal dari kelompok demonstran berlari menerjang petugas keamanan. Dia maju seperti pemain rugby yang gagah berani, tak takut apa pun meski badannya kurus kering seperti daun pohon jati yang meranggas di musim kemarau. Pria itu terpental ketika mencoba menerobos petugas keamanan yang berbaris rapat seperti saf jika hendak salat berjemaah. Kejadian itu sontak memicu amarah dari demonstran lainnya, mereka maju dan berusaha melakukan hal yang sama dengan pria kurus tadi: menerobos petugas keamanan. Tak lama, suasana pun menjadi mencekam seperti area perang di Timur Tengah.

Petugas keamanan dan demonstran terlibat aksi saling dorong. Beberapa demonstran mulai meluapkan emosinya dengan melempar batu dan balok kepada petugas keamanan, beberapa lainnya pun terus mendorong petugas agar memberi mereka jalan. Tak berselang lama, petugas keamanan mulai terpancing emosinya dan memukuli beberapa demonstran yang dianggap sebagai profokator namun aksi mereka itu malah membuat demonstran semakin menjadi-jadi. Bahkan berani melempar ban yang sudah dibakar ke barikade yang dibuat petugas keamanan. Mereka‒demonstran‒pun akhirnya berhasil menerobos barisan petugas keamanan dan merangsek masuk ke gedung rektorat.

Semakin lama, demonstran semakin anarkis saja. Mereka merusak fasilitas yang ada di dalam gedung rektorat. Membanting meja seperti pemain smack down yang menghajar lawannya, melempar kursi bagai bola bekel yang ringan dan murah, memecahkan kaca jendela seolah itu benda gratis yang mudah didapat, merobek arsip-arsip penting sembari membakarnya menjadi abu dan yang paling penting, mencari-cari di mana rektor UPG berada. Mereka geram karena sejak pagi melakukan demonstrasi namun tak dihiraukan sedikit pun seperti kaum proletar yang terasing oleh kaum berjouis. Nyatanya, tak seorang pun pimpinan universitas yang berada di dalam gedung rektorat hari ini. Para demonstran yang dipimpin oleh Zainal‒presiden mahasiswa UPG periode 2015‒itu pun merasa sangat kesal dan membakar gedung rektorat dengan menyulut api pada tumpukan-tumpukan kertas yang ada di dalam gedung itu.

“Bagaimana? Ada yang lihat Pak Rektor beserta jajarannya?” tanya Zainal kepada beberapa orang temannya yang turun dari lantai tiga gedung rektorat UPG.

“Kosong ini rektorat, Ketua! Kayaknya informasi demo kita bocor, jadinya tidak ada pimpinan kampus yang datang ini hari!” kata salah seorang anggotanya.

Suara sirine tiba-tiba terdengar keras dari depan gedung rektorat. Polisi anti huru-hara akhirnya sampai dengan menaiki mobil besar yang diikuti sebuah mobil water cannon. Polisi-polisi bertameng besar dan transparan pun turun dari mobil besar itu seperti kesatria Romawi Kuno yang siap bertempur di koloseum. Mereka memakai helm tertutup dan rompi tebal yang berwarna hitam sebagai pelindung. Beberapa membawa senjata yang jika ditembakkan akan melontarkan peluru besar yang mengeluarkan asap serta dapat membuat air mata tak henti-hentinya mengalir meski tak sedang merasa sedih: gas air mata. Polisi-polisi itu lantas menembaki demonstran dengan air deras dari mobil water canon. Adapun polisi yang memiliki senjata gas air mata tadi, mereka masuk ke gedung rektorat dan menembaki massa untuk mengamankan situasi.

Di tengah-tengah kekacauan itu, persis di depan gedung rektorat atau tepat di samping kanan tiang bendera merah putih yang berdiri kokoh menantang langit, duduk tersujud seorang mahasiswa ramah yang tampak muram melihat kerusuhan yang sedang terjadi di depan matanya. Dia tak menyangka sama sekali bahwa demonstrasi yang dia putuskan untuk ikut di dalamnya itu akan berakhir dengan kekacauan yang teramat besar. Mahasiswa muram penuh penyesalan itu tak lain adalah Irfan Darmawan: ketua umum Serikat Mahasiswa. Meskipun Irfan banyak menentang kebijakan kampus namun dirinya tak pernah memiliki niat untuk menggunakan jalan kekerasan dalam usahanya. Dia terus termenung di tempatnya hingga seorang polisi menangkapnya dari belakang. Polisi itu membawanya pergi bersama mahasiswa lain termasuk Zainal yang telah ditangkap terlebih dahulu. Mereka dianggap sebagai profokator kerusuhan yang telah terjadi.

*

“Siapa yang mulai itu kerusuhan?” kata Aipda Juned, salah seorang polisi yang ditugaskan mengurusi masalah kerusuhan demonstrasi mahasiswa di UPG. Dia mengerutkan dahi sembari memandang tajam kepada Irfan dan Zainal yang terduduk kaku di depannya. Mereka‒Irfan dan Zainal‒terdiam saja di dalam ruang pemeriksaan Polres. Mereka tak menjawab, diam bagai perempuan yang sedang merajuk kepada pacarnya. Tingkah Irfan dan Zainal membuat Aipda Juned emosi.

Lihat selengkapnya