Kalau sudah jam pulang, aku selalu ingin cepat-cepat sampai di rumah. Aku tidak ingin membiarkan Ubo menungguku terlalu lama. Apalagi jika dia sendiri di rumah. Aku kasihan padanya. Akhir-akhir ini Ibu terlalu sering meninggalkannya.
Seperti hari-hari kemarin, aku pulang, kudapati Ubo menungguku di teras. Dia akan tersenyum menyambut kedatanganku. Bersorak-sorai kegirangan melihatku dari kejauhan berjalan memasuki halaman rumah.
“Ore Min lang,” itu yang Ubo ucapkan dengan susah payah sambil bertepuk tangan. Maksudnya, hore Amin telah pulang. Begitulah cara Ubo menyambut kepulanganku. Dia akan langsung memelukku saat aku sudah berdiri di hadapannya. Aku mengusap-usap rambutnya.
Karena aku sudah datang, berarti Ubo harus menyudahi permainannya di teras. Aku membantunya merapikan mainannya. Mulai dari aneka mobil-mobilan, boneka hulk plastik, hingga ninja kura-kura. Banyak mainan Ubo berserakan di lantai teras, satu persatu kami masukkan ke dalam kardus. Menunggu kepulanganku, Ubo sering menghabiskan waktunya bermain sendiri.
Aku membawa kardus itu masuk kamar. Kusimpan di bawah kolong ranjang. Ubo duduk di tepi ranjang, menungguku berganti pakaian. Lalu kami ke dapur mencari makan. Seperti yang kuduga saat perjalanan pulang tadi, Ibu tidak berada di rumah. Sebenarnya aku sudah sering bertanya kepada Ubo ke mana Ibu pergi. Selalu hanya dua jawaban Ubo.
“Pigi bun.” Maksudnya Ibu pergi ke kebun.
“Uci unga.” Maksudnya Ibu mencuci di sungai.
Kemarin saat aku bertanya, jawaban Ubo adalah Ibu sedang pergi ke sungai. Bila besok aku pulang sekolah, Ibu tak ada di rumah, lantas aku bertanya lagi, bisa jadi jawaban Ubo seperti kemarin. Memang dua jawaban itulah yang selalu dia ulangi. Aku tidak percaya, tapi aku tidak bisa menyalahkan Ubo. Sepertinya Ibu memang mengatakan hal tersebut kepada Ubo sebelum keluar rumah, meninggalkan Ubo sendiri.
Apa yang Ibu lakukan di kebun? Padahal kami tidak punya kebun lagi. Awalnya kebun itu belum dijual, melainkan hanya sebatas dikerjakan Pak Slamet, itu sudah dibicarakan dengan Bapak, tak mungkin Ibu berkebun sendiri. Tak banyak yang berubah di kebun, tetap jagung yang ditanam sebagaimana saat Bapak masih bersama kami.
Bila panen tiba, Ibu mendapat 1/3 dari hasil panen jagung Pak Slamet. Sejak kelas tiga, aku sudah mengenal bilangan pecahan. Di kelas lima ini, tentu aku sudah pandai menjumlahkan bilangan pecahan, termasuk pengurangan, perkalian serta pembagian. Tidak sesulit yang kupikir sebelumnya. Menguasai operasi perhitungan pecahan, aku bisa menghitung berapa uang yang diperoleh Ibu jika total hasil panen Pak Slamet di kebun kami sebesar lima juta rupiah. Walaupun angkanya besar, tapi tak begitu menyulitkan.
Bahkan waktu panen kedua, aku sempat mengoreksi kekeliruan Pak Slamet. Dia memperlihatkan nota penjualan jagung kepada Ibu. Di situ tertera tiga juta tiga ratus rupiah. Harga jagung pada waktu itu murah, dan jagung Pak Slamet banyak diganggu hama serta terlambat melakukan pemupukan. Akhirnya hasilnya turun drastis dibanding panen pertama.
Ibu selalu mendapat jatah 1/3 dari hasil panen. Kok bisa Ibu hanya dapat satu juta? Bukankah hasil panen keseluruhan tiga juta tiga ratus? Ketika Pak Slamet pulang, aku cepat-cepat menghitung ulang pada selembar kertas. Ibu harusnya dapat uang satu juta seratus rupiah. Jadi masih ada uang Ibu seratus rupiah di Pak Slamet. Aku melaporkan hasil perhitunganku kepada Ibu. Barulah Ibu menyadari Pak Slamet ada kekeliruan.
“Wah, kamu semakin pintar berhitung, Min. Perhitungan rumit loh ini,” ucap Ibu tatkala memperhatikan kertas coretanku. Padahal tak begitu rumit bagi anak kelas lima sepertiku.
“Kan aku sudah kelas lima, Bu,” kataku bangga. Ibu juga bangga, buktinya kepalaku diusap-usap. Aku disuruh menyusul Pak Slamet ke rumahnya. Kuperlihatkan kertas coretanku kepada Pak Slamet, disaksikan pula Bu Slamet. Pak Slamet tertawa, mengakui kekeliruannya, sembari meminta maaf. Pak Slamet mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya.
“Kasih ibumu, bilang ada kekeliruan,” kata Pak Slamet.
Aku mengangguk paham menerima uang itu.
Ternyata Pak Slamet mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu lagi. Disodorkan pula ke arahku.
“Dan ini untukmu, Min!”
Aku ragu-ragu menerimanya.
“Kok aku dikasih ini, Pakde?” Aku menatapnya heran.
“Udah terima saja, Min, rejeki itu,” Bu Slamet yang menyahut.
Saat aku hendak kembali ke rumah, aku sudah memakai sandal dan berjalan di halaman depan rumah Pak Slamet, tiba-tiba Bu Slamet mengejarku sampai pagar, dia tergopoh-gopoh membawa sebuah kantong plastik, diserahkan kepadaku.
“Apa ini, Bude?”
“Kebetulan tadi buat pecel, dimakan ya!”
Hari itu aku untung banget. Uang dari Pak Slamet, aku bagi rata dengan Ubo. Ibu bilang tidak usah kubagi dengan Ubo, cukup untukku saja untuk jajan di sekolah. Tapi aku tetap memberi Ubo lima ribu rupiah. Ubo senang sekali. Walau Ubo sulit berbicara, tapi dia bisa belanja sendiri ke warung. Dia punya tangan untuk menunjuk makanan ringan apa yang hendak dibeli.
Sebenarnya ketika kutahu Ibu mau menyerahkan kebun untuk dikelola Pak Slamet, dan sudah disepakati oleh Bapak, sebagaimana obrolan mereka melalui sambungan telepon, aku menolak. Tapi tak berani kukatakan itu kepada Ibu. Kusadari aku hanya anak kecil, tak mungkin penolakanku dituruti. Semakin besar penolakanku, ketika Ibu tiba-tiba menjual kebun itu, Bapak selalu mengizinkan.
Salah satu alasanku menolak, karena kebun itu terlalu banyak kenangan kami. Selain itu, seru rasanya main di kebun bila hari libur tiba. Seperti yang sering kulakukan di hari Minggu ketika Bapak masih bersama kami. Pagi di hari Minggu, kami berangkat ke kebun. Udara di sana segar. Bila waktunya menanam jagung, aku dan Ubo rajin betul membantu Ibu dan Bapak. Walau sebenarnya kami lebih sering bermain disela-sela kegiatan menanam itu. Aku dan Ubo saling bekejar-kejaran, atau berburu kupu-kupu indah, atau menangkap belalang di pinggir kebun.
Karena kebun yang awalnya dikerjakan Pak Slamet, kemudian benar-benar dibeli Pak Slamet, aku tidak pernah lagi berkunjung ke kebun saat hari libur. Aku tidak pernah lagi merasakan saat musim panen tiba, penuh semangat memetik jagung. Senangnya mengantar jagung manis ke tetangga saat disuruh Ibu. Dan lelahnya menjemur biji-biji jagung tua, kemudian dimasukkan ke dalam karung demi karung, sebelum diangkut oleh mobil, diantar ke tengkulak. Lelah tapi mengasyikkan. Sekarang momen-momen itu hanya bisa kukenang, kami sudah kehilangan kebun, kenangan itu tak akan terulang lagi. Tak mengapa jika besok-besok kami punya kebun baru. Tapi itu rasanya sulit terwujud, Bapak tak jelas kapan akan pulang, terlebih-lebih Ibu jadi kurang asyik belakangan ini.
Karena kebun kami sudah tak ada, makanya aku sulit percaya jawaban Ubo, bahwa Ibu sedang pergi ke kebun. Apalagi yang dilakukan Ibu di kebun? Aku juga selalu ragu, bila Ibu pergi ke sungai mencuci. Sekarang Ibu tidak butuh mencuci di sungai. Kami punya sumur bor di rumah, punya kamar mandi. Bahkan uang sisa penjualan kebun, Ibu gunakan beli barang-barang termasuk mesin cuci.
Ubo selalu bisa menerima apa pun yang disampaikan Ibu. Tapi aku berbeda, aku sudah kelas lima. Bagaimana bisa aku percaya Ibu masih mencuci di sungai padahal sudah tengah hari, padahal kami sudah punya mesin cuci dan sumur bor, padahal Ibu selalu menakut-nakuti kami bahwa sungai angker dan selalu butuh tumbal setiap tahun.
Aku menduga itu hanya alasan Ibu saja. Tapi aku benar-benar tak tahu ke mana Ibu pergi. Aku pernah menanyakannya langsung kepada Ibu. Aku baru saja menyudahi tidur siangku. Di sisiku Ubo masih terlelap, aku tidak tega membangunkannya. Aku hendak minum. Di depan meja makan kulihat Ibu sibuk dengan ponselnya. Kupikir Ibu baru selesai berbicara dengan Bapak. Ibu belum pulang sebelum aku tidur siang, makanya aku agak terkejut melihatnya.
“Ibu dari mana?” ucapanku mengejutkannya.
“Eh, Amin sudah bangun?” sesaat saja menatapku, kemudian matanya kembali ke ponsel, jarinya sibuk mengetik.
“Dari mana, Bu?”
“Tadi ada urusan di luar.”
Setiap aku bertanya kepada Ibu, jawabannya tak pernah sama dengan jawaban Ubo. Ibu selalu ada urusan di luar. Urusan apa? Aku tidak tahu. Ibu tidak pernah memberitahu. Kadang Ibu pulang tidak lama setelah aku pulang sekolah. Kadang juga sore jelang magrib baru terlihat di rumah.
Aku kangen dengan Ibu yang dulu. Ketika Ibu masih sering menjahit pakaian. Maksudku ketika Ibu masih jadi tukang jahit. Ya, Ibu memang pandai menjahit. Di halaman depan rumah kami ada bangunan kecil. Bangunan itu toko jahit keluarga kami, tempat keseharian Ibu beraktivitas. Sudah ada sebelum aku lahir, tepatnya di awal-awal pernikahan Ibu dan Bapak, ketika sudah menempati rumah kami ini.
Kata Ibu, dulu usaha jahitnya bernama Rumah Jahit Risa. Setelah aku lahir, Ibu tiba-tiba mengganti nama itu. Ibu menghapus namanya digantikan dengan namaku. Dari Rumah Jahit Risa, menjadi Rumah Jahit Amin. Dulu kalau berdiri di tepi jalan depan rumah kami, pasti akan melihat plang, ditulis besar-besar Rumah Jahit Amin.
Masih dari cerita Ibu, awalnya Ibu hanya menjahit di dalam rumah, menerima pesanan kecil-kecilan saja. Seiring usaha itu dikenal di Jatiputih ini, semakin banyak orang-orang datang ke rumah membawa kain atau pakaiannya. Bapak pun membuat bangunan kecil di halaman depan, masih berdinding papan, berlantai tanah, Ibu masih punya satu mesin jahit.