KAPPOK sedang mandi ketika terdengar suara ketukan dari depan rumahnya. Suara ketukan itu terdengar sebentar lalu menghilang, meninggalkan keheningan yang sangat dalam di rumah dengan cat hijau yang mulai terkelupas itu. Atap seng rumah tua itu pun berdecitan lantaran terkena angin, membuat beberapa burung yang bersarang di atas plafon rumah berkicau karena khawatir adanya ancaman. Seperti burung-burung itu, seekor kucing pemalas berwarna hitam juga terkaget dengan suara decitan atap rumah tadi. Dia terbangun dari tidur nyenyaknya di atas pohon persis di samping rumah. Kappok keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk untuk menutupi auratnya. Dia berjalan perlahan menuju pintu rumahnya yang berwarna hijau dengan engsel coklat yang karatan. Kappok lantas membuka pintu rumahnya.
“Perasaan tadi ada yang mengetuk, kenapa tidak ada orang?” pikir Kappok mendapati bagian depan rumahnya yang kosong. Setelah dia kebingungan di sana untuk beberapa saat, Kappok memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. “Mungkin hanya kucing,” pikirnya lagi. Namun ketika dia hendak masuk kakinya tak sengaja menendang sebuah amplob surat yang tergeletak begitu saja di depan rumahnya. Kappok memungut amplob surat itu lalu membukanya. Setelah dibuka, isi amplob surat itu hanya secari kertas dengan tulisan yang berbunyi, “Warkop Sari Kopi Mantap Jiwa. Malam ini pukul 21.00 WITA,”.
Membaca kertas itu, raut wajah Kappok tiba-tiba berubah. Dia berlari keluar halaman rumah kemudian mengamati sekitarnya, menerka-nerka orang yang mencurigakan. Entah siapa yang mengirim surat itu, satu hal yang pasti bahwa surat itu adalah pesan pertemuan untuknya. Dua ratus meter dari tempat Kappok berdiri, di sebuah lorong kecil gelap yang sunyi, Kappok tak menyadari kehadiran seorang pria kurus berkacamata yang tengah bersembunyi. Perlahan pria itu pergi menjauh dari rumah Kappok. Pria misterius itu berjalan dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celananya. Dia pun menghilang dalam kegelapan lorong kecil yang disusurinya.
*
Warkop Sari Kopi Mantap Jiwa, pukul 21.00 WITA. Kappok berjalan memasuki riuh ramainya suasana Warkop. Setelah masuk, matanya memantau dengan baik keadaan sekitar. Salah-satu kebiasaan yang sering dilakukannya dan dia sangat ahli dalam melakukan hal itu. Kappok tahu persis keadaan Warkop dan orang-orang yang tengah berada di sana hanya dengan sekali lihat. Kappok tahu bahwa di meja paling sudut sebelah kirinya ada seorang pria muda yang sedang membaca novel Edensor karya penulis terkenal Andrea Hirata. Tepat di samping pria itu, di sebuah meja dengar nomor tiga di atasnya, duduk seorang pria yang tampak berantakan. Kappok tahu bahwa orang itu baru saja patah hati lantaran diputuskan pacarnya dan penghibur terakhir bagi dirinya malam ini adalah kopi pahit yang rasanya sepahit nasibnya, serta bermain game hingga pagi menjelang. Selain kedua pria tadi, Kappok juga melihat sekumpulan pria yang sudah beranjak tua dengan rambut, kumis, dan janggut yang mulai memutih. “Mereka mungkin sedang bergosip tentang perempuan, atau paling tidak bercerita tentang kegilaan mereka ketika remaja,” bisik Kappok dalam hati sambil tersenyum tipis.
Kappok berjalan ke arah sebuah meja dengan nomor enam di atasnya. Dia berhenti di sana kemudian duduk sembari melepaskan jaket dan topi hitam yang sering dipakainya. Tak lama, Kappok melihat seorang pria kurus berkacamata masuk ke dalam Warkop. Pria itu tampak tak asing baginya. Dia terlihat lusuh dengan baju kemeja kotak-kotak yang terlihat tak pernah disetrika. Baju kotak-kotak yang dipakainya itu tidak dikancing sehingga meliuk-liuk pelan ketika dia berjalan dan memperlihatkan baju kaus hitam yang dipakainya di bagian dalam. Di tengah baju kaus hitam bagian dalamnya itu terlihat jelas sebuah tulisan, “Ilmu Ekonomi UPG” berwarna putih. Pria kurus berkacamata itu menghampiri Kappok dan kemudian duduk di depannya. Kini mereka saling berhadapan dan pemisah mereka hanya sebuah meja kecil berwarna hitam yang terlihat sangat bersih.
“Saya sepertinya tidak perlu memperkenalkan diri,” kata Kappok memulai pembicaraan. Dia mengenal pria kurus berkacamata ini.
“Saya juga, sepertinya tidak perlu!” jawab pria kurus berkacamata itu.
“Saya juga tidak perlu bertanya siapa yang mengirim pesan ke rumah tadi pagi,” kata Kappok tersenyum. Dia tahu pesan di rumahnya tadi pagi dikirim oleh pria kurus berkacamata yang ada di depannya.
“Saya yang kirim,” jawab pria kurus itu lalu tersenyum.
“Apa maumu? Ada yang bisa kubantu?”
“Kappok! Mahasiswa semester delapan Jurusan Ilmu Komputer,” lanjut pria kurus berkacamata itu sembari memajukan badannya dan memandangi Kappok dengan sorot mata yang tajam. Kappok tahu orang yang ada di hadapannya memiliki mata yang tak kalah cermat dengannya.
“Kau sudah tahu? Kurasa cukup terlambat,” balas Kappok tersenyum.