Ini hari Minggu, terlalu banyak yang kudengar beberapa hari terakhir. Bukan lagi hanya soal burung Ucil diemut Bang Sarman kayak permen kaki. Banyak sekali kabar baru, Ibu seharusnya bisa menjadi tempatku menyampaikan semuanya, sayangnya aku tetap takut meneruskannya kepada Ibu. Terutama semua yang kudengar dari Om Ari.
Aku ingin melupakannya, tapi tidak bisa. Aku malah sering kehilangan konsentrasi saat bermain dengan Ubo. Aku masih memikirkan semua itu, saat Ibu semula berada di dekat kami, tampak mengawasi kami bermain robot-robotan, tiba-tiba saja menjauh setelah ponselnya berdering. Kuperhatikan wajah Ibu senang sekali saat menatap ponselnya sebelum masuk ke dalam kamarnya, kemudian menutup pintu rapat-rapat.
Bisa kutebak yang menelepon pasti bukan Bapak. Ibu tidak mungkin bersikap begitu seandainya itu adalah Bapak, atau telepon dari keluarga yang lain. Aku penasaran, ingin mendengar apa yang Ibu bicarakan. Aku berjalan ke arah pintu kamar Ibu. Kutempelkan telingaku di daun pintu. Suara Ibu kecil sekali, tak jelas apa yang kudengar.
“Kin pa, Ka?” tanya Ubo, maksudnya aku bikin apa? Apa yang kulakukan? Aku hanya menaruh telunjuk di bibir, meminta Ubo untuk diam. Omongan Ibu di dalam tetap tak jelas. Aku menyerah. Tapi aku punya satu kecurigaan dengan siapa Ibu menelepon. Cepat kusingkirkan wajah itu di kepalaku. Kata Kakek dan Nenek semua yang dikatakan Om Ari bohong, ya aku harus percaya kalau Om Ari bohong.
Aku bosan, aku ingin menyalakan televisi. Ini hari Minggu, hari banyak kartun di televisi. Aku tidak bisa benar-benar menonton. Kucari remote, namun tidak ketemu. Yang kutemukan di samping televisi adalah buku tulis Ubo. Buku yang sering dia gunakan belajar menulis huruf dan angka serta menggambar. Terlalu banyak coretan, masih banyak juga lembaran kosong. Di dalam lembaran terselip pulpen. Ini awalnya pulpenku, hanya beberapa kali kupakai menulis di sekolah. Aku memberikannya kepada Ubo lantaran pulpennya sudah kehabisan tinta.
Gara-gara melihat buku Ubo dan pulpen, aku melupakan niat hendak menonton televisi. Aku mulai mencoret-coret buku Ubo. Kutulis namaku dengan huruf-huruf besar dan tebal. Aku tiba-tiba mengingat peta terpajang di dinding kelasku. Saat jam keluar main, kadang aku dan teman-temanku malas main di luar. Setelah jajan di kantin, kami kembali ke kelas. Berkumpul di depan peta itu. Ada yang duduk di atas meja, ada juga yang di kursi. Kami mulai melakukan permainan tanpa menguras keringat. Tapi sangat seru sekali, aku sering ikut main ketika kulihat tema-teman berkumpul di depan peta besar itu.
Permainan itu sederhana saja. Peta besar itu memuat wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Banyak nama-nama kota, kabupaten bahkan kecamatan, hampir memenuhi peta, tersebar seperti tulisan acak. Kami akan melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang akan memulai permainan pertama kali. Aku suka jika mendapat giliran lebih dulu. Maka teman-teman akan menutup mata, sedangkan aku akan cepat memandang peta sedekat mungkin, mencari nama daerah yang sulit ditemukan oleh teman. Misalnya Miangas. Setelah kuteriakkan kata Miangas, teman-teman akan membuka mata dan mulai mencari nama itu. Jika ada teman yang berhasil menemukan Miangas, maka aku dihukum, jariku dijentik keras-keras.
Kemudian teman yang berhasil menemukan Miangas ini melakukan hal yang sama denganku, menyebut satu nama dalam peta untuk kami cari. Bila kami tidak menemukannya, jari akan dijentik. Selalu itu hukumannya. Kemudian pemenang akan kembali menyebut nama lain dalam peta. Permainan itu selalu berakhir saat guru sudah masuk kelas. Yang seru jika Bu Muspida tidak ke sekolah dan tak ada guru pengganti. Kami betah lama-lama di dalam kelas bermain cari-cari nama daerah di peta.
Berkat keseringan memainkan permainan itu, aku jadi tahu letak banyak daerah di Indonesia. Bangka Belitung ternyata tidak menyatu dengan pulau besar Sumatera. Kota Bandung tidak punya laut. Tapi yang paling suka kulakukan adalah membaca nama-nama daerah di Sulawesi. Terutama provinsi tempatku tinggal, Sulawesi Barat, dan juga Sulawesi Selatan. Aku lebih tertarik Sulawesi Selatan dibanding Sulawesi lain yang ada di luar provinsiku. Semua bermula setelah kudengar penjelasan Bu Muspida, kalau dulu provinsi kami namanya Sulawesi Selatan. Kemudian ada pemisahan wilayah, bagian utara Sulawesi Selatan berganti nama menjadi Sulawesi Barat.
Usai menjelaskan bagian itu di depan kelas. Bu Muspida memandang kami, “Ada yang mau bertanya?” Beberapa teman mengangkat tangan. Aku tidak, padahal ada pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku. Mengapa Sulawesi Barat harus pisah dengan Sulawesi Selatan? Beruntung Pinasti menanyakan itu kepada Bu Muspida. Pertanyaan kami ternyata sama, tapi yang membedakan aku dan Pinasti, dia berani bertanya apa yang membuatnya bingung, sedangkan aku tidak.
“Karena wilayah Sulawesi Selatan sudah sangat luas, makanya wilayahnya harus dimekarkan sebagian, dibentuklah provinsi baru, provinsi kita ini. Tapi nanti di tingkat selanjutnya, kalian akan mendapat penjelasan lebih lanjut,” kata Bu Muspida. Penjelasan begitu selalu tidak memuaskan bagiku.
Jam keluar main, aku jajan es lilin Fitri. Aku terus memikirkan penjelasan Bu Muspida, aku bertanya kepada Fitri. Apakah di kelas enam, kita akan belajar tentang pemisahan Sulawesi Barat dari Sulawesi Selatan? Dia bilang tidak. Kelas enam kita akan mulai mempelajari tentang ASEAN.
Tapi Fitri tahu mengapa Sulawesi Barat memisahkan diri. Katanya, karena Sulawesi Barat itu Mandar, sedangkan Sulawesi Selatan adalah Bugis, Makassar dan beberapa suku lainnya yang bukan Mandar. Aku malah tambah bingung. Keluarga Ibu bukan orang Mandar. Tante Ida orang Bugis. Tapi mereka semua tinggal di Sulawesi Barat.