1. Kerusuhan di Rutan Balikpapan
AKU tidak pernah suka tugas liputan di rutan. Aku tak pernah suka penjara. Aku tak percaya manusia berubah menjadi lebih baik dengan cara dirampas kebebasannya, dikurung di balik dinding dengan pintu berjeruji, meskipun itu adalah hukuman atas kesalahannya. Tapi sebagai reporter baru, baru dua bulan, aku tahu diri. Aku tidak ikut menyusun KUHP, dan tugas adalah tugas, apalagi itu perintah Bang Jenderal, redaktur kota merangkap kordinator liputan, yang bahkan merasa bisa mengatur seluruh dunia.
“Ada kerusuhan di rutan tadi malam. Belum ada yang memberitakan. Kau cari liput ke sana,” kata Bang Jenderal padaku.
“Aku ada tugas di Bena Kutai, Bang. Pembukaan rakerda Kadin. Pak Ardans yang buka.” Nama besar adalah berita besar. Ini liputan pertamaku di acara yang dihadiri gubernur, orang nomor satu di provinsi. Semalam aku sudah menyiapkan pertanyaan terbaik, yang akan bikin Borneo Pos bangga punya wartawan seperti aku!
“Tugas dari siapa?”
“Pak Rizal,” aku menyebut nama pemred Borneo Pos. Dan memang itu tugas dari dia semalam, sebelum koran dicetak. Jenderal pada jam-jam itu sudah pulang. Aku belum, karena meskipun punya kamar kos, aku dan beberapa teman yang masih lajang, anak-anak baru, para pasukan termpur berani mati ini, lebih suka tidur di kantor. Kepada Jenderal aku tunjukkan undangan liputannya. Jenderal mengambil undangan itu.
“Ini biar aku yang liput. Wartawan baru tak akan jadi hebat kalau kebanyakan meliput acara seremonial. Kau pergi ke rutan aja, sana...”
“Sekarang, Bang?”
“Sekaranglah. Keduluan koran lain nanti.”
Aku mengambil tasku di ruang perpustakaan. Aku lihat Edi Jembreng masih tidur. Layouter dengan kacamata kayak kaca pembesar itu ngoroknya lebih nyaring dari lonceng jam weker. Sekuriti Ramadhan di pojok lain meningkahi dengan jenis ngorok yang lain, kayak babi hutan mencari makan tengah malam. Aku memastikan peralatan tempurku lengkap. Rekorder? Berputar lancar, berarti batereinya aman. Minikaset cadangan? Ada, baru seminggu yang lalu aku beli dengan gaji pertama. Kaset yang terpasang pun belum penuh. Baru satu sisi yang terpakai untuk wawancara dengan Sekda Kota Balikpapan soal Hari Jadi Balikpapan.
“Ihsan, belum berangkat kau?” suara jenderal menggelegar lagi dari ruang redaksi.
Aku malu bilang, kalau hari itu aku sedang bokek. “Bentar, Bang. Nunggu Mbak Elly…” Nah, itu cara paling bijak untuk bilang tak punya uang. Mbak Elly, sekretaris redaksi kami itu adalah malaikat penyelamat. Dia tak pernah menolak permintaan kasbon pasukan kere seperti kami ini, tentu dengan persetujuan pemred. Kalau dia sedang baik hati, dia pinjamkan uang pribdinya dulu, dan dia tak pernah tak baik hati.
“Tak ada duit kau?” Aku hanya tertawa, pertanyaan retorik, tak perlu dijawab. “Nih, pakai motorku,” kata Bang Jenderal sambil melempar kunci motor bebeknya ke arahku. Asal kita patuh padanya, Jenderal kita ini bisa murah hati juga, tapi tentu saja dia ada maunya.
“Abang nanti naik apa?” tanyaku berbasa-basi.