Sejak kedapatan mandi di sungai, kami tidak boleh lagi main layang-layang. Ibu bilang, lebih baik main di rumah Bang Sarman, membantu Bang Sarman mengurus sapinya daripada main layang-layang. Ubo senang dengan itu, tampak sudah tidak sabar kembali menonton film berkelahi, kemudian memberi makan ayam peliharaan Bang Sarman, selanjutnya ke sawah memulangkan sapi-sapi ke kandang. Kalau dipikir-pikir harusnya kami ke sana. Sekaligus bisa menjadi waktu yang pas untuk aku dan Ucil berteman kembali. Sejak memutus pertemanan denganku, sampai hari ini aku belum pernah lagi bicara dengannya.
Ah, Ubo tidak tahu di sekolah aku masih diejek Budi sebagai pengisap burung. Tiada hari bagi Budi untuk tidak mengejekku. Malahan makin menjadi-jadi saja usilnya, dan semua anggota gengnya ikut mengataiku pengisap burung. Aku dan Ucil difitnah saling baku jilat burung. Tuduhan itu semakin membuat Ucil tak mau bicara padaku. Seharusnya akulah yang begitu, bukankah dia yang lebih dulu diejek Budi daripada aku?
Kemarin waktu pulang sekolah, aku ingin cepat-cepat pulang seperti teman-teman yang lain. Tapi aku tidak bisa keluar pintu kelas, langkahku dihadang Budi, Rudi, Dani dan Salim. Aku sudah menerobos hadangan mereka, tapi mereka kuat. Aku balik didorong sampai aku jatuh ke lantai. Lalu mereka tertawa. Bukan hanya aku yang diperlakukan begitu, tapi Ucil juga. Aku dan Ucil seperti sengaja dikurung di dalam kelas.
“Kasih liat bagaimana caramu baku jilat burung sama Ucil!” itu kata Budi berjalan ke arahku. Dani menutup pintu. Aku duduk di lantai memeluk kedua lututku. Salim dan Dani menjemput Ucil di bangkunya, diseret dekat denganku. Saat itu aku sudah mengeluarkan air mata. Tubuhku bergetar. Aku ingin melawan. Tapi aku takut.
Budi dan gengnya sudah sangat keterlaluan. Padahal aku sudah menangis, tapi tak ada rasa kasihan mereka sama sekali. Seolah mereka makin puas bila semakin banyak air mataku. Puncaknya aku dipaksa berdiri. Salim dan Dani memegang tanganku. Rudi melepas celanaku. Semua karena keinginan Budi. Mau melihat burungku: burung seorang yang suka jilat burung orang lain, begitu kata Budi.
Aku sudah terlambat mengeraskan tangis, celanaku sudah terlanjur dilepas begitupula celana dalamku. Mereka saling pandang tatkala melihat burungku. Kemudian menertawainya. Aku makin mengeraskan suara tangis. Mungkin takut suaraku terdengar kakak kelas dan guru yang masih di sekolah, sehingga Budi meminta mereka melepasku. Kemudian mereka berlari keluar keras. Masih kudengar sisa-sisa tawa mereka sambil membicarakan burungku. Aku langsung menutup burungku dengan tangan. Menarik kembali celanaku ke atas, sambil sesenggukan menangis. Ucil bahkan tak berkata apa-apa, dia keluar kelas. Ucil sedikit beruntung, belum mendapat giliran celananya dilepas mereka. Ah, Ucil pasti sudah tahu bagaimana burungku.
Di toilet sekolah aku mencuci muka. Bagaimana mungkin aku mau pulang ke rumah dalam keadaan sembab. Sepanjang perjalanan pulang, aku menyesalkan apa yang dilakukan mereka kepadaku. Mereka tega sekali berbuat begitu kepada teman kelasnya sendiri. Andai Bu Muspida tahu apa yang mereka lakukan, aku berharap mereka dihukum keras-keras. Tapi Bu Muspida tidak akan pernah tahu kejadian itu, aku bungkam. Kepada Ibu dan Ubo yang sangat dekat denganku, juga tak tahu.
Seandainya saja orang-orang besar di sekitarku bisa memahami apa yang dipikirkan anak kecil, tanpa harus menunggu anak kecil mengatakan sendiri masalahnya. Aku ingin sekali bertemu dengan orang besar seperti itu, yang benar-benar memahami sikapku yang diam. Atau, andai aku punya keberanian seperti Ubo walau punya keterbatasan bicara, tapi selalu ingin menyampaikan apa yang dia pikirkan.
Rumah kosong tapi pintu tak terkunci. Aku menduga Ibu pergi membawa Ubo. Mungkin Ubo sudah tak ingin ditinggal sendiri di rumah, saat Ibu hendak pergi. Aku jadi penasaran ke mana mereka pergi. Setelah pulang, aku harus bertanya-tanya kepada Ubo seputar perjalanannya, barangkali darinya aku sudah tahu rahasia kepergian Ibu selama ini.
Terus memikirkan ulah Budi dan gengnya, aku semakin kesal. Aku kesal kepada mereka, lebih-lebih kepada diriku sendiri yang penakut. Usai ganti baju, makan sedikit saja, aku langsung tidur.
Aku bangun saat sore. Aku mimpi buruk. Di dalam mimpi pun aku melihat Budi mengejekku sebagai pengisap burung. Selain itu, aku dibilangi laki-laki yang tak punya burung. Semua orang-orang di sekitarku tertawa, Ubo, Ibu, keluarga Bapak, keluarga Ibu. Bahkan Pian yang tahu bentuk burungku sudah lama juga ikut menertawaiku. Seolah-olah semua orang di dunia ini tertawa kepadaku. Seakan-akan apa yang dituturkan Budi sangat lucu. Padahal tidak lucu sama sekali. Aku sedih, aku berlari ke sungai. Sungai sangat dalam. Tanpa melepas pakaianku, aku melangkah menuruni sungai itu. Membiarkan diriku tenggelam.
Sekujur tubuhku berkeringat saat aku bangun dari tidur. Mimpi buruk di siang bolong. Napasku memburu. Aku melihat diriku di dalam mimpi itu jadi tumbal penjaga sungai. Tumbal karena keinginanku sendiri. Seakan menjadi tumbal lebih baik daripada hidup terus-terusan dihadapkan ejekan.
Saat aku keluar kamar, kulihat Ubo di depan televisi sedang main. Semua mainannya dikeluarkan dari dalam kardus, berserakan di lantai. Kupikir Ibu juga sudah ada di rumah. Pendapat awalku, Ibu bersama Ubo pergi sejak pagi. Ternyata aku keliru. Aku sudah mencari Ibu di dapur, mengecek di kamarnya, namun tak ada Ibu.
“Mana Ibu, Dik?” aku bertanya ke Ubo.
Ubo menggeleng tanpa melihat ke arahku.
“Tadi tidak sama Ibu?”
Ubo mengangguk.