Pagi-pagi mataku masih bengkak. Semalam menjadi malam yang panjang bagiku menangis. Akibatnya hari ini aku tidak sampai ke sekolah. Tapi Ibu dan Ubo mengira aku ke sekolah. Sebab aku keluar rumah berseragam sekolah. Bahkan aku menyalami tangan Ibu. Ibu bilang, “Jangan nakal lagi ya, Nak!” sambil memperbaiki rambutku. Aku hanya mengangguk, tanpa berani menatap wajah Ibu. Ibu sekarang mengira aku anak nakal. Dia seperti tak tahu bagaimana aku sebenarnya. Itu sangat mengecewakan.
Aku tidak mau teman-teman di sekolah tahu semalam aku menangis. Sehingga kuputuskan untuk tidak sampai ke sekolah. Apa yang kupikirkan sudah sangat berlebihan. Jika aku muncul di sekolah, teman-teman mudah saja tahu jika aku menangis, hanya karena melihat mataku yang masih bengkak. Bisa saja aku menjadi bulan-bulanan ejekan Budi. Langkahku saat menjauh dari rumah, seperti ada suara Budi yang terdengar.
“Semalam Amin nangis karena tidak dijilat burungnya!” Kemudian ramai teman menertawaiku.
Aku terpengaruh dengan pikiranku sendiri, memikirkan apa yang belum tentu seperti itu kejadiaannya. Dari jalan besar, aku berbelok ke bekas kantor KUD. Tidak ada tempat persembunyian yang paling tepat selain di sini.
Kondisi ruangan masih sama saat aku datang pertama kali. Aku langsung menuju ke satu ruangan yang ada tikar kardusnya. Mula-mula aku harus membersihkan permukaan kardus yang berpasir. Kemudian aku membuka tasku. Mengambil, Hikayat si Kancil. Sudah berkali-kali tamat kubaca buku ini, jalan ceritanya sudah kuhafal, tapi aku selalu ingin membacanya. Apalagi di keheningan begini, sepi dan sendiri.
Akan tetapi, aku tidak bisa benar-benar fokus. Kejadian semalam kembali kuingat. Semula yang terjadi baik-baik saja. Ibu pulang sebelum magrib, kami mandi, nonton televisi, Ibu memanggil kami makan. Televisi dimatikan lalu aku belajar, Ubo menggambar di sampingku. Ibu di dekat kami memainkan ponselnya.
Ibu menghilang sejenak dari dekat kami. Setelah Ibu kembali saat itulah dia terlihat marah. “Siapa yang melakukan ini?” suara Ibu meninggi. Aku dan Ubo terkejut. Ibu berdiri di dekat kami, memandang kami tajam sekali. Ibu mengeluarkan isi kantong plastik hitam itu. Aku berpandangan dengan Ubo. Ubo terlihat takut sekali. Kami tak bisa cepat menjawab pertanyaan Ibu. Ibu mengulanginya sekali lagi, suaranya kian keras saja bikin aku takut. Tapi Ubolah yang paling takut.
Aku memasang badan untuk kemarahan Ibu, demi Ubo tak kena marah. Aku mengakui kepada Ibu, bahwa aku menyelinap ke dalam kamarnya. Membuka laci pakaian Ibu. Memeriksa isi kantong plastik hitam. Mencopot cap pakaian dalam Ibu. Karena aku suka memandang gambar wanita di cap itu. Tapi aku tidak mau bilang, cap itu kupandangi sambil menggerak-gerakkan burungku, seperti yang dilakukan Ubo. Ibu tahu keadaan burungku. Burungku tak sama dengan burung Ubo. Setelah aku sadar apa yang kulakukan salah, aku mengembalikan cap itu ke pakaian dalam Ibu. Tali cap itu sudah hilang. Sehingga aku pakai lem sepatu untuk merekatkannya kembali. Demikianlah yang kusampaikan kepada Ibu.
“Aku menyesal, Bu, maaf!” kataku menunduk. Kudengar suaraku bergetar.
“Anak nakal kamu, ya!” itu kata Ibu sangat marah. Mulai melampiaskan kemarahannya kepadaku. Telingaku dijewer, pantatku dipukul, sampai pinggangku dicubit seperti ketika Ibu mencubit Ubo waktu itu.
Ibu sangat kecewa karena perbuatanku itu. Eh, sebenarnya perbuatan Ubo. Aku dipukul berkali-kali menggunakan sapu. Mulai dari pantat sampai betis. Sakit sekali. Aku menjerit keras-keras.
“Ampun, Bu! Ampun!”
Ibu tak memberi ampun. Seakan amarahnya beberapa hari terakhir, termasuk pertengkarannya dengan Bapak, dilampiaskan semuanya kepadaku. Ubo hanya bisa menyaksikan aku dipukul, tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketika Ibu sudah berhenti memukul, aku dibentak untuk masuk kamar. Ubo berjalan di belakangku. Di atas tempat tidur, aku sesenggukan. Ubo hanya bisa memelukku. Aku mengerti apa yang Ubo rasakan. Aku memahami perasaan bersalahnya. Andai dia lancar bicara pasti Ubo sudah mengungkapkan banyak kata-katanya kepadaku, termasuk permintaan maafnya. Ubo selalu berani menyatakan apa yang dia pikirkan dan apa yang dia rasakan.
Ibu masih berteriak dari luar, lantaran aku masih menangis dalam kamar. Ibu memintaku berhenti menangis. Mengancam akan kembali memukulku jika terus menangis. Bagaimana bisa aku menghentikan tangis tiba-tiba? Aku tetap menangis hanya saja suaraku pelan. Pelan sekali. Hanya Ubo yang tahu tangisku panjang.
Di bekas kantor KUD ini, aku tak bisa lagi konsentrasi membaca Hikayat si Kancil. Mataku berat untuk terus terbuka. Aku meluruskan punggung di tikar kardus. Buku kubiarkan terbuka di dadaku, seakan buku itu merangkulku. Aku pun terlelap.
Sesaat saja aku terlelap, bangun ketika kudengar keributan. Aku sudah tidak bisa melarikan diri seperti pada waktu itu, melompat keluar jendela, lalu bersembunyi di balik pohon untuk mengintip siapa yang datang berkunjung. Bahkan aku belum sempat bangkit, Usup dan kawan-kawannya sudah berdiri di depan pintu, menatapku. Aku juga menatapnya. Mereka tampak heran melihatku. Aku juga heran. Kenapa setiap aku bersembunyi di sini, mereka juga melakukannya. Seolah kami memiliki hari yang sama untuk menghindari sekolah.
“Bikin apa di sini?” Usup menegurku.
“Bolos, Kak,” kataku langsung berterus terang. Tapi aku tidak mau berterus terang ketika dia bertanya lebih lanjut. Aku selalu sulit mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan. Aku mengarang alasan, bahwa aku tidak mengerjakan tugas. Usup langsung percaya.
Aku sudah mau pamit pada mereka. Aku ingin meninggalkan bekas kantor KUD. Sudah kurencanakan, aku akan melanjutkan petualangan bolosku ke jalan kebun belakang bekas kantor KUD ini, seperti pada hari itu. Bila perlu aku ke bekas kebunku bertemu Pak Slamet. Biarkan dia tahu kalau hari ini aku kembali bolos. Dan terserah Pak Slamet mau melaporkan aku kepada Ibu atau tidak. Aku pasrah dipukul Ibu. Biarkan sekujur tubuhku hitam lebam karena amarah Ibu, biarkan malam-malamku selalu diisi dengan tangis. Aku tak peduli lagi.
Sayangnya Usup tidak ingin aku pergi. “Di sini saja, jangan berkeliaran. Masih lama baru teman-temanmu pulang toh?” Aku merapatkan bokong ke lantai, duduk di antara Usup dan tiga temannya.
“Aman di sini, Min, tidak bakal ketahuan. Tenang! Kami tidak akan bilang ke siapa-siapa, tidak akan lapor ke ibumu,” ucap Usup lagi.
“Kan kita sama-sama tukang bolos toh?” Usup seolah tak mau berhenti bicara.
Aku menolak apa yang dia katakan. Tapi aku hanya mengangguk. Padahal aku tidak pernah merasa sama dengan Usup. Jika dia tukang bolos, aku tidak mau mengaku tukang bolos. Aku hanya dua kali membolos. Mungkin masih terhitung sedikit dibanding jumlah bolosnya Usup.
Awalnya aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka. Apalagi ketika salah satu temannya Usup menyodorkan rokok ke arahku, namun kutolak. Dia memberitahuku, katanya pertama kali merokok sejak kelas tiga SD. Aku hanya memasang pendengaran untuk kisah-kisah masa lalunya. Dia tampak bangga mengenal rokok sejak masih kecil. Dia tertawa ketika menceritakan pengalamannya dipukul bapaknya saat ketahuan merokok.
Teman-teman Usup yang lain ikut bicara tentang masa lalunya. Usup tak mau ketinggalan.
“Obat pusing ini rokok, Min,” kata Usup mengeluarkan asap dari mulut dan hidung. Kentara jika Usup sudah sangat berpengalaman merokok. Mudah saja asap dibentuk melingkar keluar dari mulutnya. Aku suka melihat lingkaran asap bergerak di udara. Semakin jauh asap bergerak, semakin membesar lingkarannya.
“Jangan terus pikirkan tugasmu, Min, coba merokok sebatang. Menenangkan pikiran toh.” Usup menyodorkan bungkus rokok tepat di hadapanku. Aku masih menggeleng. Tak pernah terpikirkan sekalipun untuk merokok.
Tapi karena Usup dan teman-temannya terus merokok sembari ngobrol, setiap membakar rokok aku selalu ditawari, aku tiba-tiba ingin merasakan bagaimana itu merokok. Pelan-pelan aku meraih sebatang. Mereka tampak senang melihatku memegang rokok. Usup sendiri yang membantuku membakar rokok itu. Dia memantik korek api, lalu didekatkan ke ujung rokok yang sudah menempel di mulutku.
Isapan pertama, kedua dan ketiga aku batuk-batuk. Mereka tertawa. Isapan selanjutnya aku sudah bisa mengembuskan asap rokok keluar dari mulut dan hidung tanpa batuk lagi. Tapi aku tidak bisa membuat bundaran asap sebagaimana Usup. Telah kucoba dengan memonyongkan bibir, persis seperti Usup, tapi sulit.
“Susah memang, Min. Apalagi baru pengalaman pertama merokok, pasti tidak langsung bisa. Makanya kamu harus rajin merokok,” kata Usup menakan-nekan satu pundakku. Aku seperti murid dan dia adalah guru merokok.
Merokok tidak enak. Aku tidak akan melakukannya lagi. Hanya saja aku tidak mau bilang-bilang kepada mereka. Aku bingung, mengapa mereka menganggap rokok itu nikmat? Apa nikmatnya mengisap dan mengeluarkan asap? Mengemut permen jauh lebih enak. Aku ingin segera membuang rokok di tanganku, baru setengah batang yang pupus. Tidak berani kulakukan, malah di dekat mereka aku seolah-olah sangat suka merokok. Padahal rokok itu lebih lama kubiarkan berasap di jariku, hanya sekali-kali saja kuisap.
Aku bergeser dari tempat dudukku, semakin dekat ke Usup. “Mau nonton film?” Usup berkata sambil memegang ponselnya. Tentu saja aku ingin. Makanya aku merapat ke Usup.
“Mau film apa?” tanya Usup.
“Film berkelahi,” kataku.
Usup sesaat mencari film berkelahi di ponselnya. Lalu dia memanjangkan ponselnya. Kami sama-sama menatap ke arah ponsel. Film pun terputar. Tak kupeduli lagi tiga teman Usup yang sedang asyik dengan obrolannya.