Pian tak sia-sia menjadi yang pertama main layang-layang di Jatiputih. Rencana Pian jelas berhasil. Hanya selang dua hari setelah aku dan Ubo ikut menerbangkan layang-layang, sudah beberapa kawan ikut main layang-layang. Di langit bukan hanya layang-layang kami yang terbang, sedikitnya ada tujuh. Tempat terbaik untuk menerbangkan layang-layang adalah samping rumah Pian. Di sana tanah lapang, bekas lapangan voli. Tak ada pohon-pohon yang menghalangi gerak layang-layang saat kami mulai menerbangkannya.
Sekarang sudah hari kelima. Budi, Rudi dan kelompoknya memang masih memainkan gasing. Tapi lebih banyak teman-teman ikut bermain layang-layang di samping rumah Pian. Aku yakin hanya beberapa hari lagi permainan gasing benar-benar tidak akan laku lagi di Jatiputih. Selalu ada masa akhir dari sebuah permainan, tapi akan dimainkan kembali di waktu-waktu mendatang. Penjual layang-layang di Galung ramai diburu pembeli. Teman-teman suka ke sana saat pulang sekolah. Rela mengurangi uang jajan untuk beli layang-layang dan benangnya.
Sore menengadah ke langit, mudah saja melihat layang-layang. Langit jadi penuh warna kehadiran layang-layang. Samping rumah Pian paling ramai, tapi itu bukan satu-satunya tempat di Jatiputih jika mau menerbangkan layang-layang.
Sejak hari pertama sampai kemarin, begitu pulang sekolah, usai ganti seragam sekolah dan makan siang, aku dan Ubo akan ke rumah Pian. Sampai sore kami di sana. Hari ini aku kembali ingin ke sana. Apalagi Ubo sudah tak sabar melihat layang-layang kami terbang. Saat kami sudah mengeluarkan layang-layang dari kolong ranjang, sudah pamit kepada Ibu. Tapi Ibu tidak memberi izin. Katanya nanti saja kami main layang-layang, harus tidur siang dulu. Sudah berhari-hari kami tidak lagi tidur siang. Aku kecewa, Ubo apalagi. Kami tidak mungkin melawan kata Ibu.
Dengan berat hati, kusimpan kembali layang-layang itu ke kolong ranjang. Ibu meminta kami tidur di sampingnya, di depan televisi. Ibu berada di tengah. Aku sulit tidur, pikiranku tertuju kepada Pian. Kami sudah janjian untuk main layang-layang bersama, aku tidak bisa memenuhi janjiku. Kubayangkan ramai teman-teman di sana, saling membangga-banggakan layang-layangnya. Paling merasa layang-layangnya yang punya terbang paling tenang. Layang-layang buruk itu kalau terbangnya goyang-goyang, atau berputar-putar seperti gasing, juga layang-layang yang terbang miring mengganggu layang-layang lain. Kami tertawa jika melihat ada layang-layang oleng, perlu dikasi pemberat di salah satu sayapnya, biar kedua sayapnya seimbang sehingga terbangnya tenang. Sedangkan layang-layang yang berputar di udara, berarti layang-layang yang berat kepala. Perlu ditambahi ekor lebih panjang supaya tidak berputar lagi.
Karena harus tidur siang, aku telah melewatkan keseruan hari ini di samping rumah Pian. Walau begitu tak kusalahkan Ibu, apalagi mau marah. Maksud Ibu sudah baik meminta kami tidur siang. Kami harus menunjukkan bahwa kami anak patuh pada perkataan Ibu, maka kami harus tidur.
Kuingat kembali perbincangan Budi di ruang kelas tadi, saat menunggu Bu Muspida masuk kelas. Budi juga sudah punya rencana ingin beli layang-layang. Aku menduga pasti Budi sudah sedikit kawan bermain gasing. Tidak ada lagi adu tanding dengan anak-anak kampung tetangga. Anak-anak di Galung semua kompak bermain layang-layang. Anak-anak di Batulima juga mulai menerbangkan layang-layang.
Kalau Budi dan gengnya sudah punya layang-layang, bisa saja ikut menerbangkan layang-layang di samping rumah Pian. Kalau aku ke sana usai bangun tidur, dan benar Budi ada di sana, pasti aku diejek. Aku akan kembali dikata-katai penjilat burung.
Ketika aku bangun, Ibu sudah tidak ada sampingku. Hanya bau rambut Ibu tercium dari bantalnya. Di tempat baring Ubo juga sudah kosong. Aku ke toilet untuk kencing. Ibu sedang membungkus adonan kue dengan daun pisang. Aku tahu, pasti Ibu sedang buat kue nagasari.
Aku mendekati Ibu, “Sudah bisa pergi main, Bu?”
Ibu melirikku sesaat, “Tapi pulang sebelum magrib.”
“Baik, Bu.”
Ternyata Ubo sedang di teras menungguku, layang-layang kami sudah dia pegang.
“Yok,” Ubo langsung mengajakku ke rumah Pian.
Tapi aku tiba-tiba berubah pikiran. Bagaimana kalau Budi benar-benar ada di sana? Aku tidak ingin bertemu dengannya. Sudah cukup aku diejek di sekolah, tidak usah saat di luar sekolah aku kembali diejek. Ubo kecewa, karena aku mengambil keputusan sepihak: kami akan main layang-layang di sekitar rumah saja. Walau agak kesal dengan keputusanku, Ubo tidak bisa memaksaku ke rumah Pian.
Samping rumah kami tak seluas samping rumah Pian, lagi pula ada pohon di pekarangan rumah Pak Supri, sehingga bukan tempat terbaik untuk mulai menerbangkan layang-layang. Bisa-bisa layang-layang kami tersangkut sebelum benar-benar terbang. Bapak pernah menerbangkan layang-layang kami di jalan depan rumah. Aku ingin mencobanya.
Pertama-tama aku yang memegang kaleng susu gulungan benang. Ubo belum bisa menerbangkan sendiri. Tugasnya hanya membawa layang-layang menjauh dariku, tentu lebih dulu layang-layang harus dihubungkan kuat-kuat dengan benang. Aku mengulurkan benang sembari Ubo menjauh. Ubo berhenti di depan rumah Pak Supri. Aku mengatur benang agar tidak kendor. Menunggu beberapa saat, sampai aku merasakan ada angin berembus ke arah Ubo. Layang-layang hanya bisa terbang jika ditarik melawan arah angin.
“Ya!” teriakku. Maksudnya supaya Ubo melepas layang-layang itu. Ubo pun melepaskan jepitan jarinya ke rangka batang layang-layang. Bersamaan dengan lepasnya layang-layang dari tangan Ubo, aku sigap menarik benang. Hingga layang-layang mulai terbang.