Dua Sisi

Ali Wardani
Chapter #27

Kunci Terakhir

DALAM sebuah kuburan nan jauh di Luwu terbaring seorang lelaki miskin cerdas nan rupawan. Seorang lelaki yang pergi dari sebuah kampung petani miskin, meninggalkan keluarganya yang juga miskin dalam keadaan hidup, namun pulang kembali ke kampung halamannya dalam keadaan meninggal. Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan ketika lelaki itu sampai diantarkan sebuah mobil dengan sirine yang memekakan telinga seluruh keluarganya yaitu ayah, ibu dan kedua adiknya yang sudah menginjak remaja menangis sejadi-jadinya. Mereka meluapkan segenap emosi yang terlihat campur aduk hari itu. Sedih yang bercampur marah karena bisa melepas rindu kepada lelaki itu meski yang kembali hanyalah sebuah jasad tak berpenghuni di mana mereka tak menemukan lelaki itu di sana. Tentu saja, karena lelaki itu sudah berada di negeri nan jauh yang indah dengan rumah-rumah megah dan aliran sungai yang jernih: surga. “Limun, Limun, Limun,” lirih ibu pemuda itu dengan air matanya yang tak henti-hentinya menetes.

Jauh di daerah kabupaten Gowa, dalam sebuah rumah sewa yang berjarak sekitar setengah kilometer dari kampus UPG, seorang pria kurus berambut lurus beserta dua orang temannya tenggelam dalam luka yang mendalam atas kematian lelaki miskin tadi. Pria kurus berambut lurus itu tak menyangka bahwa ketika dirinya tengah mengejar obsesi terhadap seorang lelaki berpakaian hitam misterius, dia telah kehilangan temannya itu di selang waktu yang sama. Sebuah keputusan yang disesalinya kemudian, karena jika saja dia tidak meninggalkan Limun sendiri di tengah-tengah demonstrasi hari itu, mungkin dia akan ada di sana membantu Limun ketika seseorang melukainya. Kedua pria lainnya, yang satu kecil pendek dan yang satu tinggi rupawan tak menyangka bahwa selama mereka pergi mengikuti kuliah kerja nyata susulan lantaran kemarin tidak bisa mengikuti kuliah kerja nyata reguler karena kebodohan yang terpelihara: jumlah SKS[1] mata kuliah yang tidak cukup. Sahabat baik mereka Limun telah pergi meninggalkan mereka ke dalam dunia tanpa kematian. Mereka‒Ruslam, Fian dan Malin‒berada dalam keadaan hening cipta yang benar-benar khusyuk sehingga rumah yang mereka tempati benar-benar terasa sunyi.

Ruslam terkadang berfikir bahwa dia sebaiknya dipenjara saja bersama Kak Kassa dan Kak Ismail yang dianggap profokator kerusuhan beberapa minggu yang lalu. Dia dan ketua Dema fakultas sejajaran dinyatakan tak terlibat lantaran Kak Kassa dan Kak Ismail mengaku bahwa hanya merekalah yang merencanakan demonstrasi itu, sedangkan Ruslam dan yang lainnya tak bersalah, dengan kata lain tak terlibat. Satu lagi kebesaran hati dari kedua sahabat organisator itu.

Kerusuhan yang baru saja terjadi di kampus UPG telah merugikan kampus banyak sekali serta merenggut korban jiwa sebanyak 10 orang termasuk sahabat mereka: Limun. Kini Ruslam tahu penyesalan yang dia rasakan semuanya serba terlambat. Sama terlambatnya ketika dia tak sempat menyadari bahwa demonstrasi itu akan berakhir tragis kala dia diperingatkan oleh pria berpakaian hitam misterius yang dikejarnya. Ruslam sekarang sadar bahwa setiap penyesalan akan muncul di akhir sebuah kisah yang tragis.

Kini mereka hanya tinggal bertiga di dalam rumah tua itu. Tanpa Limun semuanya terasa sangat berbeda. Ruslam, Malin, dan Fian terkadang masih megingat bahwa di sudut kamar yang satu-satunya di rumah kecil itu‒tempat mereka tidur bersama‒Limun terkadang tidur dengan posisi tertelungkup dan jika dibangunkan untuk salat subuh maka sulitnya minta ampun. Juga kebiasaan Limun untuk memasak di dapur dan ketika masakannya selesai maka dia akan memukul-mukul panci sebagai pertanda bagi mereka untuk segera berkumpul dan makan. Serta yang paling mereka rindukan, kebiasaan bermain kartu remi bersama di ruang tamu yang mana Limun selalu memakai helm sambil bermain sebagai hukuman lantaran dia selalu kalah bermain. Persis ketika Limun memakai helmnya, maka Fian sering sekali mengejeknya karena Limun sangat pintar jika menyangkut belajar namun bodohnya minta ampun jika bermain kartu remi. Setelahnya, mereka berempat‒sauadara tak sedarah itu‒selalu tertawa bersama.

Namun, yang paling mereka ingat dari semua kenangan tentang Limun adalah ketika mereka bertiga sedang kesusahan mengerjakan soal tentang pasar modal khususnya analisis portofolio. Limun dengan mudahnya mengerjakan soal-soal itu dan dengan suka rela membagi jawabannya untuk disalin oleh mereka. Cerita lucu lainnya mengenai Limun adalah bahwa Limun, orang paling cerdas diantara mereka berempat, ternyata adalah orang yang sangat percaya bahwa di dunia ini khususnya di Sulawesi Selatan ada mahluk berbentuk manusia dengan kepala yang menyala seperti api bernama, “Parakang”. Sebuah kepercayaan yang bagi kebanyakan orang adalah kebodohan yang terpelihara.

“Saya pernah lihat sendiri! Serius! Parakang itu betulan ada!” kata Limun yang kemudian disambut tawa dan ejekan dari Ruslam, Fian, dan Malin kala dia berusaha meyakinkan mereka bahwa Parakang itu memang ada.

“Ahhh! Cuma perasaanmu-ji itu, Cika[2]!” kata Malin tertawa.

Lihat selengkapnya