Dunia Amin

Gina
Chapter #13

Makan Belalang

Tadi siang, Ubo makan belalang. Begitulah yang tiba-tiba kukatakan kepada Ibu. Kami berkumpul di meja makan. Ibu seolah-seolah tidak percaya, dia heran, tapi juga tertawa. Kemudian memastikan omonganku kepada Ubo, “Benar Ubo makan belalang?”

Ubo mengangguk, menelan baik-baik makanannya, minum sedikit, lalu bicara, “Lang nak, Bu.” Maksudnya belalang enak. Aku seperti ingin muntah mendengar omongan Ubo. Ibu tidak pernah mengajarkan kami untuk makan belalang, bagi Ibu belalang tidak bisa dimakan. Kukira Ibu akan marah, Ibu malah semakin tertawa.

Aku bisa menyampaikan tentang Ubo makan belalang kepada Ibu, mengapa hal lain tidak? Aku juga sebenarnya ingin berterus terang tadi siang di sekolah aku tidak senang seharian. Setiap bertemu Budi, pasti aku diejek, pengisap burung. Tak peduli walau di keramaian teman-teman. Seketika aku menjadi bahan tertawaan.

Selain soal keusilan Budi, aku juga takut menceritakan kepada Ibu satu hal lain. Jam keluar main di sekolah, aku dipanggil Bu Muspida di ruang guru, kami berhadapan di mejanya. Itu menyangkut tentang kemarin saat aku bolos. Bu Muspida meminta keteranganku. Kata Bu Muspida aku dianggap bolos sekolah, karena Budi melapor dia melihatku ke sekolah. Aku tidak berani menyangkal itu. Kuakui aku memang bolos.

“Mengapa kamu bolos, Amin? Tidak biasanya kamu begini,” Bu Muspida menatapku dengan tajam. Dia tampak penasaran sekali dengan jawabanku. Aku gugup, antara ingin melaporkan ejekan Budi, atau mencari-cari alasan lain. Aku selalu sulit mengatakan kepada orang besar apa yang sebenarnya terjadi. Kepada Ibu yang sehari-hari denganku, sudah sangat sulit, apalagi kepada orang besar kayak Bu Muspida.

Ubo tidak lancar berbicara, tapi suka berterus-terang tentang apa yang dia pikirkan. Aku normal bicara, tapi selalu ingin memendam sendiri perasaanku. Entah darimana aku berpikir, segala sesuatu yang tidak menyenangkan perasaan, cukup aku saja yang merasakan, tidak perlu orang lain tahu, sekalipun itu keluarga. Seakan-akan semua akan menjadi baik bila kusembunyikan sendiri.

Usai kukatakan kepada Bu Muspida alasannya sehingga aku bolos, sebagaimana yang kukatakan pada Pak Slamet di kebun kemarin, Bu Muspida terkejut, tapi dia memercayaiku. Bahwa aku benar-benar tidak mengerjakan PR. Beruntung Bu Muspida tidak memberi hukuman keras-keras, atau dijemur di bawah tiang bendera seperti yang sering dilakukan Mahfud, Budi juga pernah.

Aku hanya diberi tugas besar, menjawab soal matematika tentang bangun ruang. Serta Bu Muspida memintaku mempelajari sendiri materi pelajaran yang telah kulewatkan, aku bisa meminjam buku catatan teman katanya. Bukan masalah, sekalipun dihukum, kuanggap hukuman seperti itu menyenangkan dan tidak memalukan.

Tapi Budi semakin menjadi-jadi di sekolah. Begitu aku keluar dari ruang guru, berjalan di lorong kelas, aku sempat berpapasan dengannya.

“Hei, pengisap burung. Dapat hukuman apa?” kata Budi.

Aku malas menatap wajahnya yang mengesalkan. Aku juga malas bicara, tapi Budi merangkul leherku. “Kenapa tidak jawab? Mau cari masalah? Oke, pulang sekolah nanti ayo baku pukul!”

Aku takut berkelahi. Takut berkelahi dengan siapa pun. Aku pasti dihukum di sekolah. Ibu pasti marah. Ibu dan Bapak tidak pernah mengajarkan aku untuk berkelahi. Ubo mungkin senang jika aku berkelahi, dia mengira aku dan dia sudah bisa berkelahi karena kemarin-kemarin sering nonton film berkelahi.

“Dikasih tugas,” kataku kepada Budi. Saat-saat begitu aku tidak bisa diam. Budi akan semakin menjadi-jadi jika tak kujawab pertanyaannya, seperti itu perkiraanku.

“Hanya itu?” Budi tampak heran.

Aku mengangguk 

“Harusnya kamu bersihkan WC. Bu Guru pilih kasih,” Budi terdengar keberatan.

Budi baru akan senang seandainya aku dihukum keras-keras. Mengapa Budi seperti sangat membenciku? Aku bahkan tidak punya kesalahan padanya. Kami sudah satu kelas sejak dia tinggal kelas saat masih kelas tiga, mengapa baru sekarang aku menjadi orang yang harus dia ejek.

Tak puas mengejekku di lorong kelas, dia masih melanjutkan aksinya itu saat jam masuk. Lonceng telah berbunyi, kami berkumpul di dalam kelas menunggu Bu Muspida. Setiap Budi bicara padaku, tidak pernah lagi menyebut namaku. Pasti aku dipanggil sebagai pengisap burung. Kalau pun mau dia ubah, jadi penjilat burung. Teman-teman kompak tertawa ketika Budi memanggilku seperti itu. Seakan aku sudah punya nama baru di sekolah, nama yang lucu sehingga ditertawai. Tidak ada lucu-lucunya sama sekali.

“Kamu harus diam, Amin! Jangan bicara apa pun. Kalau kamu bicara, Budi pasti akan semakin menjadi-jadi usilnya,” ini bukan perkataan siapa pun, melainkan kata-kataku kepada diri sendiri, tebersit di dalam hatiku. Aku mendengarnya baik-baik, berapa kali pun Budi mengataiku pengisap burung, aku harus tetap diam.

Budi benar-benar tak bisa diam, dia berdiri di atas mejanya, menepuk tangannya beberapa kali, meminta teman-teman memperhatikannya. “Coba perhatiannya semua!” Aku pun sempat meliriknya, sebelum aku cepat-cepat membuang pandangan ke meja. Tapi telingaku tetap mendengar ucapan Budi, karena suaranya keras, apa yang dia katakan seakan petasan besar yang meledakkan telingaku.

“Ada yang mau tahu, kenapa bapaknya Amin pergi merantau?”

“Karena apa tuh?” Rudi yang menimpali paling pertama. Disusul beberapa teman yang penasaran ingin tahu.

“Karena bapaknya Amin malu,” Budi jeda sejenak. “Malu karena Amin penjilat burung.” Tawa menggelegar seisi kelas. Aku sungguh malu. Aku ingin berdiri, kemudian melantangkan suara, membantah tuduhan Budi. Bahwa semua itu hanya fitnah. Tidak benar aku pengisap burung, Bapak merantau supaya kami punya banyak uang. Omongan Om Ari waktu itu tidak kupercaya lagi. Bahkan aku tidak mau memikirkannya.

Sayangnya tak ada keberanianku, bahkan untuk membela diri sendiri. Aku diam di kursi. Mataku berkaca-kaca, segera kuseka air mataku dengan jari. Pian di sampingku hanya diam, tapi dia tidak benar-benar diam. Di kolong meja, tangannya memegang lututku, dan menepuk-nepuknya. Aku mengerti apa maksud Pian sekalipun tanpa bicara.

Saat-saat begitu aku ingin ada teman kelasku yang membelaku. Tak ada satu pun yang mau jadi pembela. Semua sepertinya takut berurusan sama Budi. Pinasti, ketua kelas, yang kuharapkan berani menegur Budi, dia hanya mengobrol dengan teman duduknya. Dia tampak tidak peduli dengan ejekan Budi. Aku tidak mungkin berharap sama Pian, dia juga takut sama Budi. Ucil apalagi, sebelum aku menjadi sasaran ejek Budi, dia sudah lebih dulu diejek Budi. Ucil hanya mencoret-coret kertas, tampak sedang menggambar sesuatu. Ucil sudah tidak mau bicara padaku. Itu yang dikatakan kepadaku usai apel pagi.

“Kenapa sudah tidak pernah ke rumah Bang Sarman?” Dia bertanya, padahal kukira yang dia tanyakan menyangkut bolosku kemarin.

Lihat selengkapnya