Dua surat cahaya

ani__sie
Chapter #4

New York Fashion Week

Suara musik menggema di ruang yang tampak remang dengan lampu yang terus berubah-ubah warna. Di sana lelaki dan wanita berbaur jadi satu, menari mengikuti alunan musik yang berdentum memekakan telinga.

Seorang Dj dengan semangat memainkan musiknya seraya sesekali ikut menari dan melambaikan tangannya.

Malam yang sejatinya identik dengan ketenangan berubah seratus delapan puluh derajat jika berada di klub malam. Kebisingan menjadi dominasi.

Di kursi tinggi yang terdapat di depan counter Kim Je Ha duduk bersama seorang temannya. Berbincang dengan sesekali terjeda karena terlebih dulu menenggak minuman.

Seraya memainkan gelas kosongnya di atas meja counter Kim Je Ha menceritakan mimpi aneh yang sering dialaminya.

"Mimpi seperti apa?" tanya Woo Bin antusias hingga menghadapkan tubuhnya kearah Kim Je Ha yang tampak masih memainkan gelasnya.

Sejenak Kim Je Ha menghela nafas sebelum dia menceritakannya dan membuat Woo Bin bergidik ngeri.

"Sudah berapa lama kau mengalaminya?"

"Kurang lebih hampir satu tahun. Dan itu selalu terjadi sekali dalam seminggu."

"Mengerikan..!!! Kenapa itu terus terjadi?" ucap Woo Bin setelah lebih dulu menghela nafas dalam.

"Itu juga yang selalu ku pertanyakan. Menurutku itu tidak masuk akal," lanjut Kim Je Ha kemudian menenggak minuman dari gelasnya yang baru saja diisi kembali. Saat mengatakannya raut wajahnya menyiratkan keputusasaan.

Tidak beberapa lama Woo Bin memetikan jarinya.

"Benar, ku pikir juga begitu. Jadi... bagaimana kalau kita pergi menemui cenayang untuk mengetahui maksud dari mimpimu itu?"

Seketika itu juga Kim Je Ha memukul kepalanya hingga membuat Woo Bin mengaduh kesakitan.

"Sakit tahu... bagaimana kalau kepalaku jadi gegar otak?"

"Kau pantas dipukul agar kepalamu bisa berevolusi seperti halnya jaman. Cenayang?" Kim Je Ha menyeringai.

"Bullshit... jangan pernah ucapkan itu di depanku lagi!" lanjut Kim Je Ha tegas.

"Ya terserah, kalau begitu nikmati saja mimpi burukmu itu." Woo Bin kesal lalu menenggak minumannya.

Meski kini yang tengah dialaminya terbilang aneh, namun ia tetap tidak percaya akan hal-hal seperti cenayang dan semacamnya. Baginya itu pembodohan.

Kim Je Ha menjatuhkan tubuhnya di kursi lalu menyalakan televisi. Ketakutannya akan mimpi tersebut membuatnya sering terjaga di malam hari. Dan di malam ini dia pun berniat untuk tidak tidur.

Waktu telah menunjukan pukul satu dini hari. Meski televisi menyala namun fokusnya tetap pada layar handponenya. Memainkan permainan kesukaannya. Sesekali ia menggerakan kepalanya saat dia rasa lehernya sudah terasa pegal karena aktifitas yang dilakoninya.

Jarum jam terus berputar dan kini menunjukkan pukul dua malam.

Kim Je Ha yang merasa lelah berhenti memainkan gamenya lalu Menyandarkan tubuhnya di kursi dan berganti fokus ke layar televisi.

Untuk menghilangkan rasa kantuk yang sudah begitu menguasainya, Kim Je Ha berusaha membuat matanya tetap terbuka dengan mengerjap-ngerjapkannya.

Waktu terus berjalan dan kini menunjukkan pukul tiga dini hari.

Setelah melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya Kim Je Ha menghembuskan nafas dalam kemudian menyandarkan kepalanya hingga sedikit terdongak.

Baginya saat ini waktu berjalan sangat lambat.

Rasa kantuk yang sudah sangat menguasai pada akhirnya membuat Kim Je Ha terlelap meski sudah berusaha tetap terjaga.

Dalam tidurnya kening Kim Je Ha tiba-tiba dihiasi banyak peluh, kelopak matanyapun bergerak-gerak meski tetap terpejam. Raut wajah gelisah tampak meski dalam ketidaksadarannya.

Di sebuah tempat yang luas Kim Je Ha melihat api menyala-nyala. Api itu menyala berkobar-kobar, di sana dia tidak lagi melihat apa-apa selain api. Keadaan semakin mengerikan saat dia melihat di tengah-tengah kobaran api itu terdapat banyak tiang-tiang panjang sedang banyak orang yang diikat di sana.

Kim Je Ha yang menyaksikannya bergetar takut. Peluhnya mengucur membasahi tubuh. Tubuhnya yang lemas terasa membeku. Bagaimana jika sebentar lagi dirinya juga akan diikat di tiang yang berada di tengah-tengah kobaran api? Ketakutan itu membuat dadanya bergetar hebat.

Matanya yang terpejam tiba-tiba terbuka dengan tenggorokan yang tercekat. Kim Je Ha kemudian membangunkan tubuhnya dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya menggigil karena rasa takut yang menderanya.

"Ss..sial..!! Apa ini sebenarnya? Kk..kenapa mimpi mengerikan ini, terus menghantuiku?" umpatnya dengan nada gemetar.

Dalam ketakutannya dia tiba-tiba mengingat Tsabita.

"Aku merindukanmu! Jika saja aku bisa melihat wajahmu, hatiku yang tengah gelisah dan ketakutan ini pasti akan menjadi tenang dan damai," gumam Kim Je Ha lirih.

***

Waktu terus berjalan. Menghapus lukisan gelap menjadi cerah. Dari hangat menjadi terik, dari terik menjadi redup dengan sepoi angin yang sejuk dan menenangkan.

Tsabita, Nadhira, dan Fikri, kini tengah berada di sebuah kafe untuk sekedar bersantai setelah mereka menonton film kesukaan Nadhira dan Tsabita. Sedang Fikri hanya ikut saja asalkan ada Tsabita di sana. Terdengar menggelikan.

"Keberangkatanmu ke New York besok, bukan?" tanya Nadhira di sela-sela makannya.

"Hmm..," sahut Tsabita.

"Wah, daebak..!!! Aku benar-benar bangga padamu," lanjutnya dengan ekspresi mata melebar dan kedua jempol yang diacungkan. Sejenak dia menjeda kunyahannya.

Lihat selengkapnya