"Di Jakarta saat ini pukul tujuh malam. Di Seoul, pasti sekarang pukul sembilan malam, bukan?" Dari balik telpon Fikri berucap setelah lebih dulu melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Tsabita, apa kau mendengarku?" panggilnya lagi saat tak ada jawaban.
"Hmm, aku mendengarmu," jawab Tsabita setelah beberapa lama.
"Jika saat ini kau masih di luar menikmati indahnya bunga sakura di taman, cepatlah kembali ke hotel! Ini sudah malam Tsabita. Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu. Ingat, kau itu wanita, sendirian pula," ocehan Fikri tegas dari balik telpon.
Fikri berkata demikian karena dia tahu betul bahwa Tsabita sangat menyukai bunga sakura. Bahkan Tsabita pernah bilang padanya ketika masih duduk di sekolah menengah atas, kalau dia ingin memandangi lama sakura, bahkan sampai tengah malam saat dia berada di suatu Negara dengan pemandangan sakuranya yang indah.
Fikri masih mengingat kalimat itu dengan sangat jelas. Dan Fikri tahu betul Tsabita tipe wanita yang tak kenal takut. Dia hawatir Tsabita akan benar-benar melakukan kegilaannya. Dan itu akan membuatnya sangat cemas. Karena Fikri berpikir Tsabita tetaplah seorang wanita yang rentan akan kejahatan.
Nadhira yang menguping percakapan antara Tsabita dan Fikri dengan menyodorkan telinganya di dekat HP Tsabita yang tengah di tempelkan ke telinganya tiba-tiba mengambil HP itu secara paksa dari tangan Tsabita.
"Nadhira... apa yang kau lakukan?" pekik Tsabita.
Nadhira bergeming. Bahkan ia berusaha menghalau tangan Tsabita yang berusaha mengambil kembali Handponenya dari tangannya.
"Bagaimana mungkin saat ini dia menikmati indahnya bunga sakura, Lah wong dia sekarang di Indonesia."
"Apa?" Dari balik tepon Fikri terkejut.
Usaha Tsabita untuk mengambil Handponenya dari tangan Nadhira gagal. Nadhira kini bahkan telah memberi tahu Fikri. Sesuatu yang awalnya ingin dia rahasiakan karena tidak ingin Fikri cemas.
Tsabita memicingkan matanya seraya menggelengkan kepalanya ke arah Nadhira. Dia memberi kode pada Nadhira untuk tidak memberi tahu Fikri lebih lanjut. Namun sayangnya, Nadhira tidak menggubrisnya.
"Di Seoul Tsabita bahkan hampir saja kehilangan nyawanya," lanjut Nadhira.
Seketika Fikri tercekat.
"A..apa maksudmu?" Tubuhnya seketika menjadi kaku. Berbeda dengan hatinya yang bergemuruh diselimuti takut luar biasa.
"Fikri... Fikri..."
Fikri tercenung tidak menanggapi panggilan Nadhira untuk beberapa saat. Hingga akhirnya secara sepihak memutus panggilan telponnya.
"Ini, dia memutus telponnya." Nadhira menjulurkan tangannya dan memberikan handponenya kembali pada Tsabita.
Tsabita menghela nafas panjang seraya menurunkan pundaknya. Dia kemudian menundukkan kepalanya lemah.
"Kau ini, dasar...!!" ujar Tsabita seraya menatap Nadhira lekat. Lalu beberapa saat kemudian Tsabita yang kesal berusaha menoyor kepala Nadhira dengan bantal, meski usahanya harus gagal karena Nadhira dengan sigap menghalau dengan kedua tangannya.
"Peace...!!!" Diiringi senyumnya yang mengembang, Nadhira membentuk jari tangannya menjadi huruf v.
Sedangkan di tempat lain pandangan Fikri berpaling dari layar laptopnya. Keramaian di sekeliling seolah tak berpengaruh dan terdengar oleh indra pendengarnya.
Tanpa mempedulikan pemotretan yang masih berjalan Fikri yang berperan sebagai Supervisor Of Fotographer dalam pemotretan untuk sebuah katalog produk baju muslim tergesa pergi dari sana. Melajukan mobilnya di jalan beraspal dengan kecepatan luar biasa.
Baginya tidak ada yang lebih penting daripada Tsabita. Sepanjang perjalanan hatinya tak lepas dirundung cemas dan rasa hawatir yang membuncah.
Di ruang tamu Tsabita menyandarkan tubuhnya di kursi panjang yang ia duduki.
"Aku jamin, sebentar lagi Fikri pasti smpai di sini!" ujar Nadhira setelah merangsek mendekat menghadap Tsabita.
"Itu yang aku hawatirkan. Dia pasti mengebut di jalanan. Bagaimana juga kalau dia sedang ada pemotretan?" jawab Tsabita mengangkat tubuhnya dan melihat ke arah Nadhira.
"Kau juga menyadarinya, bukan?" bicara Nadhira kini dengan nada sarkastis.
Nadhira hanya ingin membuat Tsabita sadar betapa berartinya dirinya di mata Fikri dan berharap Tsabita akan memberi Fikri kesempatan.
"Apa?" jawab Tsabita tidak mengerti.
"Kalau Fikri sangat menyukaimu."
"Jangan bahas itu. Sampai kapanpun dia adalah sahabat, sama sepertimu," balas Tsabita serius merasa tak nyaman.
"Tapi, apa sedikitpun kau tidak merasa kasihan padanya? Dia rela melakukan apapun untukmu. Kau ingat saat kita masih SMA, dia selalu menghiburmu tanpa lelah dan henti-hentinya saat Ibumu harus meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Bahkan dua tahun lalu, saat Ayahmu meninggal, karena kau sendirian dan aku tidak bisa menemanimu, dia rela tidur di luar rumahmu hanya untuk menjagamu karena kau bilang tidak boleh laki-laki dan wanita yang bukan muhrim berada di satu atap yang sama. Dan, bahkan sampai sekarang pun baginya kehidupanmu jauh lebih penting daripada kehidupannya."