Kenapa sih orang besar suka pegang burung anak kecil? Ibu dan Bapak juga sering pegang burung kami. Apalagi sekarang aku berada di Tanjung. Aku agak kesal, sebab Kakek memegang burungku dari balik celana. Nenek juga ikut-ikutan.
Sampai-sampai Nenek bilang, “Burungmu sudah besar, Min?” dengan nada bercanda.
“Masih sama kayak dulu, Nek,” kataku malu-malu.
Kakek bilang, “Wah, harus diobati itu.”
Kenapa harus diobati? Burungku tidak pernah sakit? Ibu dan Bapak pun tidak pernah bilang burungku harus diobati. Ini bukan pertama kali aku mendengar Kakek yang sepertinya ingin sekali burungku diobati.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika Kakek menurunkan celanaku. Oh, aku malu sekali, burungku diperhatikan betul, sampai-sampai Kakek memutar-mutarnya, seperti ingin mencari kutu kecil di burungku. Geli sekali. Tapi seperti ini agak mending, daripada burung Ucil, kata Budi, suka diemut Bang Sarman kayak permen kaki.
Nenek yang berjongkok di hadapanku menengadah menatapku, “Masih belum bisa bangun, Min?”
“Sama kayak dulu, Nek. Begini-begini terus,” kataku.
Giliran Kakek bicara, “Masa burungmu kalah sama burung Ubo.”
Hanya karena burungku yang kecil dibanding burung Ubo, mengapa Kakek berpikir perlu sekali burungku seperti burung Ubo? Sedangkan aku nyaman-nyaman saja punya burung kayak begini. Yang penting masih bisa dipakai untuk kencing.
Sudah terlalu sering aku berhadapan situasi begini, ketika tiba di rumah Kakek, burungku akan menjadi perhatian mereka. Seolah kabar yang wajib mereka tahu. Sebenarnya ketika aku baru sampai di rumah ini, mula-mula bukan soal burung yang mereka singgung. Kakek dan Nenek terkejut melihatku tiba-tiba muncul mengusik mereka sedang menonton televisi. Mereka kira aku datang bersama Ibu dan Ubo.
“Hanya sendiri datang? Jalan kaki?” Nenek mengerutkan dahi menatapku.
“Sama pamanku, bapaknya Nisa,” kataku. “Ibu tidak bisa ke sini. Mau ke Panamba. Ubo juga ikut. Ada acara makan nasi baru nanti malam.” Tidak mungkin aku berterus terang ke mereka, aku hanya diantar sampai gerbang Tanjung karena keinginan Ibu.
Aku merasakan kasih sayang banyak-banyak, ketika Kakek dan Nenek bergiliran memelukku dan mencium pipiku. Aku seperti anak yang sangat kecil diperlakukan begitu. Di depan televisi itu, mereka tidak bisa lagi fokus menonton siaran berita siang. Kakek yang memulai meraba-raba burungku.
Setelah kurasa tak perlu membahas burung berlarut-larut, kutanyakan tentang Om Ari, kepalaku liar kanan kiri, mencari-cari Om Ari.
“Jam-jam begini, pasti tidur di kamarnya,” kata Nenek.
Aku berjalan ke arah kamar Om Ari. Terkunci. Aku mengetuk pintu kamarnya, tak ada sahutan. Aku kembali ke depan televisi menemani Kakek dan Nenek. Sejenak menonton berita kecelakaan mobil. Kemudian Nenek membawaku ke dapur. Sebenarnya aku kenyang, tapi Nenek memaksaku makan. Aku makan nasi sedikit, dan sepotong ikan cakalang bagian ekor.
Kakek punya perahu untuk menangkap ikan, walau rambutnya sudah mulai beruban, Kakek masih kuat melaut. Makanya di rumah ini, ikan menjadi makanan sehari-hari. Dulu sebelum aku lahir, bahkan sebelum Bapak menikah dengan Ibu, Nenek pernah menjual ikan. Nenek bersepeda dari kampung ke kampung menjajakan ikan yang segar di dalam termos. Seperti kakak kelasku Fitri, menjajakan es lilinnya dari kelas ke kelas. Sama-sama pakai termos, tapi termos ikan Nenek lebih besar di gandengan sepedanya.
Ini kutahu karena Nenek sering menceritakan masa lalunya itu. Nenek sudah merasa tua, tak bertenaga lagi mengayuh sepeda untuk menjajakan ikannya. Tapi sampai sekarang Nenek masih menjual ikan. Ikan tangkapan Kakek akan dimasukkan ke dalam kotak gabus beserta pecahan es batu, kemudian dipajang di depan rumah. Pagi dan sore sering dikunjungi pembeli. Ikan-ikan yang tak laku selama berhari-hari dan mulai membusuk, akan dikeringkan dan akan dijual kembali. Jadi selain menjual ikan segar, ada juga ikan kering yang dikemas dalam plastik.
Aku kembali ke depan televisi setelah makan. Baru juga rapat bokongku ke lantai, Kakek memintaku mencabut ubannya. Aku bergeser ke kepala Kekek yang baring beralaskan bantal. Aku mulai menyibak rambutnya, mencari uban. Sampai Kakek tertidur, baru aku berhenti. Kakek kalau tidur suka mengorok, suaranya keras seakan mau mengalahkan suara pembaca berita di televisi. Aku hendak mengganti saluran televisi. Remote sudah kupegang. Nenek berada di luar rumah, karena tadi ada pembeli ikan yang datang, tiba-tiba Nenek memanggilku.
“O, Amin! Coba ke sini dulu!” teriak Nenek.
Aku gegas keluar rumah. Ternyata sedang gerimis. Nenek di pagar dekat jalan, melambaikan tangan ke arahku. Aku tahu maksud Nenek. Pagar depan rumah Nenek bukan pagar bambu atau tembok, melainkan bunga asoka yang rimbun ditanam berjejer-jejer, jadi seperti pagar. Tanaman itu senantiasa dipangkas, pucuk-pucuknya tampak datar. Di atas pagar asoka itulah menjadi tempat Nenek menjemur ikan-ikannya yang hendak dikeringkan. Ada empat buah anyaman bambu besar berbentuk segi empat. Di sanalah ikan cakalang yang terbelah dua disusun berjejer.
Ikan-ikan itu masih tampak basah. Saat mengangkat anyaman bambu dengan kedua tanganku, membawanya masuk ke dalam rumah, aku harus menahan napas, karena baunya sangat menyengat. Tapi aroma ikan agak lebih baik dibanding bau telinga Ucil.
Sempat kukira hujan akan deras, ternyata hanya gerimis sesaat. Mendung pergi, selanjutnya langit cerah kembali. Sore di Tanjung sangat menyenangkan. Tempat favoritku bersama Ubo tatkala berkunjung ke sini adalah tanggul di belakang rumah. Untuk menjangkau tanggul itu, cukup keluar rumah melewati pintu dapur. Beberapa langkah saja berjalan maka sudah sampai di tanggul. Aku akan langsung disuguhi pemandangan laut yang indah di sore hari.
Jika belakang rumahku adalah kebun, belakang rumah orang tua Ibu di Panamba adalah sebaran petak galian tanah untuk mencetak batu bata. Nah, di belakang rumah orang tua Bapak di Tanjung ini adalah laut. Aku menganggap pemandangan belakang rumah yang paling indah. Di bawah tanggul menjadi tempat Kakek menyandarkan perahunya. Ada perahu mungil dan perahu berukuran sedang, jika malam di laut perahu Kakek sangat terang lampunya.
Pernah aku datang ke sini bersama Bapak, Ubo dan Ibu pada malam hari. Hanya Nenek yang ada di rumah. Om Ari sedang bersama Kakek berada di laut. Nenek membawaku ke tanggul belakang rumah. Laut ramai betul oleh perahu-perahu nelayan. Semua bercahaya karena lampu. Perahu-perahu menyala itu seperti bintang yang sedang berenang di laut. Sangat indah. Nenek menunjuk satu perahu, katanya itu adalah perahu Kakek. Bisa-bisanya Nenek masih hafal perahu Kakek dalam keadaan begitu.
Ubo sampai berteriak keras, “Ke!!!!” Maksudnya memanggil Kakek. Tentu saja Kakek dan Om Ari tidak bisa mendengar teriakan Ubo.
Pemandangan laut di belakang rumah Kakek semakin indah saat sore begini. Aku semakin senang, apalagi angin berembus seakan memeluk tubuhku, menggerak-gerakkan rambutku. Sayang sekali, aku sedang sendiri, andai saja Ubo ada, kami tentu akan bermain bersama. Membicarakan ikan-ikan di laut, atau mencari hewan-hewan pasir laut.