“SURAT suara terakhir!” teriak panitia Pemilma sembari mengeluarkan surat suara terakhir dari kotak suara untuk pemilihan ketua himpunan Ilmu Ekonomi UPG. Semua mata tertuju padanya. Panitia Pemilma lainnya, bakal calon ketua himpunan yang sempat hadir, para saksi dari setiap bakal calon ketua himpunan, dan beberapa petugas keamanan semuanya memperhatikannya dengan awas. Mereka menerka-nerka siapa yang akan menjadi pemilik suara terakhir itu.
Hasil perhitungan suara sementara Aldi mendapatkan 111 suara, Rival 143 suara, Wira sebanyak 144 suara, dan 10 suara dianggap batal lantaran tercoblos lebih dari satu kali atau bahkan tidak tercoblos sama sekali. Sedangkan untuk pemilih, 11 pemilih telah memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya: tidak datang. Berdasarkan hasil ini, maka sudah sangat dipastikan bahwa Aldi tidak terpilih menjadi ketua himpunan jurusan Ilmu Ekonomi. Sedangkan untuk Wira dan Rival, suara terakhir tadi adalah penentu dari nasib mereka. Suara terakhir itu merupakan Dewi Fortuna yang akan menyelamatkan mereka dari rasa malu sebagai akibat kalah dalam Pemilma.
Surat suara terakhir yang akan dibacakan itu adalah segalanya. Wira dan Rival tahu betul apa yang sedang mereka pertaruhkan di sana. Jika saja suara terakhir tersebut menjadi milik Rival, maka hasil Pemilma jurusan Ilmu Ekonomi dianggap seimbang dengan keputusan bahwa Rival yang mendapat suara 144 (143 suara + 1 suara terakhir tadi) akan kembali melawan Wira yang telah mendapat 144 suara di putaran kedua yang akan diadakan. Sedangkan keadaan lain yang tentu saja sangat diharapkan Wira yaitu suara terakhir itu akan menjadi miliknya, menjadi milik Aldi atau bahkan menjadi salah-satu suara yang batal. Keadaan ini akan membawanya menjadi pemenang Pemilma dan berhak atas jabatan paling bergengsi di lingkungan mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi UPG: ketua himpunan jurusan Ilmu Ekonomi.
Panitia Pemilma perlahan membuka surat suara terakhir tadi. Ekspresinya datar menatap surat suara terakhir itu. Semua khalayak yang hadir di sana terdiam dalam sunyi. Menerka-nerka kemungkinan yang akan terjadi. Air conditioner yang sedari tadi menyala di sisi ruangan sembilan kali lima meter itu kini tidak terdengar suara dan tak terasa dinginnya lagi. Segala hal dalam ruangan itu terasa bergerak lambat seperti adegan slow motion dalam anime. Detak jarum jam, lalat yang terbang menghinggapi kue-kue di atas meja panitia, salah seorang petugas keamanan yang bersin dan seorang saksi dari bakal calon yang sedang meminum air mineral semuanya terasa bergerak lambat sekali.
Aku diam mematung di belakang tempat duduk Wira. Berusaha terlihat acuh namun jantungku sepertinya tak mau berkompromi. Dia terus saja berdetak kencang dan semakin kencang. Ditambah pikiranku yang menerka-nerka kejadian buruk yang akan terjadi, maka tentu saja gerak-gerik tubuh dan raut wajahku tak bisa menyembunyikan emosi terdalam dalam diriku saat ini: gusar, gundah, dan gelisah.