AKU melompat dengan cepat seperti penjaga gawang yang ingin menangkap bola. Namun, berbeda dengan penjaga gawang dalam permainan sepakbola yang menangkap bola, aku menangkap sebuah botol berisi bensin dengan penyumbat kain yang menyala: bom molotov. Aku tak tahu mengapa, ketika melihat bom molotov itu melayang ke arah pintu gedung rektorat tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri untuk menangkapanya. Sepertinya aku memiliki mekanisme pertahanan diri di dalam alam bawah sadar yang mengkordinasi tubuhku untuk bergerak sendiri tanpa perintah dari otak. Aku berhasil menangkap bom molotov itu dengan kedua tanganku.
Namun, tiba-tiba bom molotov lainnya muncul dan melayang melewatiku seperti seekor merpati hitam yang sedang terbang. Aku tak bisa berbuat apa-apa, tanganku masih memegang bom molotov pertama. Bom molotov kedua itu pun menghujam masuk ke dalam gedung rektorat dan membakar sebuah rak buku di dekat pintu masuk. Rak buku yang terbuat dari kayu, serta buku-buku karya mahasiswa dan dosen UPG yang dipajang di sana kemudian memelihara api dari bom molotov itu hingga besar. Cukup besar untuk membuat rektorat UPG hanya meninggalkan puing-puing hangus beberapa jam kemudian.
“Anak sundalak![1] Siapa yang lempar ini?” kataku sembari memandang tajam ke arah kerumunan demonstran, mencari-cari pelaku yang melempar benda berbahaya itu. Pandanganku tertuju pada seorang pria jangkung berkaus merah dengan ikat kepala berwarna putih yang berusaha menjauh dari keramaian demonstran. Salah-satu kebiasaan pelaku tindak kriminal menurutku: segera menjauh dari tempat tindak kriminalnya. Selain kelakuannya yang mencurigakan, tangan pria jangkung itu yang berwarna hitam seperti sehabis memegang arang menguatkan dugaanku bahwa pria kurus berkaus merah dan memakai ikat kepala itu benar-benar orang yang melempar bom molotov tadi. “Tak akan kubiarkan lolos!” kataku dalam hati bergegas mengejar pria berkaus merah itu.
Pria berkaus merah dengan ikat kepala putih itu berjalan setengah berlari menyusuri jalan kecil menuju pagar besar yang berada 200 meter tepat di samping gedung rektorat. Aku terus berlari mengejarnya, berusaha untuk menggapai dan menangkap orang kurus itu. Tepat ketika berada 50 meter dari pagar besar hitam yang tingginya satu setengah meter dan merupakan pagar pembatas antara kampus UPG dengan sebuah jalan raya, pria berkaus merah itu berlari segila-gilanya lalu melompat ke pagar besar tadi dan memegang bagian atas pagar itu dengan kedua tangannya. Dia bergelantungan di sana mirip seekor monyet yang sedang bermain di atas dahan pohon. Pria jangkung itu berusaha memanjat pagar kampus.
Persis sebelum pria itu berhasil memanjat keluar dari kampus UPG, aku dengan cekatan meraih pundak pria berkaus merah itu dan menariknya turun dari pagar. Membuatnya tertarik dari sana oleh gaya gravitasi bumi dan menapak ke tanah dengan posisi bagian punggung yang duluan menyentuh tanah. Pria itu terjatuh dengan keras! Cukup keras hingga mengeluarkan bunyi ketika menyentuh tanah. Aku melepaskan tanganku darinya lalu kudekatkan ke hidung. Benar saja! Bau bensin yang tajam tercium dari tanganku begitu pula tangan pria jangkung berkaus merah itu. Orang yang melempar bom molotov tadi tak lain adalah orang ini.