LANGIT menjadi agak gelap dan angin memberikan semaraknya tersendiri. Dia menerbangkan daun-daun beringin yang tergeletak tak berdaya di tanah sekaligus mengugurkan daun-daun beringin yang telah kering namun masih menempel di tangkainya. Daun-daun itu pun beterbangan bagai sekawanan burung belibis yang sedang migrasi di angkasa. Mereka melayang berdampingan melewati tiga orang lusuh yang berjalan pelan ke arah sebuah kuburan. Arah sebuah kuburan yang mulai ditumbuhi rumput serta belum diberi nisan permanen lantaran keluarga dari sang penghuni kubur masih belum memiliki cukup uang untuk membelikannya. Tiga orang lusuh itu‒yang berjalan ke arah sebuah kuburan‒sedang mengunjungi kuburan sahabat mereka: Limun.
Aku berjalan pelan mendekati kuburan Limun. Semakin dekat langkahku semakin terasa berat. Seolah Limun menolak kami untuk ada di sana. Namun aku yakin, jika saja Limun bisa melihat kami dari tempat peristirahatan terakhirnya itu, maka dia pasti akan sangat senang dan berkata, “Dasar bodoh, kenapa lama sekali?” seperti ketika kami sering bercanda bersama. Atau mungkin, dia akan menangis dan berkata bahwa di sana‒akhirat‒dia sangat kesepian karena tidak ada orang seperti kami. Sungguh aku benar-benar masih tak percaya bahwa Limun, sahabat terbaik kami, kini tak bisa lagi berkumpul dengan kami dan sedang terbaring di sebuah kuburan yang kini berada tepat di depanku. Aku mendekat ke kuburan Limun dan duduk berjongkok di depannya. Tanpa kusadari air mataku menetes secara perlahan.
“Bro! Saya Ruslam, semoga kau tenang di sana. Ini ada titipannya Amalia buat kau,” kataku sembari meletakkan sebuah bunga lily titipan Amalia di atas kuburan Limun. Aku menadahkan tangan sembari berdoa ke sang Maha Pencipta agar Limun dan segala amalnya diterima oleh-Nya. Fian dan Malin yang berada di dekatku pun ikut duduk dan berdoa. Setelahnya, kami bergegas meninggalkan tempat itu.
“Bro-ku! Saya pergi dulu, baik-baik di situ. Nanti sering-sering kujenguk kalau pulang ke Enrekang. Ohh, iya! Saya percaya Parakang itu betulan ada. Saya sama Fian sudah lihat di tempat KKN, ternyata memang menakutkan. Hahaha!” kata Malin sembari tertawa yang dibuat-buat atau dengan kata lain dipaksakan sebelum meninggalkan kuburan Limun. Aku yang melihatnya semakin merasa berat meninggalkan tempat itu. Adapun Fian sedari tadi tidak berbicara karena jika kondisi emosionalnya sedang tak baik seperti sekarang ini, maka dia akan berbicara gagap sekali hingga orang lain yang mendengarnya tak akan paham apa yang dia katakan. Fian takut Limun malah akan bingung oleh ucapannya, meski dia tahu bahwa tak mungkin orang meninggal bisa mendengar. Ketika hendak pergi, lagi-lagi bahasa tubuh Fian mengisyaratkan sesuatu. Gerak tubuhnya yang selalu terhenti dan kembali memandang nanar kuburan Limun ketika hendak beranjak dari sana adalah pertanda jelas bahwa Fian sama sepertiku hari ini: sangat berat melangkahkan kaki dari tempat pemakaman itu. Limun seperti tidak merelakan kami pergi meninggalkannya kesepian di sana. Namun, seperti hukum kausalitas yang berarti ada sebab yang diikuti akibat, maka akibat dari sebab pertemuan adalah perpisahan.
Kami‒aku, Fian, dan Malin‒pergi meninggalkan tempat itu dengan penuh duka cita yang mendalam. Menghilang dari pandangan penuh rasa bersalah seorang pria berpakaian hitam misterius. Pria berpakaian hitam itu tanpa kami sadari telah berada di sana sebelum kami datang dan dia melihat semua kejadian yang kami lakukan. Dia terus mematung dan memandang kami dari balik pohon beringin tua besar yang berada tepat di tengah-tengah pemakaman. Raut wajahnya mengisyaratkan bahwa dia memendam rasa bersalah kepada kami dan terutama kepada Limun. Wajahnya nanar memandang kami menghilang dari jangkauan penglihatannya. Pria berpakaian hitam itu tak lain adalah Kappok.