Yang paling kukesalkan ketika Ibu berjam-jam keluar rumah, adalah kedatangan orang-orang galak menggedor-gedor pintu. Di situ aku tergoda untuk membukakan mereka pintu, lalu berterus terang kepada mereka kalau Ibu sedang tidak ada di rumah. Kata hatiku memang berkata begitu, tapi beda dengan apa yang Ibu katakana kepadaku.
“Kalau ada orang yang datang bertamu mencari Ibu, jangan bukakan pintu. Jangan berusaha menampakkan diri, pokoknya kalian harus bersembunyi. Mereka bukan orang penting jadi jangan pedulikan.”
Bisa saja aku mengajukan pertanyaan kepada Ibu. Banyak yang hendak kupertanyakan. Tapi aku hanya mengangguk berlagak paham.
Dan, benar-benar kupatuhi apa kata Ibu. Ketika aku sedang berdua dengan Ubo di dalam rumah, kebetulan tiba-tiba terdengar kawanan pengendara motor berhenti di depan rumah kami. Suara mesin motor mereka meraung-raung. Aku akan mengintip keluar dari tirai jendela. Jika mereka adalah orang-orang galak yang sering datang menanyakan Bapak dan membentak Ibu dan Ibu harus memberi mereka uang, maka aku akan bersembunyi di dalam kamar. Semua pintu kukunci rapat-rapat. Aku dan Ubo bersembunyi tanpa menimbulkan jejak suara.
Terdengarlah pintu digedor-gedor. Terdengarlah suara-suara langkah kaki mengitari rumah sampai ke pintu belakang. Menggedor-gedor pula pintu belakang. Ubo tampak takut sekali, aku berusaha merangkulnya, menutup telinganya, napasnya memburu. Bagaimana kalau orang-orang itu mendobrak pintu? Aku selalu mencemaskan itu. Beruntung mereka hanya sebatas menggedor-gedor dari luar. Mencoba memanggil-manggil ke dalam, tanpa ada jawaban. Setelah itu barulah mereka pergi, tapi pasti akan kembali di hari yang lain. Sialnya, beberapa kunjungan mereka tanpa Ibu ada di rumah. Atau jangan-jangan Ibu sering keluar rumah karena memang menghindari orang-orang galak itu?
Bahkan mereka pernah datang ketika hari sudah mau malam, Ibu belum pulang. Aku di teras bangunan kecil bermain-main dengan Ubo, menunggu Ibu pulang. Tapi yang datang adalah mereka. Dari kejauhan suara motor mereka yang berisik mengacaukan telinga. Aku panik seketika, ingin bersembunyi. Kami sudah telat melakukannya. Mereka lebih cepat tiba di halaman depan rumah. Ubo bersembunyi di belakangku, tentu dia ketakutan. Semua pandangan mereka tertuju kepada kami.
Awalnya mereka mencoba ramah, salah satu dari mereka baik-baik menanyakan Ibu. Bagaimana aku harus menjawab itu sementara Ibu di setiap kepergiannya tak kutahu ke mana. Ibu tak pernah jujur kepadaku. Aku gugup, suaraku terdengar bergetar saat mencoba menjawab, seperti jawaban yang sering diucapkan Ubo saat aku bertanya Ibu ke mana.
Mereka tampak tidak begitu percaya dengan jawabanku, saat kukatakan Ibu sedang pergi mencuci di sungai. “Anak kecil jangan suka bohong! Nanti kalau besar kalian jadi terbiasa untuk bohong.”
“Ibuku memang ke sungai mencuci,” aku justru tetap mempertahankan kebohongan itu. Dan aku menyesal sekali setelah mereka memintaku mencari Ibu. “Sungai tak begitu jauh kan dari sini? Nah, cepat cari ibumu, kami tunggu di sini.”
Terpaksa aku dan Ubo menuju belakang rumah, melintasi kebun kelapa milik orang, menyisiri jalan kecil demi sampai ke sungai. Di sana aku tidak melihat Ibu, karena memang setiap kepergian Ibu tidak pernah ke sungai, itu hanya alasannya saja ke Ubo. Aku tak cepat kembali ke rumah demi bertemu mereka, aku memilih bertahan di dekat sungai sekalipun hari sudah semakin gelap. Bagaimana mungkin aku berani muncul di hadapan mereka tanpa Ibu? Bagaimana lagi aku harus beralasan? Aku takut. Bagaimana kalau mereka melakukan sesuatu yang tidak-tidak kepada kami?
Baru kami beranjak dari tepi sungai itu ketika dari kejauhan kami mendengar suara Ibu memanggil-manggil. “Amin! Ubo!” Aku memegang erat tangan Ubo dan mulai menjauh dari pinggiran sungai. Tapi aku menolak menyisiri jalan yang terhubung ke belakang rumah. Aku membawa Ubo menempuh rute yang lain, rute yang sedikit lebih jauh untuk sampai di rumah. Aku punya alasan. Terlalu menakutkan bila Ibu tahu kami dari sekitaran sungai, hari sudah mulai gelap pula, alasan apa pun itu pasti Ibu tidak menerimanya.
Jalan yang kami lewati terhubung ke jalan cor yang ada di depan rumah. Saat kami tiba di sana, orang-orang galak itu tak terlihat. Hanya Ibu yang ada di teras mengedar pandangan ke sekeliling. Cepat-cepat menyadari keberadaan kami. Syukurlah Ibu tak tahu kalau kami sebenarnya dari sungai mencarinya. Aku penasaran apakah Ibu bertemu dengan orang-orang galak tadi. Aku ingin berterus terang apa adanya, tapi mulutku seolah terkunci, terlalu besar ketakutanku. Aku menunggu Ibu menyinggungnya, Ibu yang jadi beda dari Ibu yang dulu, Ibu yang jadi kurang asyik tak membicarakan itu sama sekali. Kami malah disuruh cepat-cepat mandi. Yang jelas mata Ibu tampak sembab, kentara jika dia baru saja menangis. Kalau benar Ibu menangis, dia menangis karena apa? Apakah karena orang-orang galak itu? Atau apakah Ibu sempat berbicara dengan Bapak lewat telepon lalu keduanya saling marah-marah dengan suara keras-keras.
Bagaimana aku berani menanyakan semua itu ke Ibu. Begitu pun dengan banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain. Mengapa orang-orang galak itu selalu datang ke rumah? Tujuan mereka apa? Ibu mengapa memberinya uang? Mengapa mencari Bapak? Aku selalu takut menyinggung itu. Bahkan aku juga takut walau sekedar memberi tahu Ibu, gosip yang kudengar tentang burung Ucil diemut Bang Sarman kayak permen kaki.
Jangankan tentang semua itu, berterus terang kepada Ibu, kalau Ninda adalah anak perempuan paling cantik di dunia ini, sangat sulit aku ungkapkan. Apalagi mau menanyakan siapa laki-laki yang sering mengantar Ibu pulang. Sejak pertama kali kulihat sore itu, beberapa hari yang lalu, selanjutnya aku sering melihat laki-laki itu bersama Ibu, termasuk hari ini. Tapi dia tak pernah masuk ke rumah. Cukup mengantar Ibu sampai jalan depan rumah, lalu dia memutar balik motornya.
Ubo juga tentu melihat laki-laki itu. Bahkan dia bertanya kepadaku.
“Spa?” Menunjuk ke arah laki-laki itu. Kami sedang di ruang tamu, mengintip keluar dari kaca jendela.
“Oh, itu, Om. Teman Ibu, eh teman Bapak juga,” kataku asal-asalan. Kami terus memperhatikan mereka, sampai laki-laki itu pergi. Ibu mulai berjalan ke arah rumah. Aku gegas mengajak Ubo lanjut bermain. Aku takut jika Ibu tahu kami mengintipnya bersama laki-laki itu dari jendela. Kami pura-pura tidak tahu saja kalau Ibu sudah datang.
Begitu Ibu membuka pintu, langsung menyapa kami. “Wah, anak-anak Ibu sedang main rupanya.”
Ubo melepaskan ninja kura-kura di tangannya, berlari ke arah Ibu lantas memeluknya. Ubo menempelkan wajahnya ke perut Ibu. Sampai Ibu tampak geli oleh keusilan Ubo. “Aduh, manjanya anak Ibu,” Ibu mengusap kepala Ubo, merapikan rambut keriting Ubo. Rambut yang mirip dengan rambut Bapak. Sedangkan rambutku lurus kayak Ibu. “Lanjut dulu mainnya ya! Ibu mau masak.”
Ubo mengangguk paham menjauh dari Ibu, bergerak ke arahku. Sedangkan aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali hanya menatap Ibu. Aku ingin sekali bertanya kepada Ibu, tentang laki-laki itu, dan Ibu dari mana? Aku seperti anak bisu yang tidak bisa berucap apa-apa.
Tidak banyak yang kami lakukan sampai malam datang. Kami lanjut bermain sejenak. Sampai Ibu berteriak dari dapur, meminta kami mandi. Aku dan Ubo mandi bersama. Aku menyabuni tubuh Ubo, menggosok sampo di rambutnya hingga membilasnya. Setelah itu giliran Ubo menyabuni punggungku.
Sebenarnya aku tidak suka mandi bareng Ubo. Tapi Ibu selalu meminta kami mandi bareng. Yang selalu aku kesalkan, Ubo suka menertawai aku ketika di kamar mandi kami sudah telanjang. Setiap telanjang, Ubo selalu menunjuk burungku sambil tertawa.
“Ussshhh! Tidak baik begitu, Dik,” kataku mencoba membuatnya berhenti tertawa.
Walaupun aku lebih dulu lahir dua tahun dibanding Ubo, tapi Ubo punya burung lebih besar daripada burungku. Burung Ubo ada tulangnya. Di kamar mandi, sering dia pegang-pegang lalu tiba-tiba membesar. Sementara burungku tidak punya tulang. Sangat kecil dibanding burung Ubo, seperti hanya tonjolan kulit di pangkal pahaku.
Jika mandi sendiri di pagi hari, sebelum berangkat ke sekolah, aku suka meraba-raba burungku, menggosoknya dengan sabun, geli sekali, tapi tak bisa mengembang kayak burung Ubo. Aku bingung dengan itu, tapi tak sampai kecewa. Menurutku burung setiap anak laki-laki itu berbeda-beda. Burung Bapak pasti beda dengan burung kami.
Tentu saja semua orang di rumah kami tahu kondisi burungku. Ibu dan Bapak pernah membicarakannya. Yang masih jelas kuingat, Ibu pernah menyelinap ke dalam kamar kami, ketika Ubo sudah tidur. Ibu duduk di sisi ranjang dekat tempatku baring. Ibu lantas menarik celanaku. “Sini! Lihat burungmu, Sayang!” kata Ibu.
“Ah, Ibu, tak usah!” Sebenarnya aku malu. Ibu tidak seharusnya melakukan itu, aku bukan anak-anak lagi seperti Ubo. Mana mungkin aku bisa menghalang-halangi Ibu. Celanaku ditarik ke lutut. Lalu dia menyentuh burungku.