“PERJALANAN ini! Terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk, di sampingku, Kawan...,” lagu Ebied G Ade tiba-tiba terdengar dari saku celanaku, pertanda handphone-ku sedang menerima panggilan. Aku berdalih tidak peduli. Bukan karena aku tak suka berbicara lewat handphone, bukan sama sekali! Tetapi karena aku sudah tahu orang yang menelepon itu pasti Kak Kassa. Kami‒aku dan Limun‒sedang dalam perjalanan menuju kantin kampus untuk bertemu dengannya dan Kak Ismail: Presma UPG. Seperti kebanyakan pertemuan yang kuhadiri, baik formal maupun informal, penting atau tidak penting, aku selalu saja datang terlambat. Satu lagi sisi buruk yang ada pada diriku.
Meskipun terlambat setengah jam, kami akhirnya sampai di kantin kampus UPG. Aroma berbagai jenis makanan dan minuman seketika menyambut kami. Bakso, sate, coto, mie, ayam, gorengan dan banyak lainnya menyerang hidungku yang kemudian berkonspirasi dengan otak mengirimkan sinyal kepada perutku untuk berbunyi. Aku benar-benar lapar dibuatnya. Di antara sekian banyak aroma di sana, aroma kopi adalah favoritku. Tentu saja karena kopi adalah minuman begadang yang lekat dengan mahasiswa. Seperti kebanyakan minuman begadang lainnya, kopi memberikan efek susah tidur yang baik untuk mahasiswa jika sedang banyak tugas. Efek lain yang tak kalah penting adalah sedikit mengatasi masalah haus.
Kami berjalan ke sebuah meja yang berada di ujung kanan pintu masuk kantin. Di sana Kak Kassa telah menunggu bersama Kak Ismail dan beberapa orang yang sebagian tampak asing dan sebagian lagi tampak tak asing bagiku. Aku dan Limun menghampiri mereka lalu menjabat tangan mereka satu per-satu seperti kebiasaan kebanyakan mahasiswa di kampus kami. Bagiku, kebiasaan berjabat tangan ini sangat unik karena memiliki makna berbeda dalam berbagai kondisi dan situasi. Misalnya, menggambarkan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, bermakna permintaan maaf jika berbuat kesalahan, bermakna selamat ulang tahun bagi orang yang merayakan hari kelahiran, bermakna selamat datang bagi orang yang berkunjung, bermakna selamat atas prestasinya bagi orang yang meraih kemenangan dan bermakna sampai jumpa lagi bagi orang yang akan berpisah. Bagaimana, menarik bukan?
“Dari mana? Kenapa kalian terlambat?” kata Kak Kassa, bertanya padaku dengan nada sedikit tinggi. Aku tahu suasana hatinya sedang tidak baik karena aku tak menjawab panggilannya barusan. Kami berusaha menjawab dengan sopan agar Kak Kassa bisa sedikit lebih tenang.
“Anu.., Kanda! Tadi di jalan macet, karena ada truk besar mogok di tengah jalan,” Limun menjawab pertanyaan Kak Kassa dengan suara yang pelan. Aku tahu dia berbohong, namun harus kuakui Limun mahir berbohong. Kukatakan demikian karena dia menahan diri untuk memegang hidungnya. Padahal, salah-satu ciri paling sederhana seseorang yang sedang berbohong adalah memegang hidung.
“Ohhh, begitu!” kata Kak Kassa menerima alasan Limun begitu saja. Aku memandang ke arah Limun. “Kerja bagus, Limun!” kata suara batinku.
“Ini Ismail, Presiden Mahasiswa UPG!” kata Kak Kassa memperkenalkan Presiden Mahasiswa UPG beserta jajaran ketua Dewan Mahasiswa (Dema) dari setiap fakultas di kampus UPG yang hadir di sana. Aku kini tersadar bahwa alasan orang-orang yang hadir ini terlihat tak asing bagiku karena mereka adalah orang-orang terkenal dari setiap fakultas di kampus UPG. Aku mungkin pernah melihat mereka di berbagai acara seminar, workshop, bazar, atau spanduk yang kujumpai di sekitaran kampus.
“Begini, Dek! Kalau saya, kita adakan saja demo untuk masalah UKT ini, karena kalau hanya ajukan surat audensi ke birokrasi, slow[1] respon biasanya!” jelas Kak Ismail memulai pembicaraan. Aku memperhatikan dengan saksama setiap kata yang diucapkan Kak Ismail. Entah mengapa Kak Ismail terlihat sangat bijaksana ketika berbicara. Dia seolah mengeluarkan aura yang membuat semua orang di sekitarnya takluk dan diam. Kak Ismail laksana singa yang aumannya membuat setiap binatang di sekitarnya menjadi tunduk. Bahkan hatiku bergetar dan badanku gemetar terus berada di dekatnya. Sungguh aura seorang pemimpin yang sangat kuat bagiku.
“Kalau memang mau diadakan demo. Baiknya kita bicarakan dulu pada setiap fakultas, Kak. Mereka setuju atau tidak?” Limun menanggapi saran Kak Ismail.
“Bagaimana yang lain? Bicara-ki!” kata Kak Ismail dan Kak Kassa hampir bersamaan. Aku tersenyum tipis membayangkan betapa dekatnya kedua orang itu hingga berbicara saja mereka hampir bersamaan.
“Kalau saya sih setuju! Tentukan saja waktunya, nanti saya kasih kumpul anak-anak dari fakultas kesehatan untuk ikut,” kata ketua Dema Fakultas Kesehatan diikuti anggukan beberapa ketua Dema fakultas lainnya kecuali Dema Fakultas Teknologi. Kak Kassa yang melihat kejanggalan itu lantas bertanya.