BARIS-BERBARIS ini sungguh menyiksa, panas lebih tepatnya. Bayangkan saja, baris-berbaris di bawah terik-menerik mentari yang membakar. Ditambah tak diberi minum sama sekali. Ditambah tak ada peneduh sama sekali. Ditambah tak ada penyejuk apa pun. Ditambah pula omelan panitia penerimaan mahasiswa baru yang semakin lama seperti amarah singa yang lapar. Maka, itu alangkah tepatnya disebut pemanasan otak.
Tak lama, seseorang datang ke barisan kami. Tatapannya menakutkan dan matanya bulat macam bola ping-pong. Kulitnya hangus, hitam macam arang. Bau badannya pun hampir sama dengan kulitnya: bau hangus. Orang ini memakai sepatu futsal pink yang lucu, celana olahraga hitam dengan garis putih berjumlah tiga dan sebuah kaus hitam sehitam kulitnya. Di baju kausnya itu, aku melihat gambar centang putih tepat di bagian dada sebelah kiri.
“Kau yang kurus!” teriaknya sambil menunjuk ke arahku.
“Saya, Kak?” balasku bingung.
“Iya, Kau!” balasnya sambil mengunyah permen karet yang kelihatannya sudah dia kunyah sedari dua jam yang lalu. Aku maju ke depan dengan ragu. Sambil membuka kacamata hitamnya, si hitam itu menatapku. Dia memandangiku dari bawah ke atas.
“Siapa mupanggil, ‘Kak’ tadi?” tanya dia kepadaku dengan suaranya yang lantang. Kakiku pun gemetar dibuatnya. Aku tetap diam tak menjawab.
“Ingat! Aku bukan kakak kalian, tapi senior! Paham?”
“Paham, Senior!” jawab kami serentak.
Si hitam menyuruhku kembali ke barisan setelah memeriksa kelengkapan atribut OPAK[1] milikku. Anak-anak lain pun tak luput dari pemeriksaanya. Dia memeriksa dengan saksama, teliti dan serius. Matanya yang bulat besar tajam tak melewatkan apa pun yang dipandanginya.
“Nama saya Andi Kassa. Seniormu dari angkatan 2015, kader Himpunan Ilmu Ekonomi yang akan temani kalian di kegiatan OPAK ini. Kalian angkatan berapa?”
“Angkatan 2017, Senior!” jawab kami serentak.