Aku dan Ubo terlambat pulang ke rumah. Sekarang sudah hampir magrib. Di masjid mulai terdengar suara tarhim. Aku takut dimarahi Ibu. Ubo tampak tenang-tenang saja. Dia sangat suka bermain di rumah Bang Sarman. Aku juga suka, tapi aku juga punya alasan untuk tidak suka. Bang Sarman dan Ucil bukan teman yang harus selalu kami dekati. Aku berpendapat begini, sejak kudengar gosip tentang mereka.
Sekarang aku sudah sampai di pertigaan jalan. Aku berhenti melangkah. Di kejauhan sana, di depan rumahku, kulihat Ibu. Dia tidak sendiri. Sudah kuhafal motor laki-laki itu. Berarti tadi Ibu juga keluar rumah. Ibu pasti baru pulang, dan laki-laki itu mengantarnya.
Mumpung Ibu belum melihat keberadaan kami, aku mengurungkan niat melewati jalan depan rumah. Ubo menengadah menatap wajahku. Dia heran aku mengubah arah langkah.
“Kita lewat jalan lain ya,” kataku.
Ubo tak mempermasalahkannya. Aku tidak perlu buru-buru untuk sampai ke rumah. Kini aku takut bila Ibu tahu kami sudah beberapa kali melihatnya diantar pulang oleh laki-laki itu.
Azan sudah berkumandang, aku dan Ubo baru tiba di rumah. Lewat jalan menuju sungai. Lantas melintasi kebun kelapa. Setelah itu kami tiba di kebun sayur halaman belakang rumah. Kudengar suara keran dari dapur. Sepertinya Ibu lagi ada urusan di dapur. Aku meminta Ubo untuk tidak bersuara, kemudian kami mengendap-endap jalan di samping rumah menuju teras.
Aku mengucap salam sebelum masuk rumah.
Ubo mengikutiku, “Kum!”
Ibu membalas, suaranya terdengar kecil. Aku langsung menghampiri Ibu. Ubo berlari memeluk Ibu sedang mencuci piring.
“Baru pulang kalian?”
“Iya, Bu. Maaf,” kataku. Aku sudah pasrah kalau Ibu mau memarahi kami. Untung Ibu tidak marah. Syukurlah.
“Kalian tidak makan siang tadi?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu. Makan di rumah Bang Sarman.”
“Hah, makan di rumah Sarman? Peternak sapi itu?” Ibu sekarang berbalik badan, menghadapku yang duduk di meja makan.
“Iya. Kami main di sana sama Ucil. Bang Sarman baik. Kami juga bantu mengurus sapinya. Jadi telat pulang.”
Aku merogoh kantongku, kuperlihatkan uang dua puluh ribu. “Ini dikasih Bang Sarman, Bu. Katanya upahku membantunya. Tapi harus kubagi sama Ubo.”
Kuperlihatkan pula uang jajan lima ribu pemberian Ibu sebelumnya, bahkan belum kubelanjakan. Untuk apa belanja? Seperti kata Ucil, di rumah Bang Sarman banyak kue dan mainan.
Andai saja Ibu mendengar gosip yang sering kudengar tentang burung Ucil diemut Bang Sarman kayak permen kaki. Ibu pasti melarang kami main ke sana lagi. Karena Ibu tidak tahu tentang itu, jadi dia tidak marah apalagi melarang. Ibu hanya bilang, “Simpan uangmu untuk sekolah besok.”
Aku mengangguk.
Adapun telinga Ucil yang berair dan bau, Ibu tahu itu, tetapi Ibu tidak pernah melarang aku dekat dengan Ucil. Bahkan dulu dia mengingatkan, teman yang telinganya sakit kayak Ucil harus tetap ditemani, kasihan kalau diejek.
Giliran Ubo mengungkapkan kesenangannya kepada Ibu. Ibu senang melihat Ubo gembira begitu. Aku membantu Ubo menjelaskan ke Ibu bagaimana kami membantu Bang Sarman membawa sapi-sapinya ke kandang.
Aku tertawa ketika Ubo bilang, “Cil, jak ek pi, Bu,” Ibu juga ikut tertawa. Maksud Ubo, Ucil menginjak tahi sapi. Ibu pasti akan semakin kencang tawanya, kalau Ubo bilang telinga Ucil berair dan bau. Hahaha, tapi tentang telinga Ucil itu tak disadari oleh Ubo. Bang Sarman pasti menyadarinya sama kayak aku, tapi tak menganggapnya masalah besar.
Kejadian Ucil injak tahi sapi yang dimaksud Ubo terjadi saat di sawah, Ucil menunjukkan kami seekor anak sapi jantan.
“Sapi itu namanya Rambo. Aku yang kasih nama,” kemudian Ucil menatap Bang Sarman berjalan paling depan membawa tali yang tersambung ke tali kekang sapi betina sedang hamil. “Bagus namanya toh, Bang?”
“Jago memang Ucil kasih nama. Pokoknya kalau Rambo besar, harus jadi raja sapi,” tutur Bang Sarman.
Ucil bangga menatap kami, “Bagaimana? Nama Rambo keren toh?” Saat itulah Ucil berhenti melangkah, setelah menyadari menginjak sesuatu.