Hari ini seperti mengulangi hari kemarin. Aku pulang sekolah, Ubo menungguku di teras, Ibu tidak ada di rumah. Kata Ubo, Ibu sedang mencuci di sungai. Aku selalu tidak percaya itu, kuanggap hanya omong kosong Ibu kepada Ubo. Kami makan tapi bukan mi siram lagi. Ada ikan tuna goreng, olahan tahu kuah santan dan saus tomat meramaikan meja makan. Lezat, aku dan Ubo sangat lahap.
Ketika aku bangun dari tidur siang, rupanya Ubo lebih dulu bangun. Kami keluar kamar, aku mencari-mencari Ibu, rumah tetap hening, Ibu belum pulang. Aku sebenarnya kesal. Ingin tahu kepastian dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalaku. Apa sebenarnya yang dilakukan Ibu di luar sana? Dia ke mana? Mengapa tega meninggalkan kami berjam-jam seperti ini?
Aku kesal dengan diriku sendiri, sebab aku tidak bisa lagi mengungkapkan semua itu kepada Ibu yang jadi kurang asyik. Aku takut melihat Ibu marah karena ucapanku. Jika Ibu kembali terlihat di rumah, pulang dari tempat misteriusnya, aku seolah tak mempermasalahkan sikap Ibu itu. Seakan tidak ada yang salah dengan dirinya.
Ubo bosan di dalam rumah, tiba-tiba ingin ke luar, ingin menonton permainan gasing. Aku sedang tidak ingin membawa Ubo ke keramaian teman-teman, atau melibatkannya dalam permainan bersama mereka. Seperti kejadian lalu-lalu, Ubo hanya akan menjadi bahan ejek teman-teman. Aku selalu marah jika ada teman sengaja meniru-niru cara bicara Ubo, apalagi mengata-ngatai Ubo sebagai anak bisu tuli. Ubo selalu sedih diperlakukan begitu, aku ikut kesal. Aku ingin marah kepada teman-teman, memperingati mereka untuk tidak mengejek Ubo lagi. Sungguh aku tidak bisa melakukan itu. Aku merasa kakak yang payah tak bisa menolong adik sendiri yang sedang diejek.
Karena tidak ingin melihat Ubo diejek terus, menurutku sebaiknya Ubo main di sekitar rumah saja bersamaku. Ubo tak akan mendengar lagi kata-kata buruk dari teman-teman. Ubo si tuli, Ubo si bisu. Aku tidak akan mengatakan itu kepadanya, Ubo tidak tuli dan bisu. Ubo bisa bicara, aku memahami banyak kata-katanya. Aku yakin bila Ubo besar nanti akan lancar bicara sepertiku.
Walau Ubo tahu dia akan diejek, tapi dia seperti tak ada kapok-kapoknya, selalu saja ingin ke tempat keramaian teman-teman. Justru akulah yang kapok. Sore ini tidak kupenuhi keinginannya untuk jauh-jauh keluar bermain bersama teman-teman, kuanggap adalah caraku melindungi Ubo dari kejailan mereka. Sebagai gantinya aku mengajak Ubo ke halaman belakang rumah. Sebaiknya kami bermain di sana saja.
Halaman belakang rumah kami hijau. Ibu menanam banyak tanaman. Bukan bunga sebagaimana di sekitar halaman depan, melainkan sayur-sayuran. Aku tahu bagaimana bayam tumbuh, karena di belakang rumah kami Ibu menanam sayur bayam. Juga ada terong yang berwarna ungu. Tomat kecil yang baunya tidak aku suka. Aku lebih suka tomat besar berwarna jingga kemerahan seperti yang biasa Ibu beli di pasar, seperti yang pernah kulihat di buku pelajaran. Tomat kecil itu, kata Ibu tomat asli. Emang tomat besar bukan tomat asli? Mengapa Ibu harus membedakannya tomat asli dan tak asli? Padahal sudah cukup disebut tomat kecil dan tomat besar.
Terlalu banyak hal yang selalu kupertanyakan di sekelilingku. Aku selalu ingin tahu penjelasan dengan sejelas-jelasnya. Sering kali penjelasan Ibu tidak dapat memuaskanku. Malah dari penjelasannya, timbul pertanyaan baru di kepalaku. Seperti yang sering kukatakan, semakin aku banyak tahu, semakin banyak pula yang ingin kutanyakan.
Cabe rawit juga tumbuh di belakang rumah kami, namun hanya dua pohon. Tapi kalau berbuah, buahnya banyak sekali. Sekarang buahnya masih banyak, tapi belum kuning atau merah. Ibu jarang beli cabe, atau beli sayur. Ketika sayur di kulkas tidak ada, Ibu akan ke belakang rumah membawa baskom kecil, memetik apa yang mau dipetik.
Aku membawa Ubo ke belakang rumah bukan untuk memetik sayur, agar Ibu memasaknya untuk makan malam kami. Bukan untuk itu. Apalagi masih ada olahan tahu kuah santan di meja makan membasahi nasi kami. Ibu tinggal memanaskan itu jika sudah pulang nanti. Aku mengajak Ubo berburu serangga. Banyak rupa-rupa serangga hinggap di batang atau daun tanaman. Seolah tanaman itu rumah aneka serangga.
Ubo suka jika kami menangkap serangga. Di tangannya sudah ada kemasan minuman, tempat untuk menampung serangga tangkapan. Mula-mula aku menangkap kumbang di daun terong. Warna kumbang itu jingga dan hitam. Aku tidak tahu nama aslinya. Kusebut saja kumbang kecil.
Ubo membalik tangannya, kemudian kutaruh kumbang kecil itu ke telapak tangannya. Dia senang menerimanya. Tiga kumbang kecil yang menjadi penghuni pertama kemasan minuman. Aku menunjuk satu persatu kumbang kecil itu.
“Ini ibu kumbang, ini bapak kumbang, ini adik kumbang,” kataku.
Ubo ikut menunjuk kumbang satu persatu sebagaimana caraku.
“Bu, Pa, Bo,” lalu dia menunjukku, “Ka?”
Aku tersenyum mencari seekor kumbang kecil lagi di pohon terong. “Dan, ini aku,” kataku memasukkan kumbang ke dalam wadah. Barulah Ubo senang. Senang sekali.
Selanjutnya aku membiarkan Ubo menangkap sendiri kumbang yang dia inginkan.
Aku mencari kumbang yang besar, tapi sulit. Di tengah pencarianku, tiba-tiba Ubo menjerit. Aku mengira dia digigit kumbang. Kulihat dia menciumi tangannya dengan wajah masam.
“Ada apa, Dik?”
Ubo mendekatiku. Tangannya dia dekatkan ke hidungku, hingga menyentuh cuping hidungku. Jari-jari Ubo bau banget. Tapi aku tertawa.