Dunia Amin

Gina
Chapter #1

Ibu Menjadi Kurang Asyik

Bagaimana aku harus mengatakan kepada Ibu, tentang burung Ucil diemut Bang Sarman kayak permen kaki? Aku takut Ibu marah. Seperti waktu itu, ketika aku bertanya, apakah burung laki-laki dipakai hanya untuk kencing? Ibu memandangku dengan mata yang besar. Mata Ibu seperti memiliki kekuatan, aku tak sanggup memandangnya lagi.

“Mengapa kamu tanya begitu?” nada suara Ibu tegas.

Aku gugup dan takut.

“Cuma mau tahu, Bu,” kataku menunduk penuh kesalahan.

“Masih banyak hal lain yang lebih penting kamu tanyakan, Min.”

Padahal aku ingin Ibu tahu bingungku. Jika burung anak laki-laki dipakai hanya untuk kencing, kenapa burung bisa berdiri dan keras, kayak burung Ubo dan teman-teman. Dan, mengapa burungku beda sendiri, tidak bisa keras dan berdiri. Apakah memang burungku hanya untuk kencing?

Di sekolah pun, masih bukan tempat yang baik bagi anak-anak sepertiku untuk mengenal tentang tubuh. Semua sangat serba buram, seperti memandang sesuatu dari kaca mata yang penuh debu. Kami tahu tentang gunung, hingga teluk dan semenanjung, hafal nama lima mantan presiden, hafal nama ibu kota beberapa negara, semua itu lebih jelas kami ketahui daripada burung yang melekat di tubuh anak laki-laki. Rumah sebenarnya bisa jadi tempat mengetahui apa yang belum jelas di sekolah, tapi rumahku tak menawarkan itu.

Andai Bapak masih bersama kami, dia bisa menjadi tempatku bertanya segala bingungku. Aku yakin Bapak bisa menjelaskan dengan baik, tanpa lebih dulu menganggapku aneh karena menanyakan apa yang tidak dipertanyakan banyak anak laki-laki seusiaku. Aku cukup yakin Bapak tidak akan menganggap pertanyaanku itu aneh. Termasuk mengapa burungku tak besar-besar juga padahal aku sudah kelas lima? Kenapa Kakek dan Nenek selalu ingin burungku diobati padahal burungku tidak sakit? Bisa saja jawaban Bapak memuaskan. Sayangnya Bapak masih merantau. Kami tidak tahu kapan akan pulang. Aku selalu merindukannya.

Aku tahu letak Kalimantan tempat Bapak sekarang. Di kelasku ada peta terpajang di dinding, aku suka mengamatinya. Ternyata Kalimantan dekat dengan tempat tinggalku. Hanya dipisahkan laut seukuran lima jari di peta, nama laut itu Selat Makassar.

Bapak berasal dari keluarga Mandar, sedangkan Ibu sukunya Jawa, tapi Ibu lahir dan besar di Sulawesi ini. Bibi Wati, adik Ibu, nikah dua tahun lalu, pakaiannya serba hitam keemasan. Ada acara gendong-gendongan. Bibi Wati dan Paman Waluyo digendong orang-orang sambil berjalan berputar-putar. Hal seperti itu tidak kulihat ketika saudara sepupu Bapak menikah. Tidak ada gendong-gendongan, dan pakaian menikah keluarga Bapak lebih berwarna daripada keluarga Ibu. Ada acara naik kuda saat sorenya. Kata Bapak, pernikahan begitu dirangkaikan dengan penamatan Al-Qur’an. Kalau sudah tamat membaca Al-Qur’an harus naik kuda, dan berpakaian adat Mandar.

Nama kampungku adalah Jatiputih. Sedangkan keluarga Bapak tinggal di Tanjung, masih tetangga kampung kami, di sana ada lautnya. Kakek di Tanjung punya perahu untuk menangkap ikan. Sedangkan kampung keluarga Ibu agak jauh, kami harus naik mobil sekitar setengah jam perjalanan. Panamba nama kampung keluarga Ibu. Kata Ibu, kalau mau tahu bagaimana jauhnya kota Mamuju, cukup sekali perjalanan bolak-balik ke Panamba dari Jatiputih. Aku selalu penasaran dengan kota, aku belum pernah ke kota. Ubo juga tidak pernah. Perjalanan jauhku dan Ubo adalah ke Panamba.

Kakek di Panamba punya usaha membuat batu bata. Dinding rumah kami adalah batu bata buatan Kakek. Sedangkan Nenek pedagang sayur. Mungkin itulah mengapa kami suka makan sayur dan Ibu suka menanam sayur di belakang rumah. Seperti di Tanjung, di Panamba juga banyak sepupu-sepupuku. Sepupu di Tanjung, aku bicara kayak berbicara kepada Bapak dan teman-teman kebanyakan di Jatiputih. Sementara sepupu di Panamba, aku bicara seperti bicara dengan Ibu.

Kembali tentang Ucil dan Bang Sarman, ini masih soal burung. Aku sedikit punya gambaran di kepala, bagaimana wajah Ibu bila kukatakan burung Ucil sering dimain-mainkan Bang Sarman sampai-sampai diemut. Ibu mungkin marah, aku ditatap dengan mata tajamnya, aku dianggap aneh. Tapi menurutku tentang Ucil dan Bang Sarman, penting untuk diketahui oleh orang besar kayak Ibu. Jadi tidak hanya diketahui oleh anak-anak seperti aku.

Sayangnya Ibu kurang asyik belakangan ini. Seharusnya aku leluasa menyampaikan apa pun yang ingin kusampaikan kepadanya, menanyakan apa yang membuatku bingung. Tanpa harus mendapat marah dari Ibu dan menganggapku aneh.

Tapi pernah Ibu terpingkal-pingkal tertawa. Ketika aku pulang sekolah, dan melaporkan tentang telinga Ucil berair seperti ingus dan sangat bau. Saking baunya, lalat-lalat selalu mau mendekat. Kemudian tawa Ibu reda saat kukatakan keprihatinanku terhadap kondisi telinga Ucil. Gara-gara itu sampai-sampai Ucil duduk sendiri di kelas. Tampak teman-teman menjauhinya. Budi dan gengnya selalu saja mengusiknya tiada bosan.

Di rumah bukan hanya ada aku dan Ibu, karena Bapak sedang merantau. Sebelumnya sudah kusebut adikku, Ubo. Sayangnya keadaan Ubo tidak memungkinkan untuk mengobrol tentang Ucil dan Bang Sarman. Apalagi mau mempertanyakan soal burung anak laki-laki, apakah dipakai hanya untuk kencing?

Lihat selengkapnya