Duka yang Belum Sembuh

Ira Karunia
Chapter #1

Duka

Aku tengah mengerjakan proposal seminar ketika aku mendapati kabar bahwa Mbok Narti yang selama ini merawat dan mengasuh ku dari kecil telah tiada. Aku menangis tersedu-sedu tanpa henti dari hari ke hari. Aku yang sedang merantau jauh dari rumah, tidak bisa begitu saja pulang. Apalagi menurut keyakinan yang dianut oleh Mbok Narti jika sudah meninggal dunia harus segera dimakamkan. Melihat wajahnya untuk terakhir kalinya saja aku tidak bisa.

Aku menelpon Ibu memohon agar bisa pulang dan melihat wajah Mbok Narti untuk terakhir kalinya. Namun, jawaban yang kudapatkan darinya sangat pahit dan membekas. Ibu bilang dengan sangat tegas, "memangnya kalau kamu pulang sekarang, Mbok Narti bisa hidup kembali?" begitu ujar Ibu dan hingga hari ini aku terus mengingatnya. Butuh waktu yang tidak sebentar bagiku untuk bisa merelakan Mbok Narti yang sudah menemaniku sepanjang 19 tahun usiaku.

Aku ingat saat itu adalah hari dimana aku akan pergi merantau ke kota yang jauh ini. Mbok Narti nangis tersedu-sedu. Ia mengatakan, "Bagaimana nanti kamu makan? Siapa yang akan masakkin?" Lalu, kami menangis bersama-sama di teras rumah. Atau saat terakhir aku pulang liburan, Mbok Narti membekali aku dengan sambal teri. Ia tahu persis aku sangat menyukai sambal teri. Ia menumbuk sendiri cabai dengan tangannya, ia bilang bahwa sambal akan terasa lebih enak jika ditumbuk begini. Bahkan setiap aku akan pulang kembali ke kota rantau, Mbok Narti selalu memberiku uang jajan. Padahal, gaji Mbok Narti saja tidak seberapa, tapi ia selalu menyisihkan uang untukku.

Entah bagaimana hubungan antara aku dan Mbok Narti terikat begitu saja. Ia bukan Ibu kandungku, tetapi merawatku seperti anaknya. Aku dan Mbok Narti selalu bisa menangis bersama. Ada suka dan duka yang secara tidak langsung telah kami bagi bersama. Kenangan bersamanya akan terus ada dalam benakku. Aku ingat jelas, butuh waktu yang tidak sebentar bagiku untuk ikhlas.

Setelah duka ku bersama Mbok Narti berganti menjadi ikhlas, malam ini aku kembali memeluk duka. Duka kali ini seharusnya membuatku menangis. Duka kali ini seharusnya membuatku bersedih sedalam-dalamnya. Namun, yang terjadi air mataku mengering. Emosiku tertahan. Satu persatu mereka yang datang ke rumah memelukku dan berkata aku harus tabah.

Lihat selengkapnya