Dunia Alina

Prasanti Ayuningtyas
Chapter #3

Part 3

Hari ini Dini, dan Vina berkumpul di rumahku setelah sepulang sekolah untuk mencoba resep kue yang dimuat di tabloid langganan Mama. Ide ini diawali olehku. Pada awalnya aku hanya sedang berbincang santai dengan Mama yang saat itu sebenarnya sedang asyik membaca Tabloid favoritnya. Tiba-tiba Mama menantangku, “Na, kamu jadi cewek kayanya beneran kurang punya kemampuan ya? Liat kamu masak aja jarang.”

“Yah Ma, aku kan masih SMA, belum waktunya kerjain kerjaan ibu rumah tangga gitu lah” Kataku membela diri.

“Apaan, orang kamu masak mie instan aja gosong.”

“Ih Mama, mie instan gimana bisa gosong.”

“Itu yang dulu kamu pernah masak mie instan dicampur telur, masukkin airnya dikit banget sampe mienya jadi kering semua di panci. Gitu masih bisa bilang nggak gosong. Untung kompornya nggak meledak. Lagian kalo kamu mikirnya gara-gara kamu masih kecil terus, kamu nggak bakalan dewasa dong. Sampe kamu kuliah, sampe kamu jadi ibu-ibu juga kamu nggak bakalan bisa apa-apa.” Tumben sekali hari ini Mama bicara serius.

“Ya udah, aku bakal belajar masak deh mulai sekarang. Mmmm, masak apa ya enaknya? Itu deh, kue yang resepnya ada di tabloid Mama.” Ujarku yang tak terima sambil menunjuk ke tabloid Mama yang kebetulan sedang terbuka pada halaman resep masakan.

Dan akhirnya itulah yang membuat kami disini hari ini. Jujur memang aku tak pernah memasak dengan serius semasa hidup, karena memang jarang sekali melakukan hal serius. Tapi aku bukan orang yang gampang menyerah, karena itu kali ini pun tidak akan menyerah pula dengan tantangan Mama.

Semua bahan sudah kami siapkan dan acara masak memasak sudah siap dimulai. Tanpa kutahu sebelumnya, Dini dan Vina ternyata lumayan mahir juga memasak, mereka mengolah semua bahan dengan gesit.

Aku mencoba pelan-pelan, ternyata sulit juga. Tepung kue bertebaran kemana-mana, bahkan wajahku pun ikut belepotan. Setelah beberapa jam berlalu, bukannya tidak bisa sih, toh akhirnya kue itu berhasil kami buat, dan hasilnya tidak mengecewakan. Baik penampilan maupun rasanya. Kami senang sekali dengan keberhasilan hari ini. Dini dan Vina mulai ribut akan memberikan kue yang kami buat hari ini untuk pria yang sedang dekat dengan mereka sekarang. Aku melamun sebentar. Aku bahkan tidak punya pria yang dekat denganku saat ini. Karena kami membuat kue dalam jumlah yang banyak, rasanya bila kue bagianku dihabiskan olehku, Mama, dan Papa, mungkin kue tersebut masih belum bisa habis juga.

Aku berpikir lagi dan akhirnya terpikirkan satu nama. Kuputuskan untuk memberikan kue tersebut pada pak Radit. Toh besok bukan hari spesial seperti Valentine atau semacamnya, jadi aku rasa dia tidak akan merasa sungkan menerima kebaikan hatiku.

***

Malamnya aku memberikan kue buatan kami pada Mama dan Papa untuk mereka makan, dan Mama benar-benar puas dengan hasilnya, “Wah, anak Mama ternyata bisa ngelakuin hal berguna juga ya.”

“Ih Mama, emang selama ini aku nggak pernah ngelakuin hal berguna apa?” Aku membalas candaan Mama.

“Kayanya ada sih, cuma nggak berkesan. Baru kali ini berkesan dikit.” Mama tertawa.

 ***

Esok paginya aku ragu-ragu juga menyerahkan kue buatanku pada Pak Radit. Aku sengaja datang lebih pagi hari itu. Sungguh membuat kaget, Alina yang dulunya selalu terlambat, hari ini bisa datang sepagi ini, bahkan saat masih belum banyak guru yang datang.

Aku masuk ke ruang guru dan memutuskan meletakkan kue yang sudah dimasukkan dalam sebuah stoples kecil tersebut di atas meja Pak Radit. Kupikir, begini saja lah. Mungkin bila guru tampan tersebut melihatnya, dia akan mengira kue tersebut dari penggemar rahasianya yang sengaja meletakkannya disitu, sampai tiba-tiba lamunanku terpecah, “Alina…”

Aduh, itu ternyata Pak Radit yang sudah datang. Dia kan memang guru yang disiplin, wajar bila jam sepagi ini dia sudah datang.

”Kamu tumben banget pagi-pagi gini udah dateng. Biasa mepet-mepet.” Pak Radit memecah lamunanku.

“Iya Pak, sengaja mau kasih ini buat bapak.” Akhirnya aku mengaku juga sambil menahan agar mukaku tak memerah. Sudahlah Alina, bersikap biasa saja. Toh hari ini adalah hari biasa saja, bukan hari spesial.

“Wah, makasih ya… Baik banget kamu, tau aja Bapak suka ngemil…” Pak Radit tersenyum manis sekali, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah permen.

 “Itu saya buat sendiri loh Pak. Sebagai tanda terima kasih saya, karena ngejalanin hukuman dari Pak Radit, saya jadi nggak pernah telat lagi, bahkan hari ini bisa dateng sepagi ini.” Ah,akhirnya aku menemukan alasan yang tepat.

“Sama-sama, bapak juga seneng lah kalo bisa berguna. Asal kuenya nggak ternyata kamu racunin diem-diem aja, hahaha.”

Dan hadiah cinta pertama dariku untuk Pak Radit akhirnya sukses diberikan juga, walaupun harus mengarang alasan, tapi memang menyenangkan kan bila bisa memberikan sesuatu untuk orang yang kita suka. Walaupun dia masih belum tahu kita menyukainya, tapi yang terpenting dia mau menerimanya dengan baik.

Eh, tunggu dulu. Apa yang baru saja kupikirkan tadi. Suka? Aku? Pak Radit? Aku menyukai Pak Radit? Sebenarnya apa yang sedang terjadi, apa yang sedang kupikirkan? Ya Tuhan, aku menyukai guruku sendiri?

Tidak mungkin aku menyukai guruku sendiri, tapi perasaan saat melihatnya begitu senang menerima kue tadi benar-benar tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Melihat wajahnya yang senang seperti itu, rasanya aku pun ikut senang. Dan bila dipikirkan lagi, saat Dini dan Vina ingin memberikan kuenya pada pria-pria yang sedang dekat dengan mereka, kenapa aku bisa terpikirkan nama Pak Radit.

Saat ini aku memang tidak dekat dengan pria manapun, kecuali Pak Radit, tapi itu juga karena sedang menjalankan hukuman dengan guru tampan itu. Bila Dini dan Vina ingin memberikan kuenya karena mereka menyukai pria-pria tersebut, apakah aku juga ingin memberikan kue ini pada Pak Radit karena aku menyukainya?

Ya Tuhan, saat ini aku nampaknya memang harus mengakui sesuatu. Aku memang menyukai Pak Radit, guru baru di sekolahku yang memang ketampanannya tak wajar itu.

  ***

Semenjak menyadari perasaanku, tanpa sadar, aku jadi lebih menikmati hukuman. Bagaimana tidak, bisa sesering ini bersama orang yang disukai, siapa juga yang tak senang. Rasanya bahagia sekali setiap Pak Radit menahanku pulang dan memintaku untuk membantunya mengkoreksi ulangan. Walaupun bila boleh sedikit berpikir nakal, aku sendiri tak tahu dia sengaja menahanku agar bisa lebih lama bersama atau hanya memanfaatkan tenagaku saja.

Toh itu tidak penting, yang terpenting aku menikmati saat-saat ini. Bila sudah begitu, aku sengaja melambatkan gerakan agar ulangan yang kukoreksi bisa lebih lama selesai. Walaupun Pak Radit jadi heran dan suka menggerutu karena akhir-akhir ini aku lebih lambat mengkoreksi, pada akhirnya tetap saja dia menungguku.

Tiba-tiba saja, dua bulan sudah kupegang gelar sebagai asisten Pak Radit, dan aku makin dekat dengan guru tampan itu. Hari-hari membuat siswi-siswi lain iri itu kujalani dengan santai dan bahagia. Sampai pada suatu hari saat sedang jam istirahat, seorang siswi memanggilku, “Alina!” Aku tahu dia juga murid kelas 3 IPS, tapi aku lupa siapa namanya dan kelas berapa dia. 

“Gue mau ngomong sama lo, ikut gue bentar.” Dia melanjutkan kata-katanya.

“Ada perlu apa? Gue nggak bisa lama-lama loh, ntar bakal dimarahin sama Pak Radit kalo gue telat ke ruang guru.” 

Siswi itu terlihat sedikit kesal. “Nggak bakal lama kok!”

Akhirnya aku mengikuti siswi itu, dan ternyata dia membawaku ke suatu pojok sekolah yang sepi. Tiba-tiba muncul 3 orang siswi lagi, yang sepertinya merupakan gerombolan siswi yang tadi memanggilku.

“Ada perlu apa sih sebenernya, kok gue pake diajak kesini segala?” Aku mulai penasaran.

Sambil merapat pada teman-temannya, siswi tadi mengajakku bicara, “Langsung aja ya, gue mau ngomong kalo gue nggak suka lo deket-deket sama Pak Radit.”

Aku akhirnya menyadari situasi dan membalas kata-katanya dengan datar. “Oh ya ampun, jadi gue lagi dilabrak ya sekarang? Jaman sekarang juga masih jaman banget sih labrak-labrak gini?” 

“Lo tu ngelunjak banget ya!” Tiba-tiba siswi tersebut menamparku.

Lumayan perih, tapi aku sedang malas mencari ribut, jadi aku tanggapi saja dengan santai. “Terus gue harus gimana dong?”

“Mulai sekarang lo nggak boleh deket-deket lagi sama Pak Radit!”

Aku tetap menanggapi dengan santai, “Lo itu gila apa goblok sih? Kayanya udah pada tau deh kalo gue bukannya sengaja mau deket-deket sama Pak Radit. Gue ini lagi dihukum.”

Lihat selengkapnya