Hari ini, perjalanan pulang ke rumah cukup menjengkelkan. Sejak meninggalkan gerbang sekolah, Ucil mengikutiku. Sampai di perempatan jalan besar, dia masih mengikutiku. Padahal kami seharusnya sudah pisah, jalan menuju rumahnya dan jalan pulang ke rumahku itu beda. Ucil seakan melupakan rumahnya.
“Jangan ikuti aku!” kataku kesal.
“Aku mau mengantarmu sampai depan rumahmu, Min” Ucil tersenyum.
“Tidak perlu!”
Ucil tak peduli, dia mempertahankan langkahnya seiring denganku. Aku berdiri di samping kirinya, sengaja kulakukan itu untuk menghindari telinga kanannya yang bau. Sebenarnya aku tidak harus membenci Ucil hanya karena telinganya yang sakit. Namun, sejak terlalu sering kudengar dari Budi dan gengnya, tentang burung Ucil diemut Bang Sarman kayak permen kaki, aku jadi beda memandang Ucil. Bawaannya aku selalu ingin jauh-jauh darinya. Melihat wajah Ucil, seketika aku terbayang burungnya diemut kayak permen kaki oleh Bang Sarman. Aku jadi jijik.
Semakin aku kesal lantaran Ucil selalu mengajakku main ke rumah Bang Sarman. Berapa kali pun aku menolak, dia tetap membujukku tak kenal lelah, supaya aku bersedia menerima ajakannya. Diiming-imingilah aku akan punya uang jajan yang banyak, di rumah Bang Sarman banyak mainan dan kue-kue enak. Aku tetap tak tergiur. Dia juga bilang aku bisa dibelikan sepeda oleh Bang Sarman kalau sapinya laku, tapi aku harus menjadi anggota Bang Sarman.
“Maksudmu menjadi anggota Bang Sarman?” Aku sempat menanyakan kejelasan itu. Ada satu kecurigaan yang tiba-tiba kupikirkan, semakin kupikir, aku semakin jijik.
“Bantu-bantu Bang Sarman toh urus sapinya. Kalau kamu mau, kamu bisa jadi anggota tetap kayak aku,” kata Ucil mengalungkan tangannya di pundakku. Aku mencoba melepas rangkulannya. Angin mengembuskan bau telinganya, aku sungguh tak nyaman jika kami sangat dekat.
Aku tetap menolak. Terus menolak sampai aku tiba di jalan depan rumahku. Kukira Ucil masih mengikutiku masuk ke halaman rumah, ternyata dia menyerah. Tapi dia tidak menyerah betul. “Kalau besok kamu berubah pikiran, langsung katakan saja kepadaku,” katanya menepuk pundakku.
“Pokoknya aku tidak mau,” balasku.
“Jangan begitu, Teman!”
“Sudah! Pulang sana!”
Aku mulai melanjutkan langkah memasuki halaman rumah. Masih kudengar langkah kaki Ucil, tapi bukan langkah yang berusaha mendekat, melainkan menjauh. Aku membalik badan untuk memastikan posisi Ucil. Dia balik badan melewati rute sebelumnya. Aku lega. Sudah terhindar dari godaan Ucil. Aku mempercepat langkah mendekati teras rumah. Aku hendak tahu apa yang terjadi di rumah.
Ibu kelewatan betul bila masih meninggalkan Ubo sendiri di rumah. Ibu sudah terlalu sering keluar rumah akhir-akhir ini. Aku kasihan melihat Ubo ditinggal sendiri.
Saat sepatuku sudah menginjak undakan teras, aku tiba-tiba terhenti. Gara-gara Ucil, aku terlambat menyadari sebuah mobil terparkir di halaman depan rumah, berdekatan bangunan kecil. Mobil itu tidak asing bagiku. Aku pernah menaikinya, tak lain adalah mobil Paman Waluyo, suami Bibi Wati. Aku cepat-cepat melepas Sepatu dan berlari memasuki rumah. Secepat itu aku melupakan kejengkelanku karena Ucil.
Rumah ramai. Selain ada Ibu dan Ubo, tentu ada Bibi Wati dan Paman Waluyo. Yang menggembirakan adalah kehadiran Nisa, anak Bibi Wati. Nisa yang belum bisa berjalan sedang tengkurap di lantai mengacak-acak mainan Ubo. Sedangkan Ibu, Bibi dan Paman duduk di kursi. Di meja, depan mereka, selain ada kue-kue kering dalam stoples, ada cangkir berisi teh. Aku langsung menggendong adik sepupuku yang menggemaskan itu. Sampai-sampai Nisa menangis karena aku agak memaksanya.
“Hati-hati leher adikmu, Min!” tegur Bibi. Aku menyangga kepala dan leher Nisa dengan tanganku. Lama-lama di gendonganku, Nisa melupakan tangisnya. Nisa jadi banyak tertawa, apalagi aku menciumi wajahnya, lehernya, ketiaknya karena gemas sekali. Aku suka bau bayi, aku selalu suka bau Nisa. Kecuali ketika popok Nisa penuh, aku tidak suka. Kadang-kadang bau alami bayi kalah menyengat dari kotoran di popok. Karen popok Nisa masih bersih, aku ingin berlama-lama menggendongnya.
Sayangnya Ubo keberatan aku terus menggendong Nisa, sehingga memintaku untuk meletakkan Nisa di lantai. Awalnya aku tidak peduli pada Ubo, tapi Ibu menegurku.
“Cepat ganti baju, lalu makan! Kita mau ke Panamba ini,” kata Ibu.