Dunia Amin

Gina
Chapter #11

Bermain Engklek

Ubo mendesakku pergi ke rumah Bang Sarman, untuk bermain di sana dan menonton film berkelahi. Aku tidak mengabulkan keinginan Ubo. Sudah kuputuskan mulai hari ini, kami berhenti main di rumah Bang Sarman.

“Bukan hanya di sana kita bisa main seru, Dik. Jadi tak usah ke sana ya,” kataku kepada Ubo. “Kita main di rumah saja.”

Ubo tetap memaksaku ke rumah Bang Sarman. Dia menarik-narik bajuku, seakan ingin merobeknya, ingin menyeretku keluar rumah. Untung Ibu sedang tidur siang di depan televisi yang sedang menayangkan berita artis. Sehingga Ubo tidak leluasa mengeraskan suaranya. Kalau sampai Ubo marah-marah, dan Ibu terganggu tidurnya, pasti Ubo akan ditegur. Ujung-ujungnya aku juga bisa dimarahi. Ubo sepertinya kapok dicubit Ibu semalam.

Ubo berbisik kepadaku, katanya biar dia yang beritahu Bang Sarman mengenai ayam pemberiannya yang sudah tertelan di perut kami. Aku tidak usah bicara apa-apa. Ah, ujung-ujungnya akulah yang akan menjelaskan itu kepada Bang Sarman. Ubo seperti tidak sadar diri, tidak semua ucapannya bisa dipahami orang. Apalagi mau menjelaskan panjang lebar. Ucil saja suka bingung ketika mendengar Ubo bicara, dahinya mengerut menatapku. “Apa kata, Ubo?” Maka aku akan memberitahu Ucil apa yang sebenarnya Ubo maksud.

Sungguh bukan karena soal pemotongan ayam itu sehingga aku tak mau lagi main di rumah Bang Sarman. Bukan juga karena Ibu melarang kami ke sana. Bagaimana aku harus mengatakan kepada Ubo, tadi di sekolah aku dipermalukan Budi.

Saat jam keluar main sudah tiba, teman-teman berhamburan keluar kelas. Aku juga sudah meninggalkan kelas, hendak ke kantin beli makanan. Atau jika kulihat Fitri di luar, aku mau beli es lilinnya. Aku selalu ingin makan es lilin, saat hari sedang panas-panasnya.

Tapi belum juga kakiku jauh meninggalkan kelas, dari arah belakang Budi menepuk pundakku. “Aku mau bicara sama kamu, Min” kata Budi. “Ayo ke belakang kelas!”

Apa yang ingin Budi sampaikan? Wajahnya yang tampak serius membuatku agak takut. Jantungku berdetak cepat. Berjalan di belakangnya, aku mencoba mengingat-ingat kesalahanku. Ah, aku tidak punya kesalahan apa-apa kepadanya. Aku hanya tidak percaya lagi kata-katanya mengenai Ucil dan Bang Sarman. Tapi itu sudah menjadi rahasiaku. Tak ada orang lain yang tahu. Kalau pun Budi tahu, dia juga tidak berhak marah. Karena itu bukan sebuah kesalahan yang kulakukan kepadanya.

Di belakang gedung kelas sangat sunyi, memang bukan tempat yang baik bagi murid-murid untuk bermain. Ada pagar, tapi bukan pagar semen seperti di depan sekolah. Melainkan pagar kawat besi yang dibentangkan di sepanjang jejeran patok. Belakang gedung sekolah, memang pagarnya masih kawat besi. Semua patok sebagai tiang pagar itu adalah patok-patok yang dibawa oleh siswa kelas 1 sampai 6. Tinggi setiap patok mencapai dua meter.

Setiap hari Sabtu di sekolahku, jam pertama usai apel pagi adalah kerja bakti. Semua murid kompak bekerja dengan pengawasan wali kelas masing-masing. Ada yang membersihkan taman depan kelas. Ada juga yang membabat rumput dengan sabit di lapangan. Untuk kelas lima dan enam, murid laki-laki yang badannya besar-besar, biasanya memperbaiki pagar bersama Kepala Sekolah. Jika tak memperbaiki pagar maka memangkas tangkai-tangkai pohon. Selalu seru Sabtu pagi di sekolah, tapi kadang juga menjengkelkan, bila kami lupa bawa alat kerja bakti. Kami bisa dihukum, bekerja dua kali lebih keras daripada murid yang bawa alat.

Di seberang pagar kawat besi itu ada kebun pisang. Berjejer tanaman pisang. Sehingga agak gelap di belakang sekolah. Cahaya matahari terhalang oleh pohon-pohon pisang. Itu bukan tanaman pisang milik sekolah, tapi punya orang yang lahannya berbatasan dengan pekarangan sekolah. Kebun pisang itu menjadi tempat pelarian murid yang ingin bolos. Tak peduli ada kawat besi, tetap bisa keluar dengan melebarkan kawat itu menggunakan dua tangan.

Aku sering melihat kakak-kakak kelas membolos. Beberapa kali kusaksikan dari dalam kelasku, saat bermain cari-cari nama daerah di peta. Pandanganku keluar kaca jendela, kulihatlah sekelompok murid membolos, saling membantu melebarkan kawat besi. Mereka pasti menghindari pelajaran. Barangkali tidak mengerjakan tugas sehingga takut dihukum guru.

Walau begitu, kami tidak pernah berani melaporkan kelakuan kakak-kakak kelas yang membolos itu. Budi sendiri pernah merasakan bagaimana rasanya dihajar Mahfud, teman kelas Fitri yang dikenal nakal, suka bikin Onar. Budi berani melapor ke wali kelas enam kalau Mahfud bolos lewat belakang sekolah. Besoknya Mahfud dipanggil ke depan saat apel pagi. Usai apel pagi Mahfud disuruh membersihkan toilet kantor. Satu hari setelahnya, kami semua terkejut melihat lebam di sekitar mata Budi. Aku mendengar dari teman-teman, Budi ditonjok Mahfud.

Budi tak pernah lagi berani melapor ke guru jika melihat ada kakak kelas membolos. Kami pun ikut-ikutan bungkam, sebab tak ingin bonyok kayak Budi. Diam lebih baik.

Di belakang kelas, di dekat toilet tua yang sudah tak pernah lagi digunakan murid, aku berdiri berhadapan Budi. Jantungku semakin berdebar ketika Budi menatapku tajam. Aku tak sanggup beradu mata dengannya. Aku ingin sekali bicara, menanyakan apa kesalahanku, mengapa aku diajak berdua di belakang kelas. Aku takut, jangan sampai omonganku semakin membuat Budi marah.

“Kamu ke rumahnya Bang Sarman toh kemarin?” Begitulah Budi bertanya. Nada suaranya seperti tidak senang bila aku main ke sana.

“Iya,” hanya itu yang berani kukatakan. Padahal aku ingin menambahkan, mengapa jika aku ke rumahnya Bang Sarman?

“Bagaimana rasanya burungmu dijilat Bang Sarman?”

Pertanyaan Budi sangat mengejutkan. Mengapa dia berpikir burungku dijilat Bang Sarman? Sampai-sampai menanyakan rasanya. Aku kesal, tapi bagaimana aku harus menampakkan kekesalanku di hadapan orang seperti Budi?

“Enak rasanya burungmu dijilat?” kali ini Budi mulai menampakkan senyum. Senyum terlihat seperti mengejek.

“Tidak pernah Bang Sarman jilat burungku,” kudengar suaraku sangat payah.

“Jangan bohong! Kalau kamu sering ke rumah Bang Sarman, berarti kamu suka burungmu dijilat.”

“Tidak!” aku menggeleng.

“Burungnya adekmu, dijilat juga toh?”

Aku kesal sekali mendengar tuduhan Budi. Aku ingin menjauh darinya. Tapi kakiku berat memulai melangkah. Budi belum selesai.

Lihat selengkapnya