Hari ini jam istirahat, awalnya Budi, Rudi, Dani dan Salim membicarakan tentang kematian Noordin M Top. Walaupun kejadiannya beberapa bulan yang lalu, mereka selalu suka membahas tentang itu. Bahkan mereka sering bekejar-kejaran di halaman sekolah, katanya main teroris-terorisan. Ada yang berperan sebagai polisi, tapi Budi selalu jadi terorisnya. Budi memang banyak tahu nama-nama teroris. Aku tahu Amrozi, Imam Samudra hingga Ali Imron karena sering menguping obrolan Budi bersama gengnya. Dari membicarakan kematian Noordin M Top kemudian tiba-tiba kembali bergosip tentang Ucil dan Bang Sarman.
Aku sebenarnya tidak mau mendengar itu lagi, aku baru mau meninggalkan ruangan. Tapi langkahku kalah cepat dari omongan Budi. Saat dia memulai kata-katanya, tiba-tiba seperti ada tali terikat kuat di kakiku. Akhirnya aku tetap duduk di bangkuku. Kukeluarkan kembali bukuku, kali ini buku gambar. Aku pura-pura sedang menggambar, padahal kedua telingaku sangat tajam, seolah tak ingin melewatkan sekata pun omongan Budi.
“Kuintip dari luar jendela kamar Bang Sarman, gordennya tidak tertutup sempurna, kulihat dengan mata kepalaku sendiri,” kata Budi, “Bang Sarman benar-benar memasukkan burung Ucil ke mulutnya.”
Yang lain menertawai itu. Aku mengangkat pandangan.
“Seperti menjilat permen,” Budi melanjutkan sambil menjulurkan lidahnya dan menggerakkannya seolah-olah sedang menjilat. Oleh itu semakin meledakkan tawa yang lain.
Bagaimana mungkin Dani, Rudi dan Salim nyaman mendengar omongan Budi, sedangkan aku mulai bergidik ngeri. Kok Bang Sarman mau mengemut burung Ucil seperti permen kaki? Emang Ucil suka burungnya diemut? Banyak pertanyaan hadir di kepalaku, tapi lebih baik pertanyaan itu untukku saja.
Untung aku berani cepat-cepat keluar ruangan, setelah memasukkan buku gambarku ke dalam tas. Seolah-olah aku tidak suka obrolan mereka makanya aku pergi. Aku memang jijik, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku terlanjur penasaran tentang hubungan Ucil dan Bang Sarman. Tahu satu hal baru, bawaannya aku ingin tahu lebih banyak lagi.
Di luar ruangan ramai. Beginilah keadaan di SDN Jatiputih bila jam istirahat tiba. Kami juga sering menyebutnya sebagai jam keluar main. Karena memang waktu-waktu begini, mudah melihat murid bermain. Murid perempuan ada yang bermain lompat karet. Murid laki-laki yang membawa gasing ke sekolah, berlomba-lomba memutar gasingnya di lapangan bulu tangkis. Aku melihat Budi dan gengnya yang juga telah keluar ruangan, bergabung dengan mereka.
Aku tidak ingin bermain apa-apa. Aku hanya berjalan di lorong gedung kelas, sesekali aku berhenti jika perlu membaca majalah dinding buatan kakak kelas. Di sana aku membaca puisi dan cerita. Karena cerita yang dipajang kurang seru, aku hanya membacanya sampai paragraf pertama. Aku melanjutkan langkah, tanpa tujuan pasti aku akan ke mana. Aku seolah ingin mengelilingi gedung sekolah hanya untuk menghabiskan waktu jam istirahat.
Di depan ruangan kelas tiga aku berpapasan dengan Fitri, kakak kelasku. Namanya sudah terkenal, bukan karena prestasinya, tapi karena di sekolah dia berjualan. Fitri ini menjual es lilin. Dia satu-satunya murid di sekolah yang jualan. Guru mengizinkan sepanjang tidak mengganggu pelajaran.
Mudah saja tahu bagaimana Fitri. Memandang dari kejauhan pun, aku tidak pernah kewalahan mengenalinya. Karena Fitri selalu membawa termos es ke mana pun langkahnya di halaman sekolah. Di dalam termos itulah termuat es lilin aneka rasa.
“Beli esku ya, Min!” Fitri mulai menawariku. Termosnya dia letakkan di lantai dekat kaki kami. Aku tidak bisa menolak, hanya melihat hijau warna termos, terbayang es-es lilin itu. Aku tergiur seketika. Liurku seakan kompak berkumpul di ujung lidah.
“Mau beli satu aja, Kak,” kataku.
Fitri tersenyum membuka penutup termos. Seolah-olah asap mengepul, pertanda es sangat membeku. Semakin membeku es lilin, maka semakin nikmat dan semakin lama diemut.
“Mau rasa apa?” tanya Fitri.
“Yang warna cokelat,” balasku.
Es lilin warna cokelat berarti rasa gula aren. Menurutku rasa itulah yang paling nikmat dibanding rasa lainnya. Harga sebuah es lilin hanya 200 rupiah. Sudah beda ketika aku masih murid baru, sebuah es masih dihargai 100 rupiah.
Ketika Ibu masih jadi ibu yang asyik, kami selalu ada waktu berbincang-bincang tentang sekolahku. Harga makanan di sekolah, terutama yang ada di kantin, turut jadi bahan pembicaraan kami. Termasuk harga es lilin. Saat Ibu tahu sebuah es lilin kini harganya 200 rupiah dapat sebiji, dahi Ibu mengerut, seakan heran mendengarnya.
“Kok jadi mahal ya?” itu kata Ibu.
“Iya, Bu. Dulu-dulu dapat dua kalau uang kita 200,” kataku.
Dari penuturan Ibu, ternyata harga es lilin dulu pernah sangat murah, saking murahnya sampai-sampai aku seperti tidak percaya. Dengan uang 25 rupiah kita masih bisa dapat sebiji es lilin yang besar-besar. Kubayangkan, pasti itu bertahun-tahun yang lalu, sebelum Pak SBY jadi presiden. Sekarang ini, jangankan mendapati jajanan yang harganya 25 rupiah, melihat penampakan uang 25 rupiah saja aku tidak lagi pernah. Kecuali seratus 50 rupiah, tentu aku masih tahu wujudnya. Sekarang tidak banyak yang bisa dibeli dengan uang 200 rupiah, selain es lilin Fitri ada juga permen. Tapi lebih banyak harga makanan ringan dimulai dengan 500 rupiah.
Fitri beranjak dari hadapanku, lanjut menjajakan esnya. Sedangkan aku masih di teras ruangan kelas tiga. Kali ini aku bersandar di tiang. Aku mulai menggigit ujung pembungkus esku, mengemut serta menghisapnya, nikmat sekali. Pandanganku tertuju keramaian halaman sekolah. Panas tak dihiraukan, murid-murid terlalu asyik bermain.
Sejenak aku memikirkan, bagaimana kalau aku jadi Fitri, ke sekolah sambil jualan. Walaupun guru mengizinkan, Ibu senang, tapi aku tidak akan senang. Kupikir-pikir aku tidak akan bisa fokus belajar. Perhatianku akan lebih besar tertuju pada jualan daripada pelajaran. Aku salut sama Fitri. Bisa membagi waktunya, jika belajar fokus belajar, jika jualan fokus jualan.