Dunia Amin

Gina
Chapter #10

Ayam Ubo

Ubo tak mau makan, malah menangis di meja makan. Ibu marah, mencubit pinggang Ubo, sampai Ubo menjerit sakit. “Pun, Bu, pun.” Ubo minta ampun. Ubo terpaksa makan: menggigit paha ayam goreng dengan air mata basah di pipinya, jatuh ke piringnya.

“Cepat habiskan nasimu!” bentak Ibu. Aku kasihan melihat Ubo. Aku kecewa sama Ibu. Ibu jarang marah, tapi sekali marah maka marahnya bikin takut. Ibu seperti peri jahat.

Setelah makan malam, aku tidak mau belajar di ruang tengah, aku juga tidak ingin nonton televisi. Aku menutup pintu kamar. Padahal Ibu di luar, seperti sedang menunggu kami. Aku kesal dengan sikap Ibu yang keras ke Ubo, lebih baik aku di dalam kamar saja bersama Ubo. Kamar kukunci rapat-rapat.

“Sakit, Dik?” Aku bertanya pada Ubo, menggulung bajunya ke atas, memeriksa bekas cubitan Ibu. Ubo mengangguk. Matanya masih sembab. Pasti sakit, karena kulitnya merah. Besok mungkin menghitam. Aku menundukkan kepala, kudekatkan wajahku ke pinggang Ubo. Lalu mulai meniup bekas cubitan Ibu.

“Besok pasti sudah sembuh,” aku mencoba menghiburnya.

Saat-saat begini, aku ingin sekali bicara sama Bapak. Mengadukan Ibu yang mencubit Ubo. Dan juga akan kupastikan kepada Bapak, perihal omongan Om Ari kepadaku waktu itu. Tak kulupa untuk kasih tahu Bapak, Ibu sering keluar rumah, lama sekali. Kalau pulang, pasti diantar oleh laki-laki itu. Barangkali aku juga berani mengatakan kepada Bapak, gosip Ucil dan Bang Sarman seperti yang sering dibicarakan Budi di sekolah, ternyata hanya cerita rekaan. Aku menyaksikan sendiri, tak pernah kulihat Bang Sarman mengemut burung Ucil kayak permen kaki. Malahan Bang Sarman orang yang sangat baik kepada anak kecil.

Aku hanya berani memikirkan begitu, andai aku punya kesempatan bicara sama Bapak saat ini juga. Kenyataannya Bapak sedang tidak menelepon, kami mengunci diri di kamar, Ibu jadi jahat ke Ubo malam ini. Kalau pun Bapak menelepon, Ibu membawa ponselnya ke kami, emang aku berani bicara kepada Bapak seperti yang telah kupikirkan tadi? Kupikir tidak. Ibu pasti ada di dekat kami, menunggui kami bicara sama Bapak.

Aku menyuruh Ubo untuk tidur saja, selimut sudah kubentangkan di atas tubuhnya. Aku juga ingin tidur. Tapi aku harus mengerjakan PR. Tiba-tiba Ubo bangun, ikut duduk bersamaku di depan meja belajar. Aku mengerjakan PR, dia menggambar. Katanya sedang menggambar ayam, tapi hasilnya tidak seperti ayam. Ubo tiba-tiba sedih, memandangi gambar ayamnya. Aku sekarang mengerti mengapa dia sedih, dan mengapa menggambar ayam.

“Besok kita minta ayam lagi ke Bang Sarman,” kataku. “Pasti dikasih, Bang Sarman, kan baik.”

Ucapanku gagal membuatnya senang. Dia tetap murung, memandang gambar ayamnya.

Sudah berlalu beberapa hari sejak hari pertama kami main di rumah Bang Sarman. Aku sangat suka berada di sana, apalagi Ubo. Aku jadi tahu, Bang Sarman suka anak kecil, maksudku dia menyayangi kami. Mungkin karena dia kesepian sendiri di rumah, pernah punya istri tapi cerai, mungkin sejak dulu ingin punya anak, tapi tak bisa punya anak. Sehingga kehadiran kami membuatnya senang.

Sejak kunjungan pertama, selanjutnya aku selalu ingin ke sana. Pulang sekolah, ganti seragam, kemudian makan, lalu aku mengajak Ubo ke rumah Bang Sarman. Jika Ibu di rumah, aku lebih dulu izin padanya. Jika tidak ada di rumah, aku tidak perlu izin. Ibu tak marah kalau kami sering-sering ke rumah Bang Sarman. Tapi tidak juga menyuruh kami sering ke sana.

Rumah Bang Sarman sudah seperti pelarian kami menghindari orang-orang galak yang masih saja datang ke rumah mencari Ibu. Tak mengapa jika mereka datang saat Ibu sedang ada di rumah. Bagaimana kalau mereka datang ketika Ibu sedang di luar? Aku takut berhadapan mereka. Aku takut mendengar mereka menggedor-gedor pintu dengan sangat kasar. Untung ada rumah Bang Sarman, sehingga kami terhindar orang-orang galak itu.

Tadi siang sepulang sekolah, Ucil sudah di sana sebelum kami tiba. Seragam sekolah Ucil masih melekat di badannya, tanda Ucil belum pulang ke rumah. Ketika kami tiba di sana, rumah Bang Sarman hening, aku teriak-teriak menyebut nama Bang Sarman beberapa kali. Baru dia menyahut dari dalam kamar. Ternyata Ucil juga di dalam kamar itu. Tersenyum melihat kami.

“Wah, sudah datang?” Ucil basa-basi menyambut kami. Mengapa mereka berada di dalam kamar? Apa yang mereka lakukan? Pertanyaan itu tiba-tiba mucul di kepalaku. Akhir-akhir ini aku nyaris tak memercayai semua perkataan Budi tentang burung Ucil diemut Bang Sarman kayak permen kaki. Tapi tahu Bang Sarman dan Ucil berada di dalam kamar, kamar itu pintunya tertutup, dengan sendirinya aku jadi terpikirkan lagi gosip itu.

Andai saja aku tahu lebih dulu kalau mereka berdua-duaan di dalam kamar. Sebelum meneriakkan nama Bang Sarman, pasti aku akan bergerak ke samping rumah. Berdiri di dekat jendela. Aku akan mencari celah yang bisa membawa pandanganku melihat apa yang mereka lakukan di kamar, seperti yang pernah Budi lakukan. Andai yang kulihat seperti yang dikatakan Budi, burung Ucil diemut Bang Sarman seperti permen kaki, aku akan langsung kembali ke rumah, dan tidak mau lagi datang ke rumah Bang Sarman. Ucil bukan temanku lagi.

Aku mencoba memperhatikan keadaan kamar Bang Sarman. Masih acak-acakan seperti ketika kunjungan pertamaku ke rumahnya. Dan selimut di ranjang tampak kusut. Seperti baru saja mereka baring di atas ranjang itu. Aku mencoba menyingkirkan pikiran buruk.

Ucil pamit pulang ke rumahnya untuk ganti seragam. Aku harap-harap cemas, apa yang akan dilakukan Bang Sarman kepada kami? Aku jadi curiga, seolah-olah Bang Sarman akan menjahati kami. Padahal Bang Sarman tidak jahat, aku sadar telah curiga berlebihan kepadanya. Harusnya aku sudah benar-benar bisa melupakan gosip itu.

Bang Sarman bilang, sudah menyimpan makanan untuk kami di dapur. Karena dia tahu kami akan datang ke rumahnya. Kami pun diajak ke dapur. Aku melihat sendiri kebaikan Bang Sarman. Memanaskan mi bakso itu, lalu membagi dua ke dalam mangkok untuk kami makan. Bang Sarman dan Ucil sudah makan sebelumnya. Aku dan Ubo juga sudah makan di rumah, tapi aku tetap tergoda melihat mi bakso. Apalagi mencium aromanya. Di situ aku berpikir, kalau Bang Sarman jahat, mengapa dia harus menyimpankan bakso untuk kami?

Lihat selengkapnya