Menolak Lupa: Catatan Sejarah Reformasi 1998
Ribuan manusia memadati gedung MPR dan DPR. Ribuan manusia juga menyemut di depan istana kepresidenan. Mereka adalah para mahasiswa dari Universitas Trisakti, Universitas Indonesia dan beberapa universitas di Jakarta dan dari kota lain di seluruh Indonesia yang menuntut reformasi dan perubahan politik di Indonesia. Sesuai janji yang diikrarkan bersama para mahasiswa melakukan demonstrasi damai.
Sebenarnya sebelum aksi besar-besaran ini, para mahasiswa sudah sejak awal tahun 1998 melakukan beberapa kali aksi demonstrasi di lingkungan kampus Universitas Trisakti. Selanjutnya aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Presiden Soeharto kembali diangkat untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada tanggal 10 Maret 1998.
Selanjutnya mahasiswa mulai lebih berani menggelar aksi di luar kampus. Selain mahasiswa dari Universitas Trisakti, aksi juga dilakukan oleh para mahasiswa dari Universitas Indonesia dan beberapa universitas lainnya.
Posisi kampus Trisakti berada di titik yang strategis, yakni dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR. Hal ini menjadikan kampus Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus.
Tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa memulai aksi sekitar pukul 11.00 WIB. Salah satu agenda aksi pada saat itu adalah mendengarkan orasi Jenderal Besar AH Nasution, namun pada akhirnya sang jenderal tidak jadi datang. Selanjutnya orasi pun dilakukan oleh para guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Sekitar pukul 13.00 WIB, peserta aksi mulai keluar kampus dan berkumpul di Jalan S. Parman. Mereka bertujuan akan melakukan long march menuju ke gedung MPR/DPR di Senayan. Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada aparat kepolisian yang menghadang ribuan peserta demonstrasi.
Berdasarkan kesepakatan bersama, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, yang berjarak sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti. Isi orasi adalah menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR.
Aksi damai berjalan hingga pukul 17.00 WIB, tanpa ada kekacauan yang berarti. Saat itu, sebagian peserta aksi mulai masuk ke dalam kampus. Dan di saat sebagian besar mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus, terdengar letusan senjata dari arah aparat keamanan. Tak ayal, massa aksi yang panik kemudian berhamburan berusaha menyelamatkan diri, lari tunggang-langgang ke dalam kampus. Ada juga yang melompati pagar jalan tol demi keselamatan diri.
Setelah itu, aparat keamanan bergerak dan mulai memukuli mahasiswa. Mahasiswa pun melakukan perlawanan dengan cara melempar aparat keamanan menggunakan benda apa pun dari dalam kampus.
Pada saat itu empat mahasiswa tewas dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sedangkan korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Kerusuhan berlanjut bahkan pada akhirnya bernuansa rasial dan terus meluas hingga 15 Mei 1998. Namun, kerusuhan yang ditumpangi oleh oknum-oknum itu tidak mengalihkan perhatian mahasiswa untuk tetap bergerak dan menuntut perubahan.
Hingga akhirnya pada 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil menguasai kompleks gedung MPR/DPR. Selanjutnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun pun menyatakan mundur pada 21 Mei 1998.
Peristiwa Trisakti menjadi pemicu dari demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia yang dikenal sebagai Reformasi 1998. Tragedi Trisakti juga menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru.
(Dari berbagai sumber)
******
Pagi itu Renjana telah bersiap di depan penginapan. Dukkha menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun. Namun tangannya menggenggam tangan Renjana erat-erat.
"Mana teman-teman yang lain? mengapa mereka belum siap?"
Hari itu mereka akan bergerak mulai pukul 11.00 WIB. Dan mereka harus tiba di kampus Trisakti pada pukul 8.00 karena mereka harus mendengarkan orasi dari dosen, guru besar dan para aktivitis di sana. Jadi mereka tidak boleh terlambat.
"Glenn, Tirta, Melanie, teman-teman semua ayo!" Dukkha berteriak memanggil teman-temannya. Pak Bambang yang pertama muncul, dan disusul yang lain.
Mereka saling berpegangan tangan, kemudian menundukkan kepala dan berdoa dengan khusyuk. Ada perasaan ikatan batin yang kuat diantara mereka. Mereka berasal dari kampus yang sama, datang ke Jakarta untuk ikut membantu menyuarakan aspirasi rakyat.
Setelah selesai berdoa, Pak Bambang kembali mengingatkan Renjana dan teman-temannya agar tidak terpancing jika ada yang mencoba mengacaukan keamanan.
"Ingat ya, kalian harus sabar dan jangan terprovokasi oleh apa pun. Niat kalian itu tulus," pesan Pak Bambang.
"Terima kasih Pak Bambang sudah selalu mengingatkan kami. Kami berangkat dulu Pak." Renjana dan teman-temannya segera berangkat menuju kampus Trisakti.