BULAN purnama bersinar menerabas kegelapan malam. Dedaunan pohon kelapa melambai-lambai diterpa angin gunung. Suara-suara hewan pun mulai bersahutan memecah kesunyian. Kelelawar beterbangan kesana-kemari mencari makanan. Mereka terbang dan hinggap begitu saja di atas pohon-pohon mangga yang sedang berbuah lebat-lebatnya. Kelelawar-kelelawar itu makan dan buang hajat semaunya di atas pohon-pohon mangga yang mereka singgahi. Bebas lepas melakukan apapun yang mereka mau.
Suara lolongan anjing tiba-tiba terdengar dari dalam hutan. Membuat kelelawar-kelelawar itu kaget dan terbang begitu saja, menghambur ke arah sebuah rumah panggung berbilik bambu dan beratap rumbia. Salah seekor dari kelelawar itu tampak mabuk dan terbang tak tentu arah lantaran terlalu kenyang. Kelelawar mabuk itu pun menabrak bilik bambu rumah beratap rumbia tadi, tempat Malin dan Fian tengah berusaha untuk tidur.
“Apa itu, Lin?” tanya Fian ketakutan mendengar sesuatu menabrak bilik mereka dari luar.
“Ahhh! Paling juga kelelawar,” jawab Malin mencoba untuk tidur di atas tikar pandan yang ditempatinya bersama Fian. Malin tak bisa tidur lantaran pikirannya terbang ke Gowa. Dia memikirkan Ruslam dan Limun. Di benaknya, Malin terus bertanya-tanya tentang apa yang sedang dilakukan kedua pemarah itu ketika dirinya dan Fian tengah berada nan jauh di pedalaman Enrekang untuk melakukan dharma ke-3 perguruan tinggi: pengabdian masyarakat atau di kampus UPG orang-orang menyebutnya kuliah kerja nyata (KKN). Malin terus gelisah di atas tikar hingga Fian yang sedari tadi rewelnya minta ampun meminta ditemani ke kamar kecil.
“Lin, Lin, Mintol[1] dulu!” kata Fian pelan.
“Apakah? Mintol apa, Fi?”
“Temani dulu ke WC, Bro!”