“WEH! Dari mana? Lama sekali baru datang!”
“Sorry[1], saya ketiduran!”
“Pakai ini, cepat! Anak-anak sudah dekat,” kata Limun lantas memberiku sebuah almamater dan ikat kepala berwarna putih: warna khas kampus UPG.
Selasa, tanggal 26 Maret 2019. Aku, Limun dan Reza‒ketua Dema fakultas ekonomi‒sedang menunggu depan fakultas ekonomi UPG bersama seluruh mahasiswa fakultas ekonomi. Kami menunggu untuk bergabung bersama mahasiswa dari fakultas lainnya dalam aksi demonstrasi menuntut dikeluarkannya prosedur penurunan UKT mahasiswa kurang mampu di kampus UPG. Sejak pagi ratusan mahasiswa dari fakultas ekonomi telah berkumpul seperti semut yang diundang sirup gula tumpah. Ratusan mahasiswa itu, termasuk aku dan Limun berasal dari empat jurusan yang ada pada fakultas ekonomi: ilmu ekonomi, akuntansi, ekonomi syariah dan manajemen ekonomi. Semuanya berkumpul menjadi satu dalam satu tujuan, menjadi satu langkah dalam barisan pergerakan yang satu arah.
Salah seorang mahasiswa dalam kerumunan kami memakai pengeras suara yang akrab disebut toa oleh mahasiswa UPG. Dia adalah Si Bolong sang juru orasi dari fakultas ekonomi. Bolong merupakan mahasiswa semester akhir yang sangat percaya diri jika menyangkut orasi. Dia seorang orator ulung yang sangat pandai melepaskan kata-kata indah yang dapat membakar semangat setiap orang yang mendengarnya. Bolong ibarat motivator kondang Mario Teguh yang bisa menggerakkan hati orang lain hanya dengan kata-katanya saja. Namun, tak seperti Mario Teguh yang memiliki kulit putih, rambut licin dan pakaian yang rapi, Bolong merupakan Mario Teguh versi lain yang rambutnya kriting dan mekar macam lampion, matanya menyala seperti lampu pijar, kulitnya hitam macam aspal panas dan pakaiannya hanya sebuah kaus hitam lusuh beserta celana jeans dengan sobekan persis di lutut. Bolong adalah versi lain dari kebebasan dalam menikmati hidup. “Menjadi diri sendiri adalah hal yang paling utama, apalagi jika kau orang timur!” ucap Bolong dalam setiap kesempatan.
Ratusan mahasiswa dari fakultas lain berjalan melewati fakultas ekonomi seperti karnaval 17 Agustusan yang ramai. Reza sebagai ketua Dema fakultas ekonomi segera memberi kami aba-aba untuk membentangkan spanduk yang telah mereka siapkan. Spanduk itu merupakan spanduk bekas yang bagian polos belakangnnya ditulis menggunakan cat semprot berwarna merah lalu digunakan sebagai bagian depan. Spanduk bertulis ini merupakan atribut utama dalam setiap demonstrasi khususnya di kampus UPG. Kurang lebih tulisan dalam spanduk itu adalah, “Keluarkan SOP penurunan UKT!”. Beberapa mahasiswa lainnya juga memiliki spanduk yang sama hanya saja dengan warna dan tulisan yang berbeda misalnya tolak UKT tinggi, save mahasiswa, perjuangkan hak-hak mahasiswa, dan beberapa tulisan bermakna lainnya. Mereka memegang dan membentangkan spanduk-spanduk itu sembari berjalan beramai-ramai mirip wildebeest yang sedang bermigrasi di Maasai Mara. Berjalan seirama menuju sebuah gedung besar yang berada di dekat pintu masuk kampus. Gedung besar berlantai empat satu-satunya di kampus kami: gedung rektorat UPG.
Aku dan Limun bergabung dalam rombongan besar mahasiswa UPG yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan itu. Bolong dengan cekatan mengambil tempat paling depan, tempat paling istimewa lebih tepatnya. Dia lantas berbicara gagap gempita mirip emak-emak yang sedang ditilang polisi lalu-lintas. Di samping Bolong yang tengah berorasi berjajar Kak Ismail, Kak Kassa dan ketua Dema dari setiap fakultas yang ada di kampus UPG. Ada fakultas kesehatan yang higienis, fakultas teknologi yang inovatif, fakultas hukum yang tegas, fakultas pendidikan yang bijaksana, fakultas agama yang religius, fakultas seni yang unik, fakultas bahasa yang santun, fakultas filsafat yang kritis dan tentu saja fakultas ekonomi yang agresif . Semuanya menjadi satu dalam perbedaan mereka.
Sesampainya di depan gedung rektorat UPG, ribuan mahasiswa termasuk aku dan Limun berkumpul di lapangan depan gedung tersebut. Kami menghadap ke arah gedung rektorat lalu menutup setiap jalan keluar kendaraan. Seketika kami menguasai tempat parkir dan memblokirnya dengan ban bekas yang kami bakar. Membuat area di sana menjadi sedikit mencekam.
“Semuanya diam!” kata Kak Ismail selaku Presma berbicara memakai toa milik Bolong. Suasana seketika menjadi sunyi. Ribuan mahasiswa yang sedari tadi berkokok keras macam ayam yang ingin bertelur kini tak terdengar lagi suaranya. Sekali lagi, aku kagum pada pria kurus berambut lurus berkacamata bulat macam Boboho itu.
“Hari ini saudara-saudaraku! Kita berkumpul di sini sebagai satu keluarga tak lain untuk menuntut hak-hak kita yang direnggut. Menuntut saudara-saudara kita mendapatkan hak-haknya. Berjalan seiringan dalam satu irama menuju simponi kemenangan. Mari kawan-kawanku! Saudara-saudaraku! Keluargaku! Kita menuju kemenangan dengan satu langkah kita hari ini untuk menuntut dikeluarkannya Standar Operasional Prosedur penurunan UKT mahasiswa UPG!” kata Kak Ismail dengan suara lantang sambil mengepalkan tangan dan berdiri tegap di atas tangga masuk rektorat, menghadap ribuan mahasiswa UPG. Kata-kata Kak Ismail seketika disambut tepuk tangan dan sukacita ribuan mahasiswa UPG yang hadir di sana.