Sebenarnya aku berangkat ke sekolah dengan perasaan senang. Aku sudah berdamai dengan kejadian kemarin. Semoga di sekolah nanti tidak ada lagi kejadian memalukan. Budi sadar apa yang dia lakukan kepada aku itu tidak baik. Begitu harapanku berangkat dari rumah. Sejak aku menyalami tangan Ibu dan pamit pula kepada Ubo.
Akan tetapi, semua tidak berjalan baik-baik saja. Di tengah jalan, tepat di perempatan jalan, aku bertemu Budi. Aku tidak bisa lagi menghindarinya, karena dia yang lebih dulu melihatku.
“Amin, tunggu!” teriaknya.
Aku berhenti di depan toko kelontong. Sempat kulelehkan pandanganku ke keadaan sekitar. Jalan ramai anak sekolah. Di perempatan ini, menjadi tempat yang paling ramai melihat anak sekolah. Kakak-kakak SMK menuju barat, jalan ke arah Tanjung. Kakak-kakak SMP ke utara. Aku dan segenap murid SD Jatiputih ke selatan. Murid SMP dan SMK sudah banyak yang membawa motor sendiri ke sekolah atau diantar orang tua. Tapi masih banyak juga yang jalan kaki.
Setelah aku menyadari posisi Budi, aku ingin cepat-cepat berjalan. Tapi kakiku berat untuk melakukannya. Aku malah berharap panggilannya itu untuk meminta maaf atas perbuatannya kemarin. Aku kecewa, yang terjadi tidak seperti yang kuharapkan. Mengapa juga aku berharap teman yang sifatnya kayak Budi mau meminta maaf.
Dia memang merangkul leherku, seperti kawan yang baik. Tapi dia bukanlah kawan baik.
“Hai, pengisap burung!” kata Budi.
Aku diam. Tak mau memandang wajahnya. Sebenarnya aku sangat kesal mendengar ucapannya. Aku bukan pengisap burung. Apa yang dia katakan itu tidak benar.
“Kemarin kamu ke rumah Bang Sarman lagi?”
“Tidak!”
“Kenapa? Tidak rindu sama burungnya?”
Aku kembali diam.
Budi terlalu banyak bicara.
“Pasti rindu sekali Bang Sarman sama burungmu, Min,” satu tangan Budi hendak memencet burungku. Aku berusaha menghindar.
Dia terus merangkulku dan selalu banyak bicara sampai kami semakin dekat gerbang sekolah, Budi menghentikan ejekannya kepadaku. Rangkulannya dilepas. Cepat-cepat menyeberang jalan dan menuju gerbang.
Perasaanku jadi sangat buruk oleh Budi. Aku menghentikan langkah. Aku jadi takut ke sekolah. Bagaimana kalau apel pagi nanti, Budi kembali menggangguku di barisan. Sampai semua anak-anak menertawaiku. Kupikir teman-teman akan mudah tertawa bila Budi memanggilku dengan sebutan pengisap burung. Oh, itu akan sangat memalukan.
Niatku ke sekolah jadi batal. Aku membalik badan. Baru beberapa langkah, aku berpapasan dengan Mahfud, kakak kelasku yang nakal itu. Tapi senakal-nakalnya Mahfud, tidak pernah menggangguku. Beda kayak Budi. Bahkan Mahfud menyapaku. Mungkin dia heran, mengapa aku balik badan. Padahal sebentar lagi aku sudah sampai di gerbang. Tinggal menyeberang, dan berjalan beberapa langkah lagi.
Mahfud menegurku, “Kenapa kembali?”
“Ada yang kulupa di rumah,” saat itu aku ingin cepat-cepat menyingkir dari hadapannya. Tapi masih ada yang hendak Mahfud katakan. Rupanya sejak tadi dia berada di belakangku, tapi tidak begitu dekat. Dia melihatku dengan Budi. Mahfud menanyakan apa yang dilakukan Budi kepadaku.
Aku bilang, Budi bertanya soal tugas. Aku sudah mengerjakan tugas itu, tapi aku lupa di rumah. Aku harus kembali ke rumah, mengambil tugas itu. Aku bisa mengatakan kebohongan kepada Mahfud, tapi angat sulit mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Padahal Mahfud mengingatkan kepadaku, jangan takut melapor kepadanya jika aku diganggu oleh Budi. Biar dia yang menghadapinya. Seharusnya omongan Mahfud itu bisa menjadi peganganku untuk tidak lagi takut diejek Budi. Jika Budi masih mempermalukanku, bisa kulaporkan perbuatannya kepada Mahfud. Aku malah berpikir masalah akan besar jika melibatkan Mahfud.
Katakanlah Mahfud menghajar Budi karena Budi mengejekku, pasti Mahfud kena hukuman lagi. Jika Mahfud menyebut alasannya menghajar Budi, namaku disebut-sebut. Pasti aku juga dipanggil guru. Guru memintaku bercerita apa yang sebenarnya terjadi. Tidak mungkin aku berani bilang kepada guru: Budi mengejekku pengisap burung. Budi juga menuduh burungku diemut Bang Sarman kayak permen kaki.
Bisa tambah besar masalah itu. Bagaimana kalau sampai kepada Ibu, terdengar pula oleh Bang Sarman. Bayangan itulah sehingga aku anggap keputusan yang baik adalah tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada Mahfud.
Aku berpisah dengan Mahfud. Dia menyeberang jalan, sedangkan aku semakin menjauh dari sekolah. Sudah kuputuskan aku batal ke sekolah hari ini. Tapi aku tidak ingin pulang ke rumah. Aku takut Ibu. Ibu tahu aku sudah berangkat ke sekolah. Bila kembali ke rumah, Ibu pasti bertanya kepadaku. Aku belum siap jujur kepada Ibu.